— begin again in pain?
Suka-duka yang saya rasa tidaklah
istimewa karena semua orang mengalaminya dan saya bukanlah siapa-siapa bila tak
ada cinta dari orangtua. Seperti pernah saya tulis pada Equinox 2014, momentum peringatan duapuluh tahun usia biologis
saya, manunggaling bungah-susah. Di
dalam segala duka tersimpan hikmat yang bisa dipetik pelajaran sepertihalnya di
dalam segala suka tersimpan nikmat yang bisa jadi cobaan.
Sulit sekali menyebut satu peristiwa
itu memberi rasa suka atau duka karena ukuran suka dan duka tergantung suasana
yang sedang dirasa. Dan kalau bicara suasana, sulit melepaskan batin dari keterikatan
kekinian dan kedisinian. Makanya saya suka sekali bacot-bacotan dengan liyan, supaya ada konfirmasi maupun sisi lain
yang melengkapi. Hampir dapat disebut bahwa bacot-bacotan
yang merupakan buah dari du’a adalah
penguat paling kuat bagi saya.
Du’a, yang diambil dari bahasa Arab,
lebih sreg saya maknai sebagai “sapaan” ketimbang “pengharapan”. Gara-gara hal
ini, firman Allah ud’uni astajiblakum
serta sabda Rasulullah ad-du’a silahul
mu’min menjadi pegangan saya dalam interaksi. Pegangan yang didukung
kebiasaan guru keren saya Pak Arifin Fanani.
Pak Arifin gemar berungkap allhumma inna na’udzubika min du’ain la
yusma’ (yusma’ bukan yuqbal).
Gara-gara hal ini juga saya melihat bahwa koordinasi antar lini menjadi jalan kemenangan
pasukan yang dipimpin Muhammad dalam perang Badar. Shalawat Badariyyah yang mengabadikan peristiwa itupun termasuk
langgam bermakna bagi saya.
Saya memang tak pernah merasa under pressure terdampar di keruhnya
satu sisi dunia ketika konsisten menyapa. Menyapa Allah melalui cara
sistematis-praktis seperti shalat maupun cara rekayasa semisal mendengar alunan
nada dan menikmati ketegangan ajang balapan. Menyapa sesama makhluk Allah
melalui ajang nyek-nyekan dengan grup
pecinta bola, berbagi sudut pandang dengan grup penggila MotoGP, berbagi kesan
dengan penggemar musik, hingga bersih-bersih lingkungan yang ditinggali.
Ada saatnya memang saya tak bisa
selalu saling menyapa, misalnya sibuk hingga lupa membersihkan kamar tidur atau
berkirim pesan pendek dengan teman. Malah ada saatnya saya lupa menyapa-Nya
hingga shalat pun di-rapel.
Walau tak selalu bisa saling menyapa
atau lupa menyapa, saya harus selalu rela dengan takdir terburuk dari Allah.
Harus menerima segala penataan pagelaran Pelantan supaya bisa menyapa-Nya
sebagai Ilah maupun Rabbi. Segala yang ditatakan Pelantan
adalah wujud kekuasaan Ilah dan
kasihsayang Rabbi.
Ilah dan Rabbi adalah dua kata serupa yang lebih suka saya anggap beda makna.
Sayang keduanya sama-sama dialihbahasakan dengan Tuhan dalam bahasa Indonesia.
Alihbahasa yang membikin kesal sepertihalnya alihbahasa insan, basyar, dan Naas
yang sama-sama dialihbahasakan dengan manusia. Daripada kesal, lebih baik tak
perlu lagi diperhatikan karena lebih enak memperhatikan penampilan Park Bom.
Terserah kalau dianggap men-gender-kan Tuhan, yang jelas ketika
berkaitan dengan Ilah, maka
penekanannya pada sisi maskulin (bermain menyerang seperti Real Madrid kalau
dalam sepak bola). Sementara ketika berkaitan dengan Rabbi, letak penekanan pada sisi feminin (bermain bertahan seperti
Chelsea).
Hal tersebut membangung kebiasaan
buruk saya dalam menggandrungi sesuatu. Misalnya dalam musik: dulu DEWA19 +
Britney Spears (1999—2006), lalu ada Linkin Park + 2NE1 (2007—2015), dan kini
ada Skrillex + Iggy Azalea (2016—belum tahu). Tak perlu ditanya mengapa paduan
laki-puan itu pernah ada grup+solo, grup+grup, dan solo+solo, bukan hal penting
‘kan?
Kerelaan pada takdir terburuk dari
Allah hanyalah sebagai upaya supaya tak terjerembab pada amarah. Sebagai
‘mantra jitu’ agar kalbu tak perlu merasa pilu, walau ketika menangis kepala
bisa terasa ngilu dan saat gembira
peristiwa terlihat lucu. Dengan kencederungan pribadi yang emosional, sulit
bagi saya untuk tak terpantik amarah. Hingga ‘mantra jitu’ itu perlu dipertegas
lagi dengan ungkapan tambahan bahwa ‘mata yang penuh amarah hanya akan
memandang segala yang nista’.
Saking bangsat-nya saya, ungkapan tambahan itu malah dipakai sebagai
senjata untuk mengoreksi diri saat pandangan saya diselimuti kegelapan. Dengan
merekayasa suasana supaya orang lain membenci saya, saya bisa dengan mudah
mendapat masukan semacam list
kenistaan pada diri saya.
Selain itu juga biasa dipakai untuk
mencari partner ngudoroso, sekedar
mengtahui saja kesanggupannya menjaga muruah bersama tanpa sikap menjilat.
Lebih banyak dilakukan pada orang baru pada saat jelang akhir: misalnya jelang muwadda’ah di MTs pada 2009.
Memiliki kebiasaan melibatkan diri
dalam bacot-bacotan, walakin dalam
keadaan tertentu kebiasaan ini mendadak sirna. Beruntung kalau masih bisa
mengendalikan keadaan seperti Petrucci di Silvserstone 2016. Kalau seperti Kato
di Suzhuka 2004, ya tinggal kembali ke ‘mantra jitu’ itu: tinggal diadakan
resepsi perlintasan perubahan hubungan.
Entah setelahnya akan berpisah tanpa
pernah berhubungan lagi, atau malah berubah menjadi semakin intim, bukanlah
persoalan. Negara di kawasan Balkan bersuka cita atas perpisahan mereka dari
ikatan bersama bernama Yugoslavia. Walau pada saat itu juga Jerman bersuka cita
balikan setelah pisahan lama.
Ketika sukma lebih mudah merasa
berduka ketimbang bahagia, saya memang hanya sanggup berungkap rasa dalam
bungkam agar tak kian karam terhunjam dalam kelam. Nyaris selalu dilakoni
dengan tenggelam dalam langgam. Keseimbangan sapaan goyah dengan lebih banyak
menyapa Allah daripada ciptaan Allah.
Menyapa-Nya supaya bisa melihat semua
yang dirasa sebagai berkat walau mulanya cahaya tipis tak terlihat. Benar atau
salah, setidaknya Ais men-support
cara seperti kelakuan Ahmad Dhani Prasetyo dan Andra Junaidi Ramadhan saat
menyusun alunan nada untuk langgam Bukan Cinta Manusia Biasa ini.
Kepekaan rasa yang terlanjur
menumbukembangkan jiwa membikin suasana tak biasa mudah terbaca. Seperti saat
perubahan batin menjelma menjadi getaran aura yang membanting suasana. Senyum
mulai terkulum. Rasa kasih yang pernah berpadu manis kian terkikis.
Sukma mulai dihantam
pertanyaan-pertanyaan yang tak ada gairah menjawabnya. Lidah tak ada gairah
untuk mau berbagi keluh dan kesah. Apalagi tak semua orang suka dengan berkeluh
yang bagi saya sebagai salah satu cara memahami masalah yang dihadapi. Mungkin
cuma Eva yang dengan tegas menyatakan bahwa berkeluh itu kewajiban insani.
Saya sengaja bungkam dan hanya
membuka rasa saya pada orang-orang tertentu saja. Sebuah masalah yang saya
hadapi terasa berat. Bisa jadi karena saya sudah melampaui usia kepala dua,
mungkin juga karena posisi saya dalam line-up
sebagai sulung beradik dua. Benar atau salah kesengajaan ini, tak ada
kepedulian lagi.
Tak peduli lagi pada dampak
kesengajan bungkam ini kalau dianggap sebagai buah masalah dengan liyan. Pada saat saya taruhan dalam perjalanan panjang dengan
menghindari kekinian dan kedisinian, saya juga tak bisa mengelakkan dari taruhan perpisahan dengan liyan yang memendam ragam macam dugaan
tanpa pernah mengonfirmasikan.
Adakalanya masalah yang dirasa sangat
dalam ini bisa mengubah suasana sukma hingga terhunjam dalam karam.
B.Rb.Pa.121249.37.130916.23:55