— tak melayang dengan pujian, tak mati oleh ragam cacian
Manunggaling
susah-bungah pernah
dialami Nong Darol Mahmada akhir Januari 2004. Saat itu Umi, sapaannya pada
sang ibu, mengakhiri kesakitan badan yang didera sewindu lamanya. Bagi seorang
anak yang memiliki ikatan interaksi intim dengan ibunya, hal ini tentulah
memberikan rasa bahagia.
Sayangnya akhir kesakitan badan
tersebut adalah perlintasan perpindahan alam. Peristiwa yang menjadi keniscayaan
bagi siapapun yang dilahirkan di Planet Bumi. Peristiwa biasa saja lantaran
semua juga mengalaminya walakin tetap saja menyuntikkan duka mendalam pada sukma
terdalam.
Nong sangat mencintai Umi. Rasa cinta
yang sempat membikin dirinya mengungkapkan ‘protes’-nya pada Pelantan Semesta. Ketika
dia menyaksikan Umi merasakan kesakitan badan dalam waktu lama, dia merasa
Pelantan Semesta tak bersikap adil. Nong merasakan sekaligus menyaksikan
sendiri bagaimana kasih sayang Umi ditumpahruahkan tanpa pilih kasih. Tapi
Pelantan Semesta memberinya cobaan yang tampak tanpa belas kasih.
Walau terus menerus mendapatkan
cobaan dengan kesakitan badan, iman Umi tak serta-merta tergerus. Umi malah
berpesan pada Nong agar selalu menerima apapun takdir-Nya walau pahit dirasa. “Allah
sayang sama Umi, Nong. Kamu jangan begitu sama Allah. Ambil hikmahnya aja,” ungkap
Umi pada Nong yang selalu diingat.
Kecintaan pada Umi lah yang membuat
Nong selalu kuat dan berserah pada Ilah.
Kecintaan yang membikinnya woles
dalam menjalani keseharian, tak ngoyo,
tak ambisius, maupun tak menggebu-gebu dalam mewujudkan angan menjadi kenyataan.
Walau Nong masih belum bisa memastikan rahasia di balik cobaan berupa
penderitaan yang didera Umi-nya. Misteri yang terus menggelayuti sukma
membuatnya tak lelah memanjatkan doa untuk Umi pada Rabbi.
Nong memang tak sanggup memastikan
rahasia di balik cobaan Umi-nya. Walakin semenjak Umi-nya berpindah alam, Nong
menyaksikan perubahan drastis pada Abah, sapaannya pada sang bapak. Semula
Abah-nya adalah sosok yang sangat keras. Keras yang dimaksud di sini bukan kasar
maupun kejam. Hanya saja Abah-nya kurang lemah lembut saja.
Sosok yang sangat keras tersebut berkelindan
dengan pandangan Abah-nya tentang peran istri dalam berkeluarga dan
berumahtangga. Bagi Abah-nya, istri harus melantan keseharian di rumah. Selain
sangat keras, Abah-nya juga tampak berjarak dengan anak-anak. Hal ini membikin
semua anagknya sungkan bahkan takut pada Abah. Kosok balinya, mereka sangat
erat dengan Umi.
Peristiwa yang menjadi jalan pindah
alam sang istri menjadi titik balik yang benar-benar membalik kepribadian
Abah-nya hingga saat itu. Puncaknya, sesudah sang istri hidup di dimensi alam
berbeda, Abah-nya berubah menjadi sosok yang lemah lembut dan dekat pada anak-anaknya.
Abah juga tak lagi ‘menang-menang’-an
dalam berpendirian. Malah terus mengapresiasi segala kesamaan dan menghormati
segala ketaksamaan pendirian di keluarganya. Abah terus mendorong seluruh anaknya
agar tak ragu mengambil keputusan dan menjalani keyakinan hasil pertarungan
dengan kehidupan yang dijalani sendiri sembari terus mengingatkan agar
senantiasa bertanggung jawab.
Hal tersebut menjadi penghibur Nong ketika
dia penasaran dengan misteri di balik cobaan penderitaan yang didera Umi.
Nama lengkapnya Nong Darol Mahmada.
Saya menyapanya Mbak Nong. Tak peduli orang lain mau menyapanya dengan sapaan
yang terdengar lebih santun dan lebih menghormati hierarki. Tak peduli juga
rentang usia kami sangat jauh, hampir dua dekade.
Saya menyadari terbilang kurang ajar
dalam menyapa liyan. Tidak hanya
sebatas tanpa penyantuman gelar yang disematkan, kadang juga tak menyapa sesuai
sapaan ‘resmi’ yang disandangkan. Melalui sapaan kurang ajar, saya merasa lebih
bisa mencapainya secara apa adanya.
Cara yang ditiru dari kisah
pewayangan ketika Burisrawa manyapa Dewi Subadra. Burisrawa yang notabene raksasa
tak memandang dewi dari Mandura berbeda dengannya meski dia tahu Putri
Banoncinawi itu bersemayam di lingkaran yang jauh di atas tingkatannya.
Peniruan adalah bentuk pujian abadi paling dalam.
Mbak Nong tentu diharapkan Umi dan
Abah-nya menjadi seseorang yang bermakna buat semua. Dia lahir di Labuan,
Banten, 23 Maret 1975. Milad-nya
selisih tiga hari dengan saya dan kebetulan bersamaan dengan satu peristiwa
penting bagi saya beberapa tahun silam.
Immortal
memory yang terjadi
pada 23 Maret 2007 itulah yang menjadi cikal-bakal penggubahan manunggaling susah-bungah. Saat itu saya
merasakan kesedihan mendalam yang belakangan sangat saya syukuri dan rasakan
menjadi sebuah pengalaman membahagiakan
Mbak Nong dilahirkan dan dibesarkan
di lingkungan pesantren. Ayahnya memiliki pesantren serta sekolah walakin sejak
lulus SD Nong dititipkan di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Di pesantren
asuhan ajeungan Ilyas Ruhiyat dia
ditempa sepanjang masa remaja, dari SMP hingga SMA. Dia merasa beruntung berkesempatan
menempa diri (nyantri) di sana dengan
hidup dekat dengan sang ajeungan.
Mbak Nong menyaksikan sendiri keseharian
Pak Ilyas, caranya menyapa sang guru, yang bersahabat dan menyenangkan dengan kepribadian
tegas dan konsisten. Sepanjang enam tahun di Cipasung, Mbak Nong tinggal di
rumah Pak Ilyas, di Asrama Esa. Hal ini memberinya kesempatan menyaksikan dan
merasakan keseharian Pak Ilyas. Keseharian dalam berkeluarga dan berumah tangga
hingga sebagai guru dan sosok panutan masyarakat.
Sebagaimana tradisi pesantren Nahdliyin, pengajian asuhan Pak Ilyas
hanya diikuti oleh santri senior. Santri junior seperti Mbak Nong belum berkesempatan
mengikuti pengajian yang diasuh langsung Pak Ilyas. Walau demikian, tinggal di
Asrama Esa membuat Mbak Nong mendapatkan pengajian yang lebih ketimbang ikut
serta mengaji seperti santri lainnya yang lebih senior.
Hubungan mereka bahkan tampak seperti
ayah dan anak. Pak Ilyas penuh perhatian dengan mengingatkan Mbak Nong secara
langsung ketika bersikap tak sepantasnya. Hubungannya dengan Ibu Dedeh Fuadah
istri sang ajeungan pun seperti ibu
sendiri. Ibu Dedeh menjadi guru mengaji pertamanya di pesantren ini.
Mbak Nong turut merasakan cinta Pak
Ilyas pada istrinya serta kasih sayang Pak Ilyas dan Ibu Dedeh pada seluruh
buah hati keduanya. Bagi Mbak Nong, Pak Ilyas adalah sosok ayah teladan yang tak
mengekang anak-anaknya untuk menjalani keseharian sesuai pilihan mereka.
Pak Ilyas yang mengasuh pesantren
besar ini tak mengekang tempat belajar anak dengan hanya mengijinkan nyantri atau setidaknya menjadi pelajar
IAIN dan perguruan tinggi di Timur Tengah. Dia tak memaksa anak-anaknya
melanjutkan posisinya sebagai pengasuh Pesantren Cipasung. Ruang cinta putrinya
pun tak dibelenggu. Dia tak menjodohkan putrinya dengan sesama anak ajeungan dan pintar mengaji.
Acep Zam Zam Noor, anak sulungnya, dikenal
sebagai seniman. Dia dulu kuliah di Seni Rupa ITB yang diselesaikan hingga
tuntas. Dua anak nya, Ida Nurhalida dan Enung Nursaidah Rahayu menyelesaikan kuliahnya
di IKIP Bandung (sekarang UPI). Ketiganya akhirnya menikah dengan pasangan yang
bukan berlatar belakang pesantren. Meski tak menguasai kitab kunging
sepertihalnya orangtua mereka, ketiga anak beserta pasangan selalu bahu membahu
untuk mempertahankan dan mengembangkan pesantren.
Selama nyantri di Cipasung, Mbak Nong juga merasakan sendiri hubungan pihak
pesantren dengan masyarakat sekitar. Dia merasakan adanya kebersamaan dan kedekatan
antara pesantren dan masyarakat. Pak Ilyas, selain menjadi pengasuh pesantren,
juga pengasuh masyarakat. Tak hanya ikut terlibat menjaga dan membangun masyarakat
yang satu pandangan, juga dengan yang berbeda pandangan. Hal inilah yang
membuat Mbak Nong merasa aneh ketika dia melihat beragam pertikaian yang
disebabkan perbedaan pandangan.
Pengalaman yang didapat di Cipasung
membentuk karakter kuat padanya. Karakter yang terus dia kembangkan
selanjutnya. Sesudah meninggalkan Cipasung, Mbak Nong melanjutkan pendidikan
formalnya ke IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang dikenal UIN Ciputat). Semangat
besar dalam ber-thalab al-‘ilmi
membuatnya tak puas dengan pelajaran yang didapat di kelas.
Mbak Nong rajin mendatangi beragam
forum diskusi dan seminar. Dia tak segan berdiskusi, berdebat, maupun sekedar
berungkap pendapat dengan liyan. Dia
menjadi sosok yang yakin diri ketika mengungkapkan isi hati. Forum Mahasiswa
Ciputat (Formaci) adalah tempat nongkrong
kesukaannya.
Mbak Nong memang senang terlibat
obrolan. Obrolan menjadi semacam ritual wajib di luar kesibukannya. Selalu saja
ada waktu luang digunakannya untuk terlibat obrolan dengan siapa saja. Obrolan
dengan mereka yang selaras dengannya ikut serta memperkaya sedangkan dengan
mereka yang berbeda dengannya memberi warna lain tersendiri.
Dari obrolan inilah Mbak Nong mulai
banyak tahu seputar seni, sastra, film, hingga politik. Walau demikian, kalau
dia tak tahu, dia mengakui. Seperti untuk urusan ekonomi. Malah Mbak Nong tampak
woles kelihaiannya memasak kalah
gemilang ketimbang suaminya sekarang.
Mbak Nong ditempa pada lingkungan
yang erat dengan puan. Ketika di Labuan, dia sangat dekat dengan Umi. Hijrah ke Cipasung pun serupa. Bahkan
buah hati pertamanya pun puan. Andrea Azalia Ardhani, nama lengkap putri kesayangannya
ini.
Puan yang mewarisi kecantikan dan
tumbuh menjadi wonder woman laiknya
sang ibu ini biasa disapa Dea atau Ea. Dea yang lahir pada 09 Agustus 2004
menjalani masa kecil yang berat ketika harus merasakan hidup di tengah ayah dan
ibu yang memilih berpisah. Sesudah perpisahan tersebut, Dea hidup bersama sang
ibu.
Mulanya Mbak Nong tak hendak menamai
buah hati yang dilahirkan melalui ceasar di RS Bunda ini dengan nama Andrea.
Jauh-jauh hari sudah dipersiapkan nama buat buah hatinya. Hanya saja, setelah keadaan
tak memperkenankannya melewati proses persalinan dengan normal, Mbak Nong yang
biasa kuat justru gugup.
Sosok yang tak ragu berungkap isi
hati ini merasa ngeri membayangkan
harus menjalani operasi. Di tengah rasa gugup yang merisak Mbak Nong merasakan ketenangan
ketika menikmati karya The Corrs, grup asal Dundalk, County Louth, Ireland.
Mbak Nong menyebut dirinya adalah
fans berat grup musik beranggotakan keempat buah hati pasangan Gerry Corr dan
Jean ini. Andrea Jane Corr, lead vocalist
dan tin whistler di grup ber-genre utama folk rock adalah anggota paling digandrunginya. Andrea sendiri di
The Corrs menjadi punggawa termuda yang usianya sebaya dengannya (Andrea lahir
pada 17 Mei 1974).
Merasakan ketenangan ketika menikmati
karya The Corrs terutama suara indah Andrea, timbul keinginan memberikan nama
Andrea untuk buah hatinya. Baginya, Andrea adalah nama yang melintas batas laki
dan puan. Sejak kecil Dea memperlihatkan rasa ingin tahunya.
Sebagai ibu muda, Mbak Nong sempat
dibikin bingung bagaimana menjawab pertanyaan Dea tentang kelahirannya. “Aku keluar
dari mana sih dulu (maksudnya ketika lahir?” tanya Dea. Hal ini membuatnya
belajar cara menjelaskan pada anak-anak. Bahkan Dea pernah bertanya tentang
siapa Tuhan yang ditanggapinya Nong dengan jawaban, “Aku menjawab, Tuhan itu
yang menciptakan mama, Dea, dunia ini dan memeliharanya.”
Sejak kecil juga Dea menunjukkan kelincahan.
Tak heran jika Dea bisa dengan mudah meniru tarian ala JKT48, grup ‘keroyokan’
yang digemarinya. Kebersamaan dengan Dea menjadi surga bagi Mbak Nong ketika
dia harus menghadapi kegagalan membina keluarga dan rumah tangga dengan ayahnya
Dea.
Kamu
Kamulah Surgaku, karya
Dhani yang dipakai sebagai ungkapan sekaligus penghibur bagi ketiga buah
hatinya dengan Maia Estianty, menjadi langgam yang dipersembahkan pada Dea ketika
Mbak Nong masih menjadi orangtua tunggal baginya. Kebetulan tahun itu Mbak Nong
menjadi Editor buku Pergulatan Iman
yang turut memuat wawancara tentang pergulatan iman yang pernah dialami Dhani. Beruntung
perpisahan orangtua dan disusuli pertengkaran menyebalkan ala Dhani-Maia
sehingga tak banyak merisak sukma Dea.
Sebagai puan yang sepanjang hidupnya
erat dengan puan membikin Mbak Nong tertarik menggeluti segala hal terkait
puan. Mulai dari teori-teori sosial, isu-isu, hingga karya kaum puan. Selain
Andrea punggawa The Corrs, sosok puan lain turut digandrunginya, mulai dari Rifaat
Hasan (Pakistan), Fetima Mernissi (Maroko), Nawal El Saadawi (Mesir), hingga
Irshad Manji (Kanada).
Kami memang tak selalu bersama. Walakin
ada semacam rasa sama antara saya dengannya. Rasa sama itulah yang mungkin
membikin saya merasa dekat dengan Mbak Nong. Dia termasuk orang yang
menginspirasi saya untuk yakin diri tanpa merendahkan liyan, tak melayang dengan pujian, maupun tak mati oleh ragam
cacian.
B.Sb.Po.021149.37.060816.09:37