![]() |
|
Pak Harto ketika di Istana Negara
[Sumber: Kenduri Cinta]
|
Pak Soeharto, presiden keempat
Republik Indonesia, pernah berungkap pada anak-anaknya, “Hati-hatilah kepada Cak
Nun. Sebab, dia satu-satunya tokoh nasional yang tidak pernah minta cadong kepadaku,” sejenis demikian pesan
Pak Harto.
Lalu siapakah Cak Nun? Pertanyaan ini
sulit dijawab dengan tepat kalau hanya identitasnya yang dilihat. Yang jelas,
Cak Nun adalah sapaan populer lingkungan terhadap sosok bernama lengkap
Muhammad Ainun Najib yang lahir di Jombang, 27 Mei 1953. Dia kini banyak dikenal
suka berkelana bersama kiai kanjeng serta menjadi bagian dari komunitas yang
disebut Maiyah.
Kiai Kanjeng adalah nama seperangkat
gamelan Jawa yang mengalami beberapa perubahan sehingga bisa menyesuaikan dengan
alunan nada non-Jawa. Sebutan Kiai Kanjeng juga melekat kepada para nayogo-nya (pemain instrumen). Kiai Kanjeng
inilah yang setia bersama menemani Cak Nun berkelana ke beragam tempat bermacam
lingkungan menemui masyarakat (rakyat maupun goverment).
Kiai Kanjeng tak salah disebut
sebagai sahabat dekat Cak Nun, yang melanglang buana berkelana menerobos hutan,
menghulu sungai, mengukur jalanan, sebagai upaya menjumpai masyarakat yang
merindukan kehadirannya. Mereka saling membantu dan menguatkan dalam suasana
susah maupun gembira. Kelekatan keduanya melahirkan akronim CNKK (Cak Nun Kiai Kanjeng).
Persahabatan cinta yang tulus antara
Cak Nun dan Kiai Kanjeng berlangsung bagus. Kiai Kanjeng sanggup menamani Cak
Nun dan rekan-rekan dalam membangun suasana menjadi gembira melalui gubahan
nada yang dimainkan melaluinya. Suasana gembira yang merasuk bagian terdalam sukma
sebagai salah satu cara untuk menuju keadaan hening, saat sukma tak digelayuti rasa dhemen-sengit pada liyan.
Kiai Kanjeng adalah wujud dari kerendahan
hati yang abadi dan semangat belajar yang tak pernah pudar. Gubahan karya Kiai Kanjeng,
Pembuko I dan Pembuko II, sudah ikut serta memperkaya (bukan hanya meramaikan)
museum musik klasik —conservatorio di
Napoli— di kota Napoli, Italia.
Kiai Kanjeng meninggalkan Demung-nya (salah satu instrumen) di
sana bersanding dengan karya Guiseppe Verdi, Robert Wagner, Guiseppe Tartini,
dan Antonio Vivaldi. Kiai Kanjeng juga ikut serta melantunkan puisi Hati Emas sebagai ungkap rasa belasungkawa
atas mangkatnya Paus Paulus II.
Tak hanya di Italia saja Kiai Kanjeng
pernah singgah. Salju dingin di wilayah Skandinavia juga pernah dijelajah.
Begitu juga hamparan rumput di Skotlandia nan megah. Menyapa sesama di negeri
para Fir’aun di seberang laut Merah.
Merasakan udara gurun di tanah ‘buangan’ Australia, mengunjungi belahan lain di
Asia Tenggara, melintas batas Asia. Dengan rekam jejak yang wah, Kiai Kanjeng
diserta bertahan pada muruah.
Oleh nayogo-nya, Kiai Kanjeng diajak untuk senantiasa menanam tanpa
pernah berharap memanen. Seperti ketika Kiai Kanjeng yang menghembuskan nuansa
rasa sehingga shalawat menjadi tidak asing di telinga penghuni Indonesia serta
Nusantara, walakin ketika lantunan shalawat menggeliat di beragam tempat, Kiai Kanjeng
‘undur diri’ tak serta merta mengikuti perubahan zaman saat shalawat menjadi
bagian jajanan industri.
Kiai Kanjeng menyuntikkan riak pada
sukma mereka yang sedang mengalami kuldesak. Riak yang ketika diterima terasa
merisak menjadi pemantik nyala api untuk menuju Kirana, menjadi bagian tak terpisahkan
dari Kirana.
Ketika sukma sudah manunggal dengan Kirana, segala yang ada
tak akan mudah membuatnya ‘berselingkuh’ dari-Nya. Bahkan iming-iming surga sekalipun tak sanggup membikin suka terpaling.
Martabat, semat, pangkat, anggapan derajat, pun tak lagi menjadi barang
penting.
![]() |
|
Pentas Kiai Kanjeng di Concert de Musique Sacrée Indonésienne
Morocco
[Sumber: CakNun.com]
|
Cak Nun dan Kiai Kanjeng melibatkan
dirinya sebagai bagian dari Jamaah Maiyah. Secara serampangan, Jamaah Maiyah
adalah orang-orang yang menghadiri acara-acara Maiyah. Meski tak dimungkiri ada
pula orang yang merasa sebagai Jamaah Maiyah tanpa pernah ikut serta terlibat
dengan acara-acara Maiyah.
Malah ada juga yang melibatkan
dirinya tanpa pernah merasa menjadi bagian dari Jamaah Maiyah. Yang jelas, Cak
Nun, Kiai Kanjeng, dan Jamaah Maiyah adalah satu ke-manunggal-an rasa. Ragam macam personalitas dan identitas tak harus
disamakan lantaran mereka memiliki titik temu jitu: rasa.
Manusia
adalah makhluk hidup yang berperasaan. Karena memiliki rasa yang menjadikannya
berbeda dari makhluk hidup lain, rasa bagi manusia menjadi landasan yang kuat.
Ketika ada seseorang yang memiliki satu set badan lengkap tanpa dapat
merasakan rasanya sendiri, apalagi rasa manusia lainnya, dia seakan robot yang walaupun memiliki kepintaran melebihi kepintaran para perancang, tapi belum
bisa memiliki
rasa.
Segala
sesuatu maupun peristiwa yang memberikan manfaat pada rasa manusia pasti
berguna bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Hal inilah yang membikin qUEEN lebih abadi ketimbang parlemen Inggris yang semasa
dengan mereka.
Rasa kasih
sayang misalnya, sanggup membawa kita pada rasa sama hingga segala yang
dilakukan disebut baik. Sama-sama merasakan adanya kesamaan, kesetaraan, maupun
keserupaan rasa antara dia
sendiri dengan seluruh ciptaan-Nya. Kosok bali dari rasa beda, yang merasa berbeda dengan liyan,
baik rasa lebih tinggi maupun lebih rendah dari liyan.
Rasa kasih
sayang menahan kita untuk tak melakukan segala hal yang merisak rasa liyan.
Rasa inilah yang dengan lemah lembut menghantam hingga rasa terdalam, yang
ketika sudah tersentuh, bisa membikin segala rasa yang tertuang menjadi
terkenang. Rasa ini pula yang terus diselami
bersama oleh Cak
Nun, Kiai Kanjeng, serta Jamaah Maiyah.
Mereka tampak banyak tapi tak salah disebut mereka itu satu. Saling mengapresiasi kesamaan sekaligus menghormati ketaksamaan berpadu dengan semangat untuk saling memuliakan dan melantan muruah liyan. Rasa membikin mereka terikat dengan liyan dan lingkungan
sehingga segala yang dilakoni
tak merisak nurani.
Cikal bakal kumpul-kumpul yang kini disebut pengajian Maiyah bermula
pada 1993. Saat itu Adil Amrullah, adik Nun, menggagas pengajian yang dilaksanakan di rumah Ibu di Jombang segai cara
ber-silaturahim.
Selain itu juga sebagai tanggapan
lingkaran Cak Nun terhadap keseharian masyarakat yang saat itu banyak mengalami ketakpuasan, keputusasaan, hingga memantik amarah terpendam. Jiwa
masyarakat sudah berada
pada titik
yang mudah dipantik
untuk dihancurkan.
Ada bagian di hati masyarakat yang tak sanggup diisi oleh lembaga-lemabaga
yang ada saat itu. Lembagai organisasi massa, komunitas pengajian, partai politik, dsb dst. Lubang inipula yang dirasa
oleh Cak
Nun dan karib
serta kerabatnya
sehingga mewujudkan
gagasan menyelenggarakan
pengajian sebagai bagian dari upaya mengisi lubang menganga.
Karena pengajian itu diselenggarakan secara rutin satu kali setiap bulan dengan mengambil waktu saat terjadinya bulan purnama, maka pengajian inipun dinamakan Pengajian Padhangmbulan. Padhangmbulan
merupakan istilah lidah
Jawa dalam menggambarkan
keadaan pada
malam purnama.
Niat Cak Dil, sapaan mesra Adil Amrullah, mengadakan pengajian ini tak dimaksudkan akan menjadi apa pun. Bahkan ketika pengajian ini melebar dan meluber ke mana-mana. Setelah dimulai dari keluarga, meluas pada tetangga satu RT
lalu satu desa, dan malar melintas batas kecamatan, kabupaten, provinsi, negara, hingga tanah air bangsa.
Cak Dil tak pernah mendamba bahkan menduka akan terjadi seperti itu. Dia hanya yakin bahwa segala sesuatu akan ada manfaatnya ketika dilakukan dengan melibatkan Allah selalu. Tak peduli lagi dengan banyaknya tantangan, hambatan, dan sumbatan
yang dihadapi pada saat itu.
Keadaan lingkungan saat itu memang memaksa mereka, para penyelenggara, untuk bekerja keras agar acara itu bisa
terselenggara. Mengadakan
perkumpulan dengan
dihadiri banyak
orang bukanlah
hal mudah. Secara normal, hal seperti ini tak akan pernah mendapat izin dari pengurus
wilayah lokal.
Saat itu memang untuk mengadakan acara harus mendapat izin setidaknya dari pengurus (goverment) lokal serta aparat kepolisian dan militer lokal. Untuk mengakali hal ini, Cak Dil menggunakan beragam pendekatan personal kepada pihak-pihak yang terkait dengan perizinan. Dengan demikian, acara yang memadukan pengajian dan pengkajian inipun bisa diselenggarakan
Sementara waktunya mengambil saat purnama,
tempatnya menapak
tilas masa jaya perhimpunan bangsa-bangsa di Nusantara. Pinggiran barat pusat
negara Majapahit dipakai
sebagai tempat pengajian ini dihelat. Lebih tepatnya di sekitar patok tambatan kapal akses ke Keraton yang sekarang hanya sedikit di luar pekarangan rumah orangtua Cak Nun dan Cak Dil.
![]() |
|
Banawa Sekar, salah satu ‘hajatan’ besar Maiyah.
Digelat pada 27 Rajab 1435H/27 Mei 2014 di Menturo,
Jombang.
[Sumber: khazanahmaiyah.blogspot.com]
|
Debut pengajian ini dihadiri oleh
lebih-kurang 40 orang.
Edisi berikutnya
dihadiri 270 orang. Bulan ketiga
hadirin mencapai 500-an orang. Malar
berkembang hingga
mencapai 35.000-an orang. Aparat telisik negara sebenarnya mulai melakukan operasi rahasia semenjak bulan ketiga guna memantau pengajian Padhangmbulan.
Mereka berpadu dengan menyaru sebagai jamaah
yang hadir sebagai peserta pengajian. Hingga pada satu ketika jumlah penyaru ini mencapai 80
orang. Jumlah tersebut merupakan
gabungan dari aparat telisik
negara dari pusat, Jawa Timur, serta lokal.
Mengetahui keadaan seperti ini, para
penyelenggara segera melakukan upaya kontra. Para aparat telisik negara ini diundang oleh Cak Nun ke rumah orangtuanya sesudah pengajian
selesai dihelat bersama. Mereka
diajak ngobrol dalam suasana hangat. Hingga akhirnya tak ada rasa curiga dari mereka bahwa Cak Nun sedang menggerakkan massa guna menggulingkan ‘penguasa’.
Para aparat negara yakin dengan Cak Nun yang bisa menahan diri meski sanggup menggerakkan massa hingga mereka yang mulanya menyaru justru berubah
menjadi bagian jamaah itu. Mereka
tak lagi hadir untuk memantau dan melaporkan pada goverment walakin
ikut serta bersama
sebagai aktor
utama pengamanan acara.
Pada masa kekuasaan Soeharto masih meggeliat kuat, pertemuan massal hanya sedikit dihelat. Bahkan dari pertemuan sedikit itu, tak sedikit yang dibubarkan paksa. Hanya saja Padhangmbulan sanggup terbebas dari pembubaran paksa dari aparat negara.
Mereka memang sedari mula tak hendak malakukan manuver alternatif untuk terus menerus melawan Soeharto. Mereka memang bisa lebih kritis pada segala tindak-tanduk Soeharto sebagai kepala negara. Hal ini membuat mereka tak terjebak pada amarah yang menggelayuti sukma. Tak selalu menolak Soeharto juga tak selalu menerima. Segala yang ada
diletakkan pada
tempatnya.
Capaian fenonemal Padhangmbulan antara lain bisa terus
menerus berlangsung dengan jumlah massa yang kian bertambah tanpa pernah dirasa
hendak menggulingkan ‘penguasa’ negara. Mereka memang tak berniat menggulingkan ‘penguasa’ untuk diganti posisi dan perannya oleh
mereka.
Padhangmbulan adalah salah satu cara mereka untuk berkumpul bersama berungkap rasa sembari mengisi satu sisi
terlubangi di hati sekaligus
menambah wawasan keilmuan
dan berbagi pengalaman. Mereka
berkumpul untuk mempertahankan muruah dengan terus menerus
beserah pada Ilah.
Hanya saja tak semua orang suka. ‘Penguasa’ saat itu memang tak pernah membubarkan paksa dan tak ada rasa diganggu oleh mereka. Namun hal inilah menjadi pemicu kaum pandir untuk berungkap kata-kata yang nyinyir.
Mereka mempertanyakan alasan tak ‘tersentuh’-nya pengajian ini oleh
‘penguasa’ walau alasan untuk
menghentikannya
terpampang kentara.
Cak Nun, sebagai
sosok yang menjadi ikon acara ini, pun serta merta dituduh
sebagai ‘peliharaan’ Soeharto.
Oleh kaum pandir, Cak Nun disebut sengaja di-‘pelihara’
Soeharto sebagai cara kepala
negara hebat itu menyeimbangkan
wacana. Walau tak
jarang ditembak
dengan kata-kata nyinyir, toh pengajian ini serta Cak Nun seorang diri, tak pernah langsir.
![]() |
|
Mbah Nun
[Sumber: Google+]
|
Padhanmbulan tetap bertahan dan terus berkembang walau Pak Harto tak lagi memegang langsung ‘kekuasaan’. Malah pengajian ini tak hanya dihelat di satu tempat. Mereka tegap melebarkan sayap yang bukan sayap-sayap patah.
Dengan memulai pengajian serupa di
rumah Cak
Nun, di Jogjakarta
yang tak
lagi istimewa, metamorfosis Padhangmbulan
bermula. Hingga akhirnya
pada tahun 2001 pengajian ini disebut Maiyah. Tak hanya di Jombang (purnama) dan Jogja
(tanggal 17 masehi), pengajian Maiyah juga dihelat di beragam tempat lainnya.
Mulai di Mandar dengan sebutan Papperandang, Gambang Syafaat di Semarang (tanggal 25 bulan miladiyyah), Kenduri
Cinta di Jakarta (Jumu’ah pekan
kedua setiap
bulan), Obor Ilahi di Malang, serta Haflah Shalawat dan Pengajian Tombo Ati
di Surabaya (tanggal 16 masehi).
Pengajian Maiyah yang di Surabaya ini
kemudian
bermetamorfosis menjadi Bangbangwetan,
sebutan gampang dari Abang Abang Soko Wetan. Abang
Abang Soko
Wetan ini maksudnya kirana merah dari timur. Sebutan ini
dilandasi sikap
untuk kembali ke timur bukan barat yang selalu ditunjuk saat barat sedang mengalami
masa-masa segala hal dipandang sebagai barang dagangan.
Ada pula pengajian yang terinspirasi
dari Pengajian Maiyyah dengan nama pengajian Idza Ja di Ende, Flores. Hadirin
di pengajian ini pun memberikan
identitas diri mereka
sebagai bagian Jamaah Maiyah.
Pengajian ini
diselenggarakan mandiri tanpa campur tangan pihak goverment maupun
sponsor. Pada setiap acara,
biasanya berjalan sekitar 7 hingga 8 jam. Format acara ini merupakan perpaduan obrolan bersama secara terbuka tentang apa saja, mulai pendidikan, seni, budaya, politik, ekonomi, sains, dsb dst.
Siapapun diberi kesempatan
untuk berbicara pada acara
ini. Panggung disusun setinggi
mata kaki, sehingga interaksi terhadap hadirin
terbangun dengan cepat dan spontan. Dengan terbukanya acara ini menjadikannya mudah memunculkan berbagai hal ecara
spontan dengan tema beragam, sehingga berbagai topik menjadi materi diskusi
yang mengasikkan.
Karya seni juga
disuguhkan pada setiap acara.
Berbagai warna musik
seperti jazz, seni tari, juga puisi yang dikemas sedemikian rupa
hingga dapat mamadukan keindahan
tanpa melupakan pesan
utama yang hendak
dibahas bersama.
Kebersamaan dalam rasa sama terpampang
kentara dalam
setiap dakwah yang disampaikan. Hal inilah yang kerap dilupakan orang sekarang. Pandangan sempit dalam memaknai dakwah dihindari sepertihalnya menghindari
dakwah sebagai
bagian industri.
Jamaah Maiyah dihidupi oleh pengajian
Maiyah sebagai kekuatan jasmani. Sementara kekuatan jasman ini menghidup diri dan
mendapat kehidupannya
dari kekuaran rohani berkah shalawat.
Bershalawat adalah bagian utama dari
pengajian Maiyah. Sebagai bagian utama, bershalawat diiringi dengan bagian
pengiring berupa diskusi
multi-arah sebagai upaya memperluas dan memperdalam wawasan keilmuan sembari berbagi pengalaman.
Dengan capaian demikian, tak membikin Cak Nun menjadi orang penting. Keberadaan Cak Nun memang penting bahkan sudah menjadi ikon jamaah Maiyah. Walau demikian, dia selalu menolak dirinya diletakkan di suatu tempat berbeda dengan
jamaah.
Cak Nun larut berpadu bersama dengan
jamaah tanpa merasa perlu mengeksiskan dirinya secara beda. Hal ini
didasari dari keberserahannya
pada Pelantan semesta raya sehingga merasa tak pantas berada di antara Khaliq dan makhluq.
Bagi Cak Nun, setiap hamba memiliki hak privacy untuk berhadapan dengan Pencipta tanpa
dicampuri, digurui, atau dirisak
oleh siapa pun. Cak
Nun tak berani meninggikan ‘suara’-nya melebihi ‘suara’
Muhammad, sang Persembahan dari Surga,
apalagi melebihi ‘suara’ Ilahi-Rabbi.
Cak Nun selalu berusaha untuk tidak boleh dikenal sehingga membikin orang lebih mengenalnya ketimbang mengenal dirinya, Muhammad,
dan Allah. Hal ini pula yang membikin
Cak Nun dengan
segala daya dan upaya terus bersembunyi dari keriuhmeriahan lingkungan. Dia tak ingin mendapatkan kemasyhuran yang membuatnya lebih
diperhatikan
oleh liyan melebihi kadar perhatian mereka pada Allah dan rasulullah.
Maiyah pun tidak pernah diproklamasikan sebagai revolusi agama. Bahkan revolusi teologi, mazhab, maupun thoriqot pun tak pernah dilakukannya. Apalagi diresmikan menjadi organisasi massa dan
partai politik.
Maiyah tidak
ingin dirasa beda dengan sesama ciptaan-Nya. Mereka hanyalah satu kebersamaan yang nilainya mengadopsi
nilai-nilai dalam persahabatan cinta.
![]() |
|
Muhammad Ainun Nadjib
[Sumber: jogjanews.com]
|
B.Sl.Lg.051149.37.080816.20:13




