One Night in Kenanga


a world of talent that yet to come
 
Reliving Moment One Night in Kenanga, 03-10 last year.; One Night in Kenanga; a world of talent that yet to come; Adib Rifqi Setiawan; Adib; Rifqi; Setiawan; RM Adhila; Alobatnic; Alobatnic and The Battle-Mate; Pelantan; The Azillion; Dewi Indah Dahlia; Dewi; Indah; Dahlia; Amatullah; Amalisir; Rahmatia; Zeed Hamdy Rukman; Zeed; Hamdy; Rukman; Aufa Hilman Furqon; Aufa; Hilman; Furqon;
Reliving Moment One Night in Kenanga, 03-10 last year.
Ada harga yang harus dibayar ketika kita memilih berinteraksi dengan orang lain, dan harganya adalah kita tak bisa berinteraksi terus menerus. Orang lain dan saya memiliki pilihan keseharian berbeda serta ada saatnya nafas berhenti berhembus. Tak banyak orang berkelindan dengan keseharian saya namun mereka yang tak banyak itu selalu bisa menjaga home agar tetap menjadi home bukan menjelma menjadi house.

Saya beruntung berjumpa mereka, persembahan dari surga yang kehadirannya memperkaya dan mewarnai keseharian. Sebagian masih bisa saya sapa, sebagian lainnya hadir saat beberapa lagu saya dengarkan. Bersama mereka, emosi bergejolak naik dan turun seiring dengan angan dan kenangan. Interaksi secara alami menghasilkan cekcok sepertihalnya perjuangan bertahan bersama dalam kebersamaan.

Satu peristiwa yang terjadi pada 06 Agustus 2015 berhasil menghantam kalbu terdalam. Hantaman telak yang perlahan malar mengubah saya dari ceriwis menjadi pendiam. Satu perubahan drastis yang memancing banyak prasangka. Sebagian orang merasa dijauhi saat saya sedang ingin sendiri saja. Namun tak ada alasan untuk kabur dari rasa syukur. Sekerumunan intan datang sebagai penghibur.

Waktu itu saya hendak tidur saat menerima pesan pendek berisi ajakan menyambut satu angkatan baru di komunitas PBSB UPI. Tak mau kehilangan kesempatan itu, saya segera meminta dibangunkan oleh Adi. Saya suka berurusan dengan dia, tanggapan selalu selaras kesanggupan. Saat dia menyanggupi, hasilnya tak pernah mengecewakan.

Malam harinya, Adi berangkat bersama saya untuk ikut serta dalam penyambutan. Sesuatu yang setahun sebelumnya tidak saya lakukan. Rasanya seperti tersengat dengan kehadiran anak-anak itu. Rasa serupa yang membuat saya buru-buru menghubungi Maryam sebelum berangkat menuju Bandung dan segera menemui Jeffa pada malam pertama di Bandung empat tahun lalu.

Sekarang saya masih bisa mengenang anak-anak itu sejak pertama bertemu. Pertemuan yang meriuhmeriahkan suasana saat terdampar membisu. Jika saya membayangkan masa-masa itu tanpa mereka, sukar menghindar dari bayangan buruk. Mereka memberi semangat dan ketenangan hingga saya tak terlalu ambruk.

Saya masih ingat saat pertama mendengar Dahlia mengungkapkan grenengan. Dia bertanya terkait salah satu organisasi pergerakan. Lucunya, pertanyaan itu terlontar dalam obrolan mengelompok yang di dalamnya ada beberapa orang berseberangan. Sementara Dahlia merasa biasa saja saat bertanya, kakak-kakak tingkatnya saling bertatap muka. Saling menunggu siapa yang bakal menjawab pertanyaan itu, meski akhirnya semua membisu.

Dahlia memiliki energi, keberanian, dan darah yang panas, serta kemauan kuat mewujudkan impian. Di luar interaksi dengan saya, dia sanggup menjadi kekuatan penggerak dalam kerumunan. Sebagian orang menyebutnya egois. Saya tak pernah merasa bahwa itu buruk, orang-orang berkepribadian kuat memang cenderung egois.

Tak perlu waktu lama untuk menunggu orang lain bilang Dahlia orang yang kuat. Cukup singkat. Tak perlu waktu lama juga untuk menebak kalau dia sudah memiliki ikatan persahabatan cinta yang tulus. Dalam hitungan hari, saya melihat Dahlia dan Amatullah sebagai dua sejoli melekat. Saya sebenarnya tak memiliki instuisi bagus. Jadi hanya beruntung saja saat tebakan saya tak melesat.

Perjumpaan perdana saya dengan Ama tepat seperempat abad peringatan reunifikasi Jerman. Konon kabarnya, di negeri itu Ama dilahirkan. Ketika berjuma dengannya, Ama tampak lusuh. Sebenarnya Ama selalu kelihatan lusuh tanpa harus berpeluh. Jadi bertanya pada Ama kalau sudah mandi apa belum tak ada gunanya. Mandi tak akan mengubah tingkat kelusuhan penampilannya.

Sedari dini Ama membuat saya kagum. Dia orang yang bisa membuat saya tersenyum. Interaksi dengannya terkesan obrolan kurang ajar. Obrolan yang membikin suasana menjadi segar. Selain tampak sebagai dua sejoli, Ama dan Dahlia mengundang rasa penasaran. Latar belakang mereka memiliki keserupaan. Barangkali setitik perih mempercepat mereka mencapai kematangan.

Selain beruntung berkenalan dengan dua sejoli itu, saya juga beruntung berkenalan dengan dua sejoli lainnya: Hamdy dan Aufa. Ada cerita yang saya dapat dari Ama. Kabarnya dia memberi semat pada Hamdy dan Aufa laki paling cool saat matrikulasi. Hanya saja belakangan Ama menyesali hal ini. Penyesalan memang datang belakangan, seperti wajah cantik sang mantan.

Saat awal, Hamdy banyak tak dianggap sebagai kekuatan penggerak. Wajar memang, dia berhati-hati saat kali pertama berinteraksi. Kosok bali dengan saya yang baru kenal saja sudah gemar mengentak. Kira-kira kalau orang bertemu Hamdy ingin terus bersamanya, kalau bertemu saya pasti berharap saya segera musnah dari muka Bumi.

Terlalu berhati-hati membuatnya cenderung pendiam. Maksudnya kelihatan bicara minimalis saat di awal. Hanya saja dia menampakkan semangat kuat dari dalam. Semangat yang membuatnya ingin ikutserta membaur dalam pergaulan sosial. Kecenderungan pendiam tidak menjadi rintangan. Dengan kepribadian kuat yang dimiliki, dia bisa diandalkan dalam menjaga kerumunan.

Aufa, saat pertama melihatnya, membuat saya terbayang dengan Steven Gerrard. Tatapan matanya sangat kuat. Dia juga memiliki naluri yang bagus, dan menanggapi ajakan dengan serius. Saat saya meminta bantuannya, dia mencoba menerka sesuai kesanggupannya. Hingga saya senang saat dia bilang tak bisa sebagai tanggapannya.

Rahmatia ialah kasus menarik lainnya. Saat pertama berjumpa saya dengan Dahlia, dia tampak malu-malu. Jadilah dia langganan ejekan saya. Ketika dia berusaha membantah ejekan saya, hal itu melegakan kalbu. Rahma hanya perlu diberi sedikit dorongan dan kesempatan. Lagipula dia sudah memiliki kemampuan dan kemauan. Caci maki padanya tak membuatnya tumbang sepertihalnya sanjungan tak akan membuatnya melayang.

Pengalaman bersama mereka adalah masa-masa istimewa. Satu keberuntungan saat sedang terdampar di keruhnya satu sisi dunia. Bersama mereka, saya lebih senang berkata seperti, “Sampah ah, apaan ini?” ketimbang, “Bagus kok, sudah hebat itu.” Untuk kerumunan istimewa, standar biasa tak berlaku.

Saat waktu merentang, interaksi dengan mereka berkurang. Walau begitu, rekaman kebersamaan dengan mereka selalu memberi rasa senang. Satu perjumpaan fenomenal, meski relasi di dalamnya tidak kekal.

B.Sb.Wg.291249.37.011016.06:31