Mts NU Miftahul Falah

— Sweetest Place Persembahan dari Surga
 
Adib Rifqi Setiawan; RM Adhila; Alobatnic and The Battle-Mate; Pelantan; Azaleeaa; Life, Live, Love; Life; Live; Love; Melantan Pagelaran Pelantan;
Gerbang Madrasah Miftahul Falah tampak dari dalam sekolah
[📷 by Pangeran Cinta]
Seperti biasa, menjelang kelulusan sekolah biasanya ditanya mau melanjutkan kemana. Paruh pertama 2006, beberapa teman menanyakan kemana saya akan melanjutkan sekolah. Saya sendiri saat itu belum tahu mau melanjutkan kemana.

Entah mengapa, saya tidak pandai melakukan perencanaan hebat. Maksudnya, perencanaan matang disertai berbagai konsekuensi dari perencanaan tersebut. Biasanya saya mengandalkan intuisi, gerak hati. Walau saya lebih banyak menggunakan nalar rasional yang realistis, tetap saja intuisi lebih menonjol. Makanya tidak ada yang tahu saya mau bergerak kemana, termasuk saya sendiri.

Ibuk paham dengan ‘dinamika batin’ saya. Termasuk dengan kelanjutan sekolah saya. Saya menyebut sekolah, bukan pendidikan, karena sekolah adalah bagian dari pendidikan. Saat itu sempat dihadapkan pada tiga pilihan, antara MTS NU Raden Umar Said (selanjutnya MTs Colo), MTs NU Miftahul Falah (selanjutnya MTs Cendono), dan MTs TBS. Teman-teman sekelas saya di MI NU Thoriqotus Sa’diyyah semuanya sudah pasti melanjutkan ke MTs Colo. Dari 18 anak, tinggal saya yang belum memastikan.

Mereka pun mengajak saya melanjutkan ke MTs satu-satunya di desa tercinta, Colo. Tetapi saya tidak menjawab ‘iya’. Ketika saya dihadapkan pada pilihan yang belum ada kepastian memilihnya, saya selalu menjawab ‘mungkin’. Di lingkungan saya saat itu sudah sedang merebak opini ‘sekolah dimana saja sama pelajarannya’.

Saya sempat terbawa arus opini ini yang membuat saya mau melanjutkan sekolah di MTs Colo. Lagipula pelajaran sekolah juga sama saja. Kata orang-orang, semua bergantung pribadinya. Tetapi teman-teman bermain saya di rumah, seperti Mas Eko dan Kak Rudi, keukeuh menyarankan saya melanjutkan ke MTs Cendono.

Mas Eko dan Kak Rudi saat itu sudah melanjutkan sekolahnya di MA Cendono, satu yayasan dengan MTs yang saya maksud. Hal yang membuat saya bingung, ibu dan bapak saya tidak menyarankan kemana-mana. Tetapi Ibuk mem-black list MTs TBS karena kalau di MTs TBS saya pasti mondok. Kalau di MTs Colo dan MTs Cendono, saya masih bisa pulang ke rumah. Menurut ibuk, saat itu bukan waktu yang tepat bagi saya untuk mondok.

Menurut teman-teman saya yang menyarankan melanjutkan ke MTs Cendono, memang pelajarannya sama. Tetapi di MTs Cendono, kata mereka, saya akan mendapat banyak pengalaman. Saran mereka lah yang sebenarnya sangat berpengaruh. Pasalnya mereka sudah merasakan sekolah di MTs Colo dan saat itu sudah menapak jejak di MA Cendono.

Tanpa pikir panjang saya bilang ke Bapak, “Melanjutkan ke MTs Cendono”. Gerak cepat bapak langsung beraksi. Kebetulan Ibuk dan Bapak sering pergi ke kota untuk belanja barang-barang yang mau dijual (Jawa: Kulakan) seperti sembako. Sambil kulakan, Bapak mendaftarkan saya di MTs tersebut.

Cerita bersama MTs Cendono dimulai. Di hari yang saya lupa kapan saya mengikuti tes seleksi. Di hari itu saya berkenalan dengan teman-teman lain. Sial, teman-teman yang saya ajak berkenalan saat itu justru masuk di kelas MPTs (kelas persiapan). Anif Ardian (Anif) dan Mochammad Maulana (Lana), yang saya kenal setelah selesai tes seleksi lah yang akhirnya menjadi teman satu angkatan bersama saya.

Di hari seleksi juga saya mulai berkenalan dengan Pak Noor Sa’id yang sempat me-warning saya. Sepertinya Pak Sa’id sudah membaca tanda-tanda bahwa saya akan ‘bermasalah’ di kemudian hari nanti. Hanya saja saat itu saya belum tahu menahu yang bernama Pak Ali Asyhari, kepala sekolah saat itu yang disebut namanya oleh Pak Listiyono serta diduga bakal menjadi sosok terkenang bagi saya. Ternyata benar.

Awal-awal sekolah di sana, pulang-pergi naik angkot atau nebeng sama Mas Eko. Saya sudah meminta kepada ibu dan bapak agar mengijinkan saya memakai motor sendiri ke sekolah. Jarak 10 km tentu membosankan jika harus ngangkot. Apalagi kalau nebeng orang, tentu harus mau mengikuti jadwalnya.

Tetapi pada akhirnya saya diijinkan memakai motor untuk ke sekolah. Tentu ada kelicikan tertentu yang diterapkan. Yamaha Jupiter Z Biru setia menemani masa-masa di MTs. Malah citra pribadi saya lebih lekat dengan Jupiter Z Biru dan jaket coklat. Karena saat itu, ukuran tubuh yang sangat mungil terlihat lucu ketika mengendarai motor.

Di masa-masa MOPDIK (Masa Orientasi Peserta Didik), hanya Mbak Elfa, panitia acara, yang sampai saat ini masih saya ingat. Maklum, kakak kelas selisih dua tahun tersebut memang manis. Kenangan lainnya adalah ‘perkenalan’ dengan Majalah Ma’arif. Tetapi saat itu masih suka dengan Majalah Favorit karena isi Majalah Ma’arif tak enak, kurang cantik puannya.

Memulai kelas VII di kelas B, kelas kami dan kelas VII D sering dibandingkan dengan kelas lain. Pasalnya di sekolah yang ada pelajaran kitab kuningnya, kelas kami memang belum pada bisa memberi makna pada teks arab dengan arab pegon (maknani). Maklum, kelas VII A dan kelas VII C mayoritas diisi alumni MI situ dan MPTs. Sedangkan kelas VII B dan VII D mayoritas berisi lulusan SD.

Jangankan tahu kitab kuning, bisa menulis arab saja nyaris sudah disebut untung. Di sekolah tersebut, siswa laki dan puan dipisah. Laki di kelas A dan B sedangkan puan di kelas C dan D. Saat kelas VII, Muhammad Arif Murtadlo (Londo) adalah teman yang sering ngobrol bersama saya. Awalnya saya lebih akrab dengan Ahsanul Huda (Pope), tetapi karena kelas kami beda jadi jarang bersama selain waktu istirahat.

Londo dan sata memiliki jalur pulang yang sama. Jadi kami bisa pulang bersama saat dia nebeng saya. Dalam perjalanan bersama, selalu saja ada perbincangan. Melepas kesuntukan, nyek-nyekan juga karena dia penggemar Manchester United (MU) dan saya Chelsea.

Sejak MI, Londo tinggal di rumah Pak Muh. Sofyan, teman bapak saya. Pak Sofyan memang memiliki pondok untuk anak-anak. Sayang kebersamaan dengan Londo berlangsung singkat. Hanya beberapa bulan umurnya di MTs Cendono. Dia akhirnya pindah entah kemana dan komunikasi kami putus sampai sekarang.

Di kelas VII, Pak Sa’id, yang sudah saya kenal sejak tes seleksi mulai mengajar. Pak Sa’id mengajar Nahwu. Dia menjadi wali kelas saya serta guru pertama yang resmi mengajar di kelas saya. Kitab yang dipakai saat itu adalah matan ‘Imrithi, kumpulan nazam (syair) yang harus kami hafalkan.

Karena paling malas menghafal, berdiri di depan kelas adalah hal yang biasa dialami. Pak Sa’id tentu tahu kondisi siswa di kelas ini belum sepenuhnya bisa memberi makna gandul. Selain mengajar Nahwu, Pak S’aid juga mengajarkan kami cara memberi makna gandul pada tulisan arab. Agus, teman saya dari desa Japan, adalah juaranya Nahwu. Di saat kami masih ‘buta huruf arab’, dia sudah lancar maknani tulisan Arab.

Pak Ahmad Yasin, guru IPA Biologi dan Ke-NU-an. Di awal-awal sekolah, saya sudah mulai membuat ulah. Preparat yang ada di sekolah banyak yang saya pecahkan. Untung Pak Yasin tidak menyuruh menggantinya. Pak Yasin adlaah guru yang keren. Beliau mengajar dua pelajaran yang jauh berbeda dan sama baiknya dalam mengajar.

Mengajar Biologi, dengan lancar dijelaskan. Meski pelajaran ini sangat tidak saya suka, tapi ditangan Pak Yasin saya lumayan bisa memahaminya. Hal ini saya rasakan ketika pelajaran IPA Biologi dipegang Pak Miqdad, di kelas IX. Saat itu Biologi dan Fisika masih satu atap, yakni IPA. Tetapi di sekolah saya terdapat dua guru.

Untuk IPA Fisika, diajar oleh Pak Busyro, teman baik bapak saya. Istri Pak Busyro adalah teman baik ibu saya. Kami sudah saling mengenal sejak MTs. Kebetulan saat saya MA, Hana, putra mereka satu pondok dengan saya. Setiap ibu Hana ke pondok, teman-teman saya selalu menggoreng saya ketika saya tampak ‘mesra’ dengan ibu Hana.

Selain IPA Biologi, Ke-NU-an adalah mata pelajaran yang diampu Pak Yasin. Hebatnya, Pak Yasin selalu bercerita tentang NU di masa lalu dan sekarang. Pak Yasin sukses membuat gairah ingin tahu tentang NU dikelas kami meningkat. Siswa ‘shaleh’ dan mbeling sama aktifnya ketika pelajaran Ke-NU-an. Iklim kelas seperti ini memang baik tetapi jarang saya alami di kemudian hari.

Guru-guru lain di kelas VII tentu masih banyak. Ada Pak Syafi’i yang mengajar shorof dan tafsir (beda orang, sama nama), Pak Rofa’at Hilmi yang mengajar Fiqih, Bu Indah yang mengajar Matematika, Pak Arif Sutarno yang mengajar Bahasa Indonesia, dsb dst.
 
Adib Rifqi Setiawan; RM Adhila; Alobatnic and The Battle-Mate; Pelantan; Azaleeaa; Life, Live, Love; Life; Live; Love; Melantan Pagelaran Pelantan;
Bersama Pak Ali Asyhari
[📷 by Agus grup Gembel Necisz]
Ketika kenaikan kelas, saya kecewa dengan pembagian kelas. Saya harus berpisah dengan teman-teman 7 B yang sudah terjalin ikatan batin sejak awal masuk sekolah ini. Saat itu saya masuk kelas 8 B, masih ada Abdur Rohman dan Abdullah Faqih, tetapi terpisah dengan Agus, Lana, dan Mufarrichin. Ya sudah, pulang ke rumah dengan kondisi lesu.

Dicampurnya kelas 7 A dan kelas 7 B dalam satu kelas, baik di kelas 8 A dan 8 B, bukanlah hal yang menyenangkan. Masih ada rasa sakit hati terhadap alumni kelas 7 A yang didominasi orang-orang besar kepala. Di rumah disambut Ibuk. Saya menceritakan kekecewaan ini terhadap Ibuk yang sepertinya salah menangkap maksud saya.

Singkatnya, saya bertukar tempat dengan Agus, saya di kelas 8 A dan Agus di kelas 8 B. Padahal bukan ini maksud saya. Saya hanya bercerita dan tidak ingin adanya pertukaran tempat ini. Ada masa ketika kita hanya butuh unjuk rasa kita diperhatikan liyan. Saya masih merasa berdosa kepada Agus yang kemungkinan besar kecewa berat dirinya harus bertukar tempat.

Meski ada label A dan B, tidak ada istilah kelas favorit dan non-favorit. Semuanya sama. Entah apa yang terjadi, berita pertukaran tempat ini menjadi trending topic di sekolah saat itu, tentu dengan opini masing-masing orang yang kebanyakan meleset jauh dari fakta sebenarnya. Saya merasakan sendiri bagaimana gosip bisa membuat orang tertekan dan ingin memberi klarifikasi tetapi sudah gosip terlanjur diyakini sebagai fakta. Ya sudah.

Kelas 8 adalah masa-masa menjadi pengurus OSIS. Saya sebenarnya tidak berminat menjadi pengurus OSIS. Saya tidak suka berorganisasi dan lebih senang membangun komunitas bebas. Tetapi dalam pencalonan ketua OSIS, nama saya dimasukkan sebagai kandidat, bersama Rois, Ulin, Alfi, Zulianto, dan Agus.

Sialan memang. Di hari pemilihan ketua OSIS saya harus pulang siang sementara teman-teman lain bisa pulang pagi. Padahal agenda hari itu bisa saja digunakan untuk bermain PS dengan Achmad Mufarrichin (Marijan Manchunian tulen sejak dalam kandungan). Untunglah saya kalah dan saat itu pemenangnya adalah Rois.

Naasnya, keenam kandidat akhirnya masuk menjadi pengurus OSIS, dengan tambahan dari beberapa nama lain. Saya masuk di seksi Upacara bersama Lina Herliana, belum kenal dia saat itu. Jadi wajar kalau saya sempat menduga dia pendiam, padahal ya begitulah bentuknya.

Lucu juga rasanya. Saya yang tak suka berorganisasi resmi dipilih menjadi salah satu pengurus OSIS, bagian seksi upacara pula. Padahal dalam sejarahnya paling malas kalau ada upcara. Bersama Lina, secara formal kami bertanggung jawab dengan jalannya upacara. Tetapi inilah salah satu babak yang harus saya lewati di sini, MTs NU Miftahul Falah.

Pak Rif’an adalah pembina kami saat itu. Di OSIS, kami mendapat kesempatan menjadi delegasi sekolah dalam beberapa acara. Diantaranya adalah mengikuti bimbingan dari PT Djarum Kudus mengenai lingkungan. Saat itu saya bersama Rois, hanya berdua, dan di sana bertemu dengan Noor Ulfah, gadis Rendeng.

Kenangan lain adalah menjadi delegasi di Patroli Keamanan Sekolah (PKS). Pertama-tama sekolah kami menjadi tuan rumah di tingkat kecamatan Dawe, Senin sampai Kamis setiap sore. Selanjutnya pelatihan di lakukan di Kantor Polres Kudus setiap Kamis Sore. Pak Karsan dan Pak Putu Dhantra adalah dua polisi yang mengajar kami saat PKS. Saya masih sering berjumpa Pak Putu yang pindah ke Kudus sejak 1982, hanya saja Pak Karsan entah di mana sekarang. Mungkin sudah mandi.

Di PKS inilah saya pertama kali bertemu dengan Muhammad Abdurrahman Wahid (Dur) yang menjadi senior saya. Dur kemudian menjadi teman baik ketika saya di pesantren pada masa-masa MA. Juga Khinant, teman SD, yang menjadi senior juga. Halida Wahyu Erlina (Ida) adalah senior yang paling menarik perhatian dengan paras manisnya dan gaya rambut yang selalu berubah setiap tampil. Beda dengan Sheila Ratnasari (Sheila) yang gaya rambutnya selalu poni ekor kuda. Bedanya lagi, Halida kenes dan Sheila fearless.

Di kelas 8 A, awalnya saya sebangku dengan Fachrul Anam (Anam Liverpudlian tulen sejak belum dilahirkan). Kami berada di barisan paling utara, yang diisi Mufarrichin dan Thohari di baris depan, Anam dan saya di baris kedua, Ainul Yaqin (penggemar The Titans) dan Anwar (penggemar J-Rocks) di baris ketiga, dan Ridwan (penggemar Arsenal) dan Huda (Cuyung) di baris paling belakang.

Belakangan saya bertukar tempat dengan Huda karena merasa lebih nyaman duduk di barisan paling belakang. Wajar, saya pendukung Chelsea yang tak mempermasalahkan masa lalu karena memang tak punya masa lalu gemilang. Sedangkan Anam adalah penggemar Liverpool yang membanggakan masa lalu melulu karena masa depannya suram.

Tren kesulitan dalam Matematika tetap berlanjut. Entah mengapa setiap belajar Matematika terasa sulit padahal ketika belajar IPA Fisika selalu menyenangkan. Aneh memang lantaran Matematika dan Fisika memiliki hubungan amat erat, bagaikan majikan dan pembantu. Fisika sebagai majikan dan Matematika sebagai pembantu.

Padahal di kelas 8 ini guru Matematika sudah berganti Pak Masrur, tetap saja nasib di Matematika selalu apes dan konsisten ikut ujian remedial. Sejak di ajar Pak Zaini, Pak Muhtadi, Pak Muhlasin di MI, berlanjut ke Bu Indah dan Pak Masrur di MTs, Matematika selalu menjadi noda. Anehnya di ijazah, nilai Matematika selalun yang tertinggi. Anehnya pula nilai IPA selalu terendah.

Di kelas 8 pula mulai berkenalan dengan Alfiyyah yang dipakai dalam mata pelajaran nahwu. Kami memiliki kewajiban menghafal 100 bait setiap tahun. Ini adalah salah satu alur yang tak begitu saya suka lantaran belum khatam ‘Imrithi. Di kelas 8 pula saya kembali suka menulis, saat itu sekedar menulis puisi atau cerpen. Sebelumnya sempat suka menulis ketika kelas 3-4 MI dan kemudian meredup.

Mufarrichin adalah salah satu sahabat yang setia menemani. Kami sering menghabiskan waktu bersama ketika pulang pagi, main PS di rental samping sekolah yang penjaganya mirip Sandra Dewi. Kebetulan saat itu sedang ada sinteron Cinta Indah yang dipernakan Sandra Dewi dengan lagu Munajat Cinta dari The Rock sebagai soundtrack-nya.

Salah satu yang paling saya nikmati di sini adalah pengakuan akan pengelompokan. Masing-masing orang gemar mengelompok dengan geng-nya sampai hafal setiap geng beserta member-nya. Hal ini diakui tanpa di-nyinyir-in atas nama kekeluargaan yang tak boleh nge-grup sendiri-sendiri. Kebiasaan nge-grup sangat membantu interaksi yang terus terjalin hingga kini. Kalau berkumpul tinggal dipanggil grupnya.

Dunia maya juga mulai dikenal di masa-masa ini. Saat itu friendster adalah jejaring sosial yang ramai dipakai, kemudia facebook. Saya mulai gemar berselancar di dunia maya sejak masa-masa ini. Akun Twitter juga sudah dibuat, yakni @mazdik94. Tetapi karena masih banyak yang menggunakan FS atau FB, Twitter kurang terpakai. Twitter sendiri baru intens dipakai sejak tahun 2012 dengan akun @alobatnic.

MTs ini meninggalkan kenangan tak berkesudahan. Bukan peristiwa Maret 2007 atau November 2008, tapi saya memecahkan kaca di lantai dua gedung tengah, akibat menendang penghapus kayu. Sampai sekarang belum saya ganti kaca yang dipecahkan pada tahun 2008 itu. Ciyusss...

Km.Po.131249.37.140916.23:01