— Kilau Lampau Kirana Asia
Keberhasilan Takaaki Kajita meraih nobel fisika tahun 2015, meski harus bancaan
dengan Arthur Bruce McDonald, memberikan semangat hebat untuk ilmuwan Asia.
Setelah sekian lama berada di bawah ‘bayang-bayang’ ilmuwan Eropa dan Amerika
Utara, ilmuwan Asia mulai unjuk kebolehan.
Sebenarnya peran ilmuwan Asia cukup banyak, hanya saja hasil unjuk kerja
mereka kurang tampak. Hal ini lantaran sumbangannya tak bersifat mendasar.
Sedangkan hasil unjuk kerja Kajita yang membawa namanya meraih nobel tersebut
sangat dahsyat. Ia berhasil membuktikan bahwa neutrino memiliki massa dan dapat
bersiklus, hasil yang belum pernah dibuktikan sebelumnya.
Hasil temuan itu bisa berdampak banyak, termasuk perubahan buku rujukan
keilmuan. Berikut kilas ringkas peran bangsa-bangsa di Asia terhadap
perkembangan ilmu yang dimulai jauh sebelum bermulanya penanggalan Masehi.
Perjalanan dimulai dari kawasan Mespotamia. Kawasan yang menjadi tempat
leluhurnya Farrokh Bulsara (Freddie Mercury) lead vocalist Queen. Dari sana, berlanjut ke arah timur menuju
India, tanah airnya Aishwarya Rai. India sudah lama menjalin interaksi intim
dengan tetangganya, Tiongkok. Dari negeri yang melahirkan Maggie Cheung Man-yuk
ini, perjalanan kembali lagi ke Mesopotamia.
Bermula di Mesopotamia
Bermula di Mesopotamia
![]() |
Lukisan Mesopotamia Kuno
Sumber: lhmrramsey.com |
Terdapat dua masa tradisi ilmiah bergelora. Gelora yang membawa
perkembangan ilmu menguat. Tahap pertama berawal dari Sumeria (kira-kira 3000
SM). Tahap pertama ini memiliki cakupan wilayah luas dan dalam jangka waktu
lama. Perkembangan tahap pertama berlanjut hingga ke Babilonia dan Mesir.
Bahkan pada saat yang sama, juga terjadi di Amerika Tengah (Aztec, Maya).
Tahap kedua berlangsung di daerah yang jauh dari wilayah Mesopotamia,
tepatnya di kawasan Eropa Utara. Tahap ini memiliki cakupan wilayah yang sempit
dan jangka waktunya lebih singkat. Permulaan tahap kedua ditandai dengan
semangat Revolusi Ilmiah dan berlangsung kira-kira selama 400 tahun.
Tradisi ilmiah tahap pertama banyak bermula di kawasan yang sekarang
disebut Timur Tengah. Tradisi ilmiah yang berkembang di daratan Timur Tengah
tersebut juga berkembang di Tiongkok selama ribuan tahun. Di wilayah India,
terutama sekitar Lembah Indus, juga terjadi hal serupa. Baru kemudian beberapa
abad sebelum Masehi dimulai peradaban Yunani yang cikal bakalnya bermula di
Ionia. Sekarang Ionia berada di wilayah Turki.
Belum bisa dipastikan apakah Yunani menggunakan pengertian teknis ilmiah
dari kebudayaan daratan Asia yang telah ada sebelumnya. Yang dapat ditelusuri
dengan bagus ialah peradaban Yunani kemudian memudar sesudah kekalahan mereka
dalam peperangan dan beberapa faktor lainnya. Pudarnya pesona Yunani disusul
dengan kembali menguatnya tradisi ilmiah di Timur Tengah. Pada saat tersebut,
Eropa bagian utara masih banyak tinggal di rimba-belantara.
Kelindan
Rasa Keingintahuan dan Acara Keagamaan
Kebudayaan Mesopotamia (sekarang Iran-Irak) sudah lama mengembangkan
matematika. Kebudayaan yang bisa dibagi ke dalam dua zaman (Sumeria pada
periode 3000 SM-2000 SM) dan Babilonia (2000 SM-500 SM) ini sudah bisa
melakukan operasi perkalian, mencari akar kuadrat dan kubik, serta merampungkan
persoalan persamaan linear.
Kebudayaan Sumeria, yang lebih dahulu dominan di kawasan itu, pernah
menggunakan sistem bilangan desimal (berdasarkan angka 10) sekitar setengah
milenium sebelum beralih ke sistem bilangan seksagesimal (bilangan berdasarkan
angka 60). Sistem seksagesimal juga dipakai di Tiongkok.
Selain matematika, astronomi juga mulai berkembang. Pengamatan benda-benda
langit mulai berjalan sejak 1000 SM dan cara pengamatan semakin bagus sejak 700
SM. Dari hasil pengamatan mereka bisa meramalkan peristiwa periodik alam
semacam gerhana Bulan (setiap 18 tahun sekali) dan peredaran planet, seperti
Venus. Sejumlah nama rasi bintang yang dipakai sekarang berasal dari hasil
budaya daratan Mesopotamia ini.
Kegiatan ilmiah di kawasan Timur Tengah kala itu bukan hanya terkait
intelektual walakin ritual. Keperluan agama kala ‘fajar peradaban’ banyak
bergantung pada astrologi. Mereka yakin bahwa pergerakan benda-benda langit
berperan pada kehidupan di planet Bumi, mulai dari penobatan raja baru hingga
daur proses pertanian. Dengan ungkapan lain, orang perlu mengetahui gerak
benda-benda langit untuk memahami kehidupan di planet Bumi. Hal seperti ini
juga terjadi di wilayah lain, termasuk Tiongkok.
Masa Jaya Barata
![]() |
Patung Aryabhatta, Ilmuwan Legendaris India
Sumber: wikimedia.org |
Perkembangan ilmu di India pada akhirnya mendapat pengaruh kuat dari
peradaban Yunani. Pengaruh ini didapatkan setelah wilayah Anak Benua ini
berhasil dibabat oleh pasukan Iskandar al-Akbar (Alexander Agung). Namun
peradaban India sebenarnya sudah berkembang jauh sebelumnya.
Di wilayah sekitar Lembah Indus (kini masuk Pakistan), sudah berlangsung
peradaban kira-kira sejak 3000 SM. Satu milenium kemudian peradaban kebudayaan
wilayah ini punah. Saat peradaban ini padam, Yunani masih temaram.
Karya agung dari masa ini antara lain Veda, Bhagavad Gita, serta Upanishad. Dari peninggalan ini,
terdapat tanda-tanda yang menunjukkan mereka telah memakai sistem bilangan
desimal. Kaidah yang serupa dengan ‘dalil Pythagoras’ juga sudah dikenal.
Kaidah ini sudah digunakan untuk menentukan ukuran altar jauh sebelum
Pythagoras menemukan kaidah untuk menghitung sisi panjang segitiga siku-siku
ini. (Benar atau salah dalil tersebut ditemukan Pythagoras bukan urusan saya wekkk).
Kepercayaan Hindu yang menyebutkan bahwa segala sesuatu yang tampak hanya
maya belaka sepertinya berpengaruh kuat terhadap Veda. Dampaknya mereka kurang bergairah mengamati langit dengan
seksama. Mereka tak peduli dengan pergeseran posisi planet terhadap bintang
sepanjang waktu. Benda-benda langit disangka semu. Untuk apa mengamati hal yang
semua dengan seksama? Wajar jika di dalam Veda
tak ditemukan tanda-tanda bahwa mereka telah mengenal planet.
Peradaban ini kemudian punah satu milenium kemudian. Peradaban ilmiah yang
sebelumnya punah, kembali dihidupkan beberapa abad setelahnya.
India menjadi korban keganasan Iskandar al-Akbar dari Yunani. Setelah
membabat Timur Tengah, pasukan dari Yunani ini menyerbu India pada 327 SM.
Penyerbuan ini memiliki banyak dampak, antara lain kembali menyalanya peradaban
ilmiah di India. Tak hanya kembali hidup, juga terjadi perubahan pandangan
secara radikal terkait langit.
Jika sebelumnya tak ada perhatian sama sekali terhadap langit, kini justru
mereka mengembangkan astronomi dari ilmuwan Yunani. Varahamihira, sekitar 505
M, menulis tentang bola dan lingkaran di langit yang sistemanya mirip dengan
sistem yang dulunya pernah dikembangkan di Yunani.
Hubungan India saat itu tak hanya dengan Yunani saja. Sejak abad ke-2
mereka memiliki hubungan mesra dengan tetangga, Tiongkok. Hubungan ini terjalin
berkat misionaris Buddha yang pergi ke sana. Ada upaya di laboratorium India
untuk menemukan ramuan hidup kekal sebagaimana terjadi di Tiongkok (dan juga
Eropa).
Di India ramuan dalam bidang kimia ini dihubungkan dengan pembuatan emas,
yaitu dengan mencampur air raksa dan belerang. Kedua unsur ini mencerminkan ke-manunggal-an sifat kelakian dan
kepuanan. Tak bisa disangkal, ilmu alam dan ilmu sihir masih berkelindan di
masa ini.
Matematika menjadi kekuatan utama India. Mereka berhasil menyumbangkan
penemuan paling mengesankan berupa bilangan nol. Selain itu, mereka juga turut
berperan dalam pengembangan sistem bilangan desimal yang kini biasa digunakan.
Persamaan aljabar umum yang cukup rumit juga berhasil dikuasai. Aryabhatta (475-550 M) tercatat sebagai pengguna sinus sudut untuk kali
pertama.
Gelora Bangsa Naga
![]() |
Sebagian Warisan Peradaban Tiongkok
Sumber: rnnd.com.do |
Tiongkok lebih dulu mengawali perkembangan terknologi ketimbang Eropa atau
daerah lainnya. Mereka sudah bisa membikin kertas (abad ke-2), tembikar yang
bagus dan mesiu (abad ke-7), percetakan (dikembangkan sejak abad ke-9 hingga
ke-15), menerapkan mesiu ke dalam senapan (abad ke-13), serta meriam besi (abad
ke-14).
Sayangnya, masyarakat Tiongkok kala itu tak pernah memberi apresiasi tinggi
terhadap hasil karya indra. Hal ini menyumbat pertemuan gagasan antara
cendekiawan dan insinyur. Bisa jadi hal ini terkait lemahnya semangat
perdagangan dan berkarya komersial, terbalik dengan Eropa pada masa Renaisans,
dengan tradisi berkarya komersial.
Tak ada juga dorongan untuk menemukan ‘cara paling bagus’ untuk setiap
permasalahan. Teknologi yang maju tak bisa berpadu dengan ilmu untuk sama-sama
berkembang lebih maju. Kondisi sosial masyarakat setempat kurang mendukung
perpaduan itu. Walapun tak begitu kuat, ilmu tetap muncul di Tiongkok, dan
bukan hanya bersifat spekulatif semata.
Penguasa memiliki peran penting di sini. Ia berkuasa untuk menentukan
sistem penanggalan. Sistem penanggalan tersebut dipakai untuk menunjukkan
hari-hari berlangsung upacara resmi. Hari-hari yang dipilih adalah hari yang
diyakini bertuah. Di berbagai tempat masa lampau, astronomi memang berkelindan
dengan astrologi. Dua hal ini baru bisa dipisahkan di Eropa pada abad ke-17.
Catatan pengamatan terhadap langit sudah mulai dibuat dengan rapi dan
rinci. Fenomena gerhana mulai dicatat pada 1500 SM serta kehadiran komet pada
700 SM.
Pada 350 SM, Syi Syen, melakukan pemetaan langit. Pemetaan langit ini
mencakup sebanyak 800-an bintang. Jika Eropa baru pada abad 17 M menggunakan
sistem penentuan kedudukan benda langit dalam satu kerangka acuan berdasarkan
Bintang Kutub Utara, Tiongkok sudah bisa menggunakannya di masa ini.
Tak hanya sampai di situ saja. Hu Shi, pada 336 SM, berhasil menemukan
fenomena ‘presesi ekuinox’ yang sampai sekarang masih menjadi pembahasan rumit.
Perubahan poros rotasi Bumi terhadap garis edar Matahari (mirip seperti
perubahan sumbu putar pada gasing). Bumi memerlukan 26.000 tahun untuk
menggenapi satu putaran. Hasil pengamatan langit oleh ahli astronomi negeri
Tirai Bambu ini dicatat dalam bentuk aljabar, berbeda dengan Yunani yang lebih
gemar dengan bentuk geometri.
Sayangnya, pengamat di Tiongkok kurang mendapat apresiasi dan cenderung
dipandang sebelah mata oleh para pemikir. Konsep alam semesta di Tiongkok tak
dirumuskan oleh para ahli astronomi yang gemar mengamati walakin oleh para
filsuf yang kerap berspekulasi. Inilah yang membikin mereka tak sampai
mengembangkan semacam gambaran tentang struktur alam semesta berdasarkan
pengamatan.
Kebiasaan di Tiongkok ini jelas terbalik dengan kebiasaan di Yunani. Ptolomeus
dan rekan-rekannya, misalnya, dalam menyusun model alam semesta berbentuk bola,
menggunakan data yang mereka miliki sebagai dasarnya. Orang Tiongkok tampaknya
kurang gemar berpikir secara geometris.
Tiga bentuk alam semesta dikenal pada masa dinasti Han berkuasa (202 SM-220
M). Pertama, alam semesta Ka Thien yang menggambarkan langit sebagai setengah
bola yang terangkat 80.000 li (40.000 km) dari Bumi dengan bentuk mangkuk
terbalik. Kedua, alam semesta Hun Thien yang menggambarkan seluruh alam semesta
seperti bola yang lebih besar lagi dengan garis tengah 2 juta li (1 juta km).
Ketiga, alam semesta Hsuan Yeh yang menyatakan bahwa alam semesta tak terhingga
besarnya, tak berbentuk, dan seluruhnya kosong. Pandangan ketiga sudah
mendekati pengertian terkini alam semesta, hanya saja disusun bukan berdasarkan
data. Menarik ataukah ironis?
Jembatan dan Sumbatan
Jembatan dan Sumbatan
![]() |
Sketsa Warring States
Sumber: weaponsandwarfare |
Sebenarnya di masa itu sudah ada kelompok yang bisa menjembatani jurang
kesenjangan antara cendekiawan dengan insinyur dan pengamat. Kesenjangan ini
memang menyebabkan ilmu di Tiongkok sulit berkembang. Selain itu, juga terdapat
sumbatan berupa kebiasaan acuh terhadap keadaan alam sekitar.
Jembatan
Keledai Hebat Cepat Sekarat
Dua kelompok tersebut disebut Mohis dan Taois. Sayangnya keduanya bernasib
sama. Kelompok mereka segera dikucilkan dari pergaulan serta tradisi mereka tak
terawat hingga kemudian punah. Hasil unjuk karya mereka yang bisa menjad ‘jembatan
keledai’ pun gagal dilestarikan.
Kelompok Mohis adalah pengikut Mo Ti yang hidup selama periode Warning States (Negeri Berperang,
480-221 SM). Watak mereka sebagai ksatria dan diplomat dikenal luas. Motivasi
mereka untuk menekuni filsafat ilmu ialah agar bisa memahami cara manusia dapat
mendapatkan pengetahuan yang pasti tentang alam semesta.
Kelompok Mohis sudah mulai mengembangkan tradisi eksperimen. Misalnya
ekperimen dengan katrol, serta cermin datar dan lengkung. Sayangnya tradisi
eksperimen yang mulai mereka kembangkan tak mendapat apresiasi menawan. Tak
begitu lama kemudian, tradisi yang menjadi cara pandang baru di masa Renaisans
ini pun punah.
Kelompok Taois muncul pada masa Wangsa Han menguasai Tiongkok (202 SM-220
M). Kelompok ini sama-sama mulai mengembangkan tradisi eksperimen seperti
halnya kelompok Mohis. Hanya saja kelompok ini cenderung ke ranah kimia
alih-alih fisika.
Serupa dengan eksperimen kimia yang berkembang di India, mereka berupaya
membuat emas dari air raksa dan belerang guna meracik jamu hidup kekal. Upaya
ini didorong oleh filosofi mereka tentang Yin
(mewakili asas puan, gelap, dan dingin) dan Yang
(mewakili asas laki, terang, dan panas).
Terdapat lima unsur dasar yang mereka percaya: air, api, kayu, logam, dan
tanah. Kelima unsur ini sepertinya dikembangkan terpisah dari orang Yunani yang
percaya pada empat unsur dasar: air, api, udara, dan tanah.
Di satu sisi kepercayaan ini mendukung pengembangan ilmu alam karena
menampakkan keyakinan bahwa alam semesta memiliki keteraturan. Tapi di sisi
lain, ketika keyakinan ini dipegang sangat kuat, berdampak mematikan ilmu
lantaran belakangan diketahui ada yang lebih mendasar lagi.
Kelompok Taois memiliki sikap skeptis terhadap anggapan manusia tentang proses-proses
alamiah. Dari sini mereka banyak menekuni hal-hal bersifat praktis. Sayangnya
mereka memiliki rekam jejak permusuhan dengan Konfusianis yang menjadi karibnya
penguasa negeri. Selain itu, mereka juga terkucilkan dari pergaulan sosial
masyarakat. Lamat-lamat malar tradisi Taois merosot hingga pudar.
Barangkali jika kelompok Mohis (dengan keunggulan logikanya) dan Taois
(dengan keunggulan eksperimennya) bisa terus bersama dalam jangka waktu lebih
lama, kita bisa menyaksikan gelora Revolusi Ilmiah terjadi di Tiongkok saat
Yunani sedang sibuk dengan Konsili Nicea yang penuh cekcok.
Sumbatan
Kebiasaan
Bisa jadi mungkret-nya
perkembangan ilmu di Tiongkok banyak disebabkan oleh cara berpikir mereka yang
lebih menghargai sifat (kualitas) daripada besaran (kuantitas). Tampaknya
mereka bukan penganut keyakinan terhadap Khalik Esa sehingga tak percaya bahwa
hanya ada satu hukum alam yang mengatur segalanya.
Masyarakat Tiongkok tampaknya tidak ingin tahu tentang permasalahan alam
sekitar. Contoh paling bagus adalah permasalahan mekanika gerak, yang menjadi
landasan setiap cabang ilmu alam. Mereka kurang perhatian terhadap permasalahan
ini meski mereka tentu pernah melihat benda jatuh. Terbalik sekali dengan
Yunani dan kemudian Eropa Utara yang menjadikan masalah mekanika gerak ini
sebagai salah satu obsesi keilmuan.
Hanya saja
kekuatan Tiongkok kuno pada matematika tak jauh beda dengan Eropa pada abad
ke-16. Kekuatan matematika Tiongkok kuno terletak pada aljabar. Mereka sudah
memakai bilangan negatif jauh sebelum kebudayaan lain. Hanya saja bilangan nol
bukan mereka yang menemukan. Kalaupun bilangan nol dipakai, kuat duga diambil
dari India.
Kekuatan
aljabar tak dilengkapi dengan logika. Tiongkok kuno cenderung lemah dalam
logika. Mereka tak memiliki satu set kaidah logika seperti dipunya Yunani. Hal
ini membikin mereka kurang kukuh dalam berpikir sistematis dan analitis.
Mungkin
mereka tak suka dengan upaya memecah-belah dunia walau dalam pikiran saja.
Mereka jua tampak tak menerima jika manusia tersusun atas beragam unsur tanpa
jiwa.
Nyali Amarah
Demi Muruah Beriak Merisak
![]() |
Sketsa Lingkungan Masa Abbasiyah
Sumber: bp.blogspot.com |
Kelompok-kelompok di Timur Tengah dikenal memiliki sifat mudah marah dan
gemar berjuang menegakkan muruah. Mereka juga gemar bertempur untuk
memperebutkan kuasa terhadap tanah. Hal ini terus terjadi sepanjang zaman
bahkan saat kawasan ini menjadi lentera budaya ilmiah.
Kembalinya budaya ilmiah ke kawasan Mesopotamia ini dimulai dari Damaskus
(sekarang Suriah). Damaskus menjadi pusat kekuasaan Dinasti Umayyah. Di sana
geliat astronomi mulai tercurah. Sejak 700 M, selama setengah abad, para ahli
gemar menekuni astronomi. Sayang, kecamuk perang berdampak pada sulitnya ilmu
berkembang.
Dinasti Umayyah kemudian digantikan dengan Dinasti Abbasiyah melalui
serentetan pertumpahan darah. Tak hanya perubahan wangsa penguasa, juga terjadi
peralihan pusat kekuasaan. Dari Damaskus pindah ke Baghdad. Baghdad memiliki
letak geografis yang strategis dan bersifat terbuka dengan hasil unjuk kerja
manusia dari luar wilayah dan etnisnya.
Keterbukaan ini membawa pengaruh India ikut serta memberi warna. India banyak
memengaruhi sistem bilangan.
Selain India, Yunani juga turut memengaruhi. Pengaruh Yunani banyak dimulai
dari alihbahasa karya ke dalam bahasa setempat.
Alihbahasa karya Galen dalam bidang kedokteran, misalnya, yang dilakukan
oleh Hunayn Ibn Ishaq (808-873 M), seorang Kristen Nestorian. Dari alihbahasa
ini kemudian ilmu dikembangkan.
Baghdad dikenal pernah memiliki observatorium besar. Observatorium ini
menggunakan kaidah yang diambil dari Mesopotamia. Hasil pengamatan dari
observatorium ini belakangan diketahui lebih teliti ketimbang hasil pengamatan
Ptolemeus, ahli astronomi yang tetap berpengaruh kuat masa itu.
Perang memang tampak mengerikan walakin tak selalu menghancurkan. Alihbahasa
karya Yunani ini pun bermula dari peperangan. Kala pasukan Dinasti Abbasiyah
berhasil menggempur Yunani di kawasan timur Laut Tengah, penggempuran itu
membawa mereka menemukan buku-buku kuno yang mengagumkan.
Dari penggempuran itulah meski mereka tampak membikin Yunani musnah, namun
pengetahuan Yunani berhasil diselematkan dari kepunahan. Perang bisa menjadi
jalan perubahan pengetahuan yang mengagumkan.
Pertukaran budaya melalui jalan perang pun terjadi. Laskar Mongol yang
dipimpin Genghis Khan (1167-1227 M) dikenal memiliki gelora perang yang membara
dan sering menang. Mereka berhasil membabat habis Dinasti Abbasiyah yang kala
itu sudah mulai melemah.
Selain membabat habis dinasti ini, Laskar Mongol juga membuka jalur
perjalanan Tiongkok-Eropa. Jalur inilah yang kemudian dimanfaatkan Marco Polo
(1254-1324 M) untuk membawa beragam hasil unjuk karya bangsa-bangsa Asia ke
Eropa. Mulai dari mesiu, percetakan, pijakan kaki saat menunggangi kuda, hingga
gerobak roda-satu.
Penemuan uang kertas di Asia Tengah yang memperlihatkan unsur huruf
Tiongkok dan Timur Tengah menegaskan adanya persilangan budaya dari tempat yang
jauh terpisah –yang didorong oleh peristiwa peperangan.
Benang Merah
Sepanjang Sejarah
Kebudayaan Asia yang dipaparkan tak satu pun berhasil mencapai ilmu modern.
Walakin beberapa hal yang didapatkan
bisa dikembangkan.
Sumbangan matematis berhasil diberikan oleh Tiongkok dan India. Eksperimen
berhasil disumbangkan pengikut Mohis dan Taois di Tiongkok setelah sebelumnya
mereka juga menekuni filsafat ilmu. Hanya saja rekam jejak keduanya tak lama.
Timur Tengah berhasil mengembangkan bidang optik dan kedokteran yang lebih maju
ketimbang capaian Yunani.
Gejala utama yang berlaku dalam perkembangan ilmu kala itu ialah kelindan
antara ilmu dengan ranah yang kini tak masuk wilayah kajian ilmu, misalnya
astrologi-astronomi dan perdukunan-kedokteran. Derap ilmu belum bisa maju saat
pembahasan fenomena alam dengan perkara ghaib masih teraduk.
Perkembangan teknologi kala itu juga sulit maju lantaran lazimnya
cendekiawan merendahkan pekerjaan tangan. Mereka gemar memisahkan ilmu dan
teknologi, kegiatan berpikir dan berkarya dengan indra. Sikap ini menyebabkan
teknologi kurang mendapat masukan ilmiah dan sebaliknya kemajuan ilmu kurang
memanfaatkan teknologi. Sumbatan perkembangan ilmu banyak disebabkan belum
adanya ‘jembatan keledai’ yang mampu mengurangi jurang terentang antara berbuat
dan berpikir serta antara berpikir dan mengamati.
Walau berbeda masa, gejala yang ada di Mesopotamia juga muncul dalam
peradaban India, Tiongkok, dan Timur Tengah. ‘Perceraian’ antara insinyur dan
pengamat dengan pemikir serta kelindan hal-hal ghaib dengan hal-hal yang bisa
diamati indera masih ada.
Tiongkok memberikan dua gejala lainnya: jalan berpikir yang mekanis dan
logis disebut perlu untuk memahami alam semesta secara ilmiah serta kedudukan
sosial ilmuwan –didukung atau ditolak oleh masyarakat– ikut berperan juga.
Perbedaan paling kentara antara era Mesopotamia dengan India, Tiongkok, dan
Timur Tengah ialah ketiga ruang dan waktu yang disebut terakhir ini lebih
berkembang, berbeda dengan Mesopotamia yang cenderung poco-poco.
Hubungan antar bangsa memiliki peran penting dalam pengembangan ilmu maupun
teknologi. Hubungan ini memberikan kesempatan pertukaran budaya antar-budaya:
India dengan Yunani, Tiongkok dengan India, Timur Tengah dengan Tiongkok, hingga
Eropa dengan Timur Tengah.
Tanpa adanya hubungan tersebut, sulit bisa dibayangkan bagaimana ilmu dan
teknologi bisa dikembangkan. Untuk bisa berkembang, bisa juga melalui
serentetan pertikaian, tak melulu kemesraan. Begitu.
Sudah
B.Sb.Lg.200949.37.250616.11:40