MI Thoriqotus Sa’diyyah


bicycle race travelled-unfinished


Keinginan untuk sekolah pertama kali saya lontarkan pada Ibuk pada pertengahan tahun 1999. Saat itu alasan utamanya adalah saya merasa kesepian. Saya sudah tak lagi memiliki teman bermain lantaran mereka semua sudah sekolah. Kalau mau bermain dengan mereka, saya harus menunggu paling tidak sampai pukul 10 pagi setelah mereka pulang.

Sejak teman-teman sepermainan sekolah, saya merasa sepi di tengah kebersamaan dengan mereka. Selesai bermain, mereka biasa bikin panas saya dengan ngobrol tentang PR yang jelas belum pernah saya sentuh. Saat pertama kali menyampaikan keinginan untuk sekolah, saya ingin sekolah di SDN 02 Colo. Hampir semua teman bermain saya sekolah di sana.

SDN 02 Colo juga sekolah Bapak saya, meski hanya bertahan 3 tahun saja. Tapi oleh Ibuk, yang didukung Bapak, saya tak diijinkan masuk sekolah. Ibuk bilang pada saya tak didaftarkan saat itu karena saya sedang sakit. Belakangan baru saya ketahui bahwa alasan sebenarnya adalah Ibuk tak suka saya masuk sekolah diusia 5 tahun. Ibuk lalu bilang saya hanya akan disekolahkan ketika saya sudah berusia 6 tahun.

Pada birth day keempat saya, Ibuk memberikan hadiah bola plastik warna biru, yang bisa saya pakai bermain dengan teman-teman saya. Hanya saja, dua tahun kemudian, Ibuk memberikan hadiah sepeda roda dua (ditambah dua roda samping) sebagai kadonya. Sepeda ini yang sering saya pakai bermain sendiri ketika kesepian di rumah sebelum teman-teman pulang sekolah.

Sebagai ganti tak didaftarkan ke sekolah, Ibuk mengajari saya membaca, menulis, dan berhitung. Mulai dari abjad latin A-B-C-D-E dst hingga membaca rangkaian huruf TA-TI-TU-TE-TO dst. Tetangga yang gemar main ke rumah saya, berkumpul sambil ngopi, main kartu, dan nonton TV, juga suka mengajari saya membaca, menulis, dan berhitung. Untuk berhitung, tak hanya 1, 2, 3, 4, dst, melainkan sudah diajari juga operasi penjumlahan dan perkalian sampai 100.

Baru pada pertengahan tahun 2000, awal tahun ajaran 2000/2001, saya didaftarkan masuk sekolah. Keinginan saya untuk masuk SDN 02 Colo ditolak dan saya didaftarkan di MI Thoriqotus Sa’diyyah. Nama resminya masih seperti itu, belum ada tambahan NU-nya. Tambahan NU baru diberikan ketika saya kelas 3 setelah diumumkan Pak Listiyono pada acara muwadda’ah sekolah. Pak Lis adalah kepala sekolah MI setelah Pak Kasir Muhtadi. Selain di MA TBS, hingga kini saya selalu melewati masa suksesi komandan di lembaga pendidikan formal.

Saya hampir menolak dan tak mau sekolah saat itu andai dua Aries: Dek Aris (Khoiris Suwantiko) dan Kak Nir (pengasuh saya ketika balita), tak sekolah di MTs Raden Umar Sa’id. Dua sekolah ini berada pada satu lokasi yang sama dan kebetulan mereka juga teman bermain saya dan sama-sama penggemar MotoGP.

Sebagai upaya agar saya mau sekolah di MI, Ibuk mendekati kami yang sedang berkumpul di selatan mushalla Nurul Ulum saat itu. Lalu bertanya pada Dek Aris dan Kak Nir sekolah mereka setelah lulus SD. Jawaban keduanya di-susuli bujukan Ibuk pada saya.

Dek Dian (Taufik Dian Pratama) dan Kak Wahyu (Salam Taufik), teman bermain saya, juga sudah setahun sekolah di sana. Dulu kami suka menonton video-video Spice Girls, Last Ketjup, Audy, Agnes, hingga Brown Eyed Pieces, selain Power Rangers, Dragon Ball, dan Teletubbies. Akhirnya saya mau karena merasa sudah ada teman yang dikenal di sana.

Hari pertama masuk sekolah kurang bagus bagi saya. Beberapa hari sebelumnya saya baru saja mengalami kecelakaan berat. Saya jatuh dari mobil yang dikendarai Lek Yadi, adik ipar Ibuk. Lek Yadi adalah saksi mata kebersamaan saya dengan Epik. Epik merupakan sosok yang biasa disebut sebagai “cinta tak tersampaikan” tapi saya suka menyebutnya “persembahan dari surga” saja.

Saya suka mengabadikan nama Epik melalui kata epic yang disematkan pada catatan tentang puan. Sampai 17 tahun berpisah tanpa pernah berjumpa lagi, saya masih merasa bahwa pengaruh Epik masih mengendap dalam benak saya. Puan dua tahun lebih tua dari saya ini adalah teladan dalam urusan kepemimpinan, ikonik, dan pembentukan grup.

Saat jatuh dari mobil bersama Lek Yadi itu, saya tidak ingat lokasi yang tepat tempat saya jatuh tetapi saya masih ingat kalau jatuhnya di daerah Mayong, Jepara. Sempat iseng melewati jalanan itu dan ada satu feeling sendiri di tengah jalan yang dekat pompa air. Kepala saya sampai mengalami keretakan dan beberapa luka di tangan dan kaki. Sampai sekarang bekas luka masih ada. Kepala saya tampak ada sedikit kebotakan yang terlihat jelas ketika hair style sedang gundul.

Dari rumah Ibuk sudah me-warning agar saya tak menceritakan kecelakaan itu pada orang lain. Oleh Ibuk, saya diminta bilang kalau luka saya tersebut muncul setelah saya jatuh dari sepeda. Terlihat jelas kalau alasan Ibuk tidak mendaftarkan saya setahun sebelumnya bukan karena sedang sakit. Lha wong saat saya masuk saja sebenarnya keadaan saya juga sakit kok.

Bapak seorang diri mengantarkan saya ke sekolah dengan RX king berplat nomor K 3399 PC. Setelah mendapat tempat duduk, dia pergi ke kantor sekolah dan meninggalkan saya sendiri di kelas. Saat itu tanpa sengaja saya duduk bersama Ulum (Vivta Miftahul Ulum) yang baru saja sampai diantar Mbak Mah (ibunya). Beberapa hari kemudian, saya dikasih tahu mbah Dasi (neneknya Ulum), kalau dia adalah sepupu jauh saya. Kakek buyut kami sama, hanya saja nenek buyutnya beda.

Di kantor sekolah Bapak mengisi formulir pendaftaran. Saya tahu yang dilakukan Bapak karena saya sempat menyusulnya ke kantor. Lalu Bapak meminta saya kembali ke kelas yang masih ramai dengan orangtua. Hampir semua teman saya ditemani orangtuanya ketika pelajaran berlangsung. Bahkan ketika istirahat pun, sebagian dari mereka, masih diantar orangtuanya ketika jajan. Saya tak mengalaminya karena memang keadaan tak mendukung, namun hal ini telah memupuk keberanian hidup sendiri setelah pondasinya terbentuk saat setahun kesepian ditinggal teman ke sekolah.

Guru yang mengajar di kelas 1 adalah Pak Zaini Sirojan. Beliau guru yang hebat, sampai sekarang kami memiliki jadwal pertemuan rutin yakni sore hari lebaran. Pak Zaini adalah satu-satunya guru yang mengajar di kelas 1. Beliau mengajarnya sangat enak. Fokus pengetahuan yang diberikan “hanya”-lah membaca, menulis, dan berhitung. Karena sudah diajari semua di rumah, saya jadi enak mengikuti pelajaran Pak Zaini. Efek buruknya jelas ada, yakni saya malas belajar di rumah.

Pak Zaini suka membawa tongkat bambu ketika masuk kelas. Tongkat bambu itu selalu dipakainya sebagai “senjata” kalau ada anak yang nakal. Saya termasuk orang yang rajin mendapatkan sabetan (pukulan) dari tongkat bambu itu karena paling gemar bikin ulah. Meski begitu, saya merasa sangat terikat dengan Pak Zaini. Kalau tidak dijemput Bapak, saya kadang pulang bersama Pak Zaini. Beliau menuntun saya sampai depan gang rumah, rumah beliau dua kali lebih jauh daripada rumah saya dan masih satu jalur. Pegangan tangan memberi suhu yang berbeda.

Di kelas satu saya duduk nomaden, suka pindah-pindah. Tapi saya lebih banyak duduk bersama Ulum. Ulum memiliki gangguan di mata sebelah kirinya. Kami kemudian berpisah ketika dia tetap tinggal kelas. Di kelas 1, saya identik dengan Pak Zaini dan Ulum. Tapi hanya Pak Zaini yang tetap bertahan kuat sampai sekarang. Ulum malah kini berkelindan dengan Dani (Danial Muchtar), teman sebangku saya di kelas 12 (MA TBS).

Selain dengan Ulum, juga pernah duduk satu bangku bersama Ucup (Yusuf Ulin Ni’am) dan Lalang (Lalang Gistanto). Ucup adalah adiknya Mbak Lisa, yang suka ngompori saya soal Bae. Sedangkan Lalang adalah adiknya Mbak Rindy Eka Faida, yang resmi menjadi bagian keluarga besar saya setelah menikah dengan Dek Aris dan sudah dikaruniai buah hati bernama Dafin Februari 2016.

Hanya beberapa orang saja yang selalu satu kelas bersama saya selama di MI. Arul, Mamad, Sisca, Hasyim Asy’ari, Muryati, Prihatiningsih, Nurul Hidayah, dan Wening Kurniasari. Satu per satu langkahnya tertahan ketika tak naik kelas, misalnya Ulum dan Eva. Ada juga yang pindah sekolah, seperti Amrul dan Mega. Sebagian lagi masuk ketika saya kelas 3 pindahan dari sekolah lain, misalnya Maya. Sebagian yang lain ada yang “cuti” dan masuk lagi, seperti Purdianto dan Fajar.

Banyak kenangan yang terekam ketika masih MI. Seperti “Tragedi 2002” yang salah satu korbannya adalah Putri Dwi Fatmawati (kakak kelas saya) hingga persaingan saya dengan Bagas Dwi Saputra (SDN 02 Cendono) dan Siti Ermawati (SDN 01 Colo) di ajang perlombaan sekolah. Persaingan dengan Bagas dan Erma adalah satu-satunya alasan internal saya ikut lomba, setelah tak ada duel dengan mereka, tak ada lagi semangat mengikuti perlombaan dan memilih menambah pengalaman melalui jalan lain. Lomba yang diikuti setelah itu lebih banyak karena alasan external, karena diminta pacar saya.

Maya Ulfah, yang resminya disapa Maya tapi saya suka menyapanya Mbutin, memang “orang baru” ketika saya naik kelas 3 MI. Tapi puan kelahiran 23 April 1995 ini adalah sahabat paling dekat selama saya di MI. Tampaknya lebih dari Arul (Fachrul Hari Wibowo), Mamad (Ahmad Fuad Ria Sahana), dan Sisca (Sisca Rahmawati). Kami penggemar DEWA19 dan sama-sama suka kuartet Dhani-Andra-Maia-Ari.

Mulai kelas 4 MI, bersama Sisca, Arul, Mamad, dan Maya, kami membentuk grup yang diberi nama MASAM—gabungan inisial nama sapaan kami. Penamaannya diinspirasi dari DEWA19 dengan menggabungkan inisal nama sapaaan. Walau demikian, kalau bisa dibilang rujukan, bukan hanya DEWA19 saja. Ada juga grup lain menjadi rujukan: grup remaja dalam sinema Di Sini Ada Setan dan Inikah Rasanya serta klup sepak bola Arema, Arsenal, Chelsea, dan Persija.

Masa-masa di MI memiliki keseruan tersendiri dibanding masa setelahnya yakni remaja. Saat di MI, ikatan persahabatan belum berjalan beriringan dengan relasi pacaran. Meski tidak bisa dimungkiri kalau sudah ada ketertarikan terhadap lawan jenis, sampai saat ini tak ada yang tahu masing-masing pernah tertarik kepada siapa ketika masih MI dulu. Belum ada semacam grup seperti 2NE1 ft. will.I.am yang baru ada saat remaja.

B.Sn.Lg.080736.260415.19:39