— Pendatang Sepanjang Menggelinjang Dirasa Beda Selamanya
Keberanian Grace Natalie Louisa
mendirikan partai politik baru patut diapresiasi. Selain akhir-akhir ini
kepercayaan masyarakat terhadap partai politik merosot tajam, juga faktor non-teknis
lainnya berupa latar belakang Grace Natalie sebagai keturunan Tionghoa. Agak
aneh memang. Kalau kita menelisik sejarah bangsa-bangsa Nusantara, orang
Tionghoa sudah lama datang, menetap, dan beranak-pinak di bumi Nusantara ini.
Namun kehadiran mereka, setelah beberapa abad, masih saja dianggap sebagai ‘pendatang’.
Anggapan sebagai ‘pendatang’ sangat
terlihat ketika Ahok menjadi gubernur propinsi DKI Jakarta beberapa waktu silam.
Terlepas dari beragam rekam jejaknya, sempat ada gesekan terjadi yang banyak
disebabkan latar belakang Ahok yang Kristen dan keturunan Tionghoa. Dia
dianggap tak layak memimpin di Indonesia, bukan hanya karena penganut agama
non-mayoritas, walakin juga memiliki genetik sebagai ‘pendatang’.
Kiprah Basuki Thahaja Purnama alias
Ahok sebagai pejabat publik cukup membanggakan sebenarnya. Meski Ahok bukan
pejabat publik pertama dari kalangan Tionghoa, tetapi nama Ahok bersinar
terang. Dulu muncul nama Kwik Kian Gie yang kini perannya kurang diketahui.
Sebelum Kwik Kian Gie, Ahok, dan Grace, sudah banyak warga keturunan Tionghoa
yang turut serta membangun Indonesia, terutama melalui olah raga, khususnya
sepak bola dan bulu tangkis.
Sejumlah nama seperti Tan Liong Houw,
Thio Him Tjiang, Beng Ing Hien, Chris Ong, Kwee Kiat Sek, Mulyadi, sampai Surya
Lesmana, merupakan warga keturunan yang menjadi bintang sepak bola Indonesia.
Kwee Kiat Sek, Tan Liong Houw, Thio Him Tjiang, dan Beng Ing Hie, merupakan
punggawa tim nasional Indonesia di ajang Olimpiade 1956 di Melbourne. Kala itu
timnas membuat kejutan dengan menahan imbang tanpa gol Uni Sovyet, yang
diperkuat Lev Yashin. Strategi ‘parkir bus’ berhasil membikin Yashin dkk gagal
menceploskan sebiji gol pun.
Sebelum berkiprah di ajang Olimpiade
1956, mereka turut berjuang di ajang Asian Games II 1954. Kiprah mereka terus
berlanjut beberapa tahun kemudian. Mulai ajang Pra Piala Dunia 1957, Asian
Games III 1958, Pra Olimpiade 1960, sampai Asian Games IV 1962. Mereka tetap
eksis sampai era 1960-an. Sayang tumbangnya rezim Orde Revolusi yang digantikan
rezim Orde Militeristik menjadi pemicu surutnya kiprah etnis Tionghoa di kancah
publik, termasuk sepak bola. Sampai sekarang, jarang dilihat warga keturunan
yang berkiprah di sepak bola, kalau malah dibilang tak ada.
Jika di arena sepak bola kiprah
mereka sudah menyusut, berbeda dengan di arena bulu tangkis. Di arena ini
kiprah warga keturunan juga hebat, tetapi saat ini sudah menyusut meski tidak
separah kiprah di arena sepak bola. Oei Hok Tjoan, adalah orang yang jasanya
tak boleh dilupakan oleh dunia bulu tangkis Indonesia. Melalui usahanya, bulu
tangkis berkempang pesat ke berbagai daerah setelah hanya berkembang di
Batavia.
Banyak nama yang berseliweran sebagai
bintang bulu tangkis nasional meski saat itu belum terbentuk organisasi bulu
tangkis nasional. Mulai dari Nyoo Kiem Bie, Tan Po Siang, Oey Hok Tjoan, Gan
Kai Ho, Then Giok Sie, hingga Liem Soei Liong. Nyoo Kiem Bie sendiri selain
menjadi pebulu tangkis, juga merupakan pesepak bola hebat. Ia berposisi sebagai
pemain belakang. Tetapi ia lebih memilih menekuni dunia bulu tangkis, apalagi
setelah di tahun 1957 Indonesia bergabung ke IBF (International Badminton
Federation, sejak tahun 2007 berganti nama menjadi Badminton World
Federation [BWF]).
Ketika Indonesia meraih gelar juara
Piala Thomas tahun 1958, nyaris semua punggawa tim merupakan warga keturunan.
Nama-nama seperti Tan Joe Hok, Tan King Gwan, Lie Po Djian, Tan Thiam Beng,
serta Tio Djoe Jen, adalah punggawa tim yang berasal dari kalangan warga
keturunan. Saat itu, di pertandingan pertama Indonesia berhasil menggulung
Denmark 6-3, lalu berturut-turut mendepak Amerika Serikat 7-1, Thailand 8-1,
dan Jepang 6-3. Di pertandingan puncak, Tan Joe Hok dkk sukses menggulung
Malaysia 6-3 yang merupakan juara bertahan. Itulah kali pertama Indonesia
meraih piala Thomas.
Peran pemain keturunan tak hanya
sampai di situ. Pada piala Thomas 1964, terdapat nama Ang Tjing Sian yang
menjadi bagian tim. Kemudian hadir nama Agus Susanto dan Nio Hap Liang alias
Rudi Hartono Kurniawan, yang namanya berkibar setelah meraih delapan gelar
juara All England. Di era 1970-an hingga 1980-an, muncul nama Indra Gunawan,
Indratno, Tjun Tjun, Johan Wahyudi, Ade Chandra, Christian Hadinata, Liem Swie
King, Kartono, Heryanto, Hadibowo, Hadiyanto, Bobby Ertanto, Hastomo Arbi,
hingga Eddy Kurniawan. Generasi berikutnya memunculkan nama Eddy Hartono,
Gunawan, Goei Ren Fang alias Alan Budi Kusuma, Hermawan Susanto, Hariyanto
Arbi, Lioe Tiong Ping, Hendrawan, Candra
Wijaya, Tony Gunawan, hingga Hendra Setiawan. Nama-nama pemain keturunan terus
menghiasi dunia bulu tangkis Indonesia.
Tak hanya di bagian putra, bagian
putri juga turut dihiasi nama-nama keturunan. Nama-nama seperti Ten Koen Liong,
Herly The, Ong Tjiauw Tjiang/Teng Koen Liong, Thio Yu Wan/Tan Yok Sin,
Ayat/Herly The, adalah penguasa PON II tahun 1951. Di era 1950-an hingga
1980-an, memunculkan bintang srikandi keturunan, seperti Oei Lin Nio, Goei Kiok
Nio, Megah Inawati, Megah Idawati, Utami Dewi, Maria Fransiska, Verawati
Wiharjo, Imelda Wiguna, Ivana Lie, Merry Herliem, Elizabeth Latief. Era
berikutnya masih memunculkan nama-nama keturunan, seperti Kho Mei Hwa, Susy
Susanti, Minarti Timur, Yuliani Sentosa, Yuni Kartika, Lidya Djaelawidjaya,
Ellen Angelina, Cindana hingga Mia Audina.
Untuk saat ini, kiprah mereka memang
cenderung menyusut. Tetapi tak separah di sepak bola yang tampaknya sudah
punah, di arena bulu tangkis masih ada nama-nama keturunan. Sebut saja Alvent
Yulianto, Simon Santoso, Hendra Setiawan, Evert Sukamta, Alrie Guna Dharma, dsb
dst.
Di arena politik, saat ini masih
diperlukan pahlawan yang siap berperan tanpa berkorban. Bukan berperan dengan
bertempur fisik walakin menyediakan kekayaannya untuk menjadi pejabat publik
tanpa memikirkan untung rugi secara materi. Jika mereka hadir di kancah
politik, maka Indonesia akan memiliki pejabat publik yang mampu mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Untuk warga ‘keturunan’, cenderung
kurang meminati dunia politik. Nuansa SARA ketika ada warga keturunan yang
mencalonkan diri dalam pemilu menjadi salah satu sebab. Hal ini membuat
sebagian besar warga keturunan cenderung apatis. Mereka lebih tertarik menekuni
dunia bisnis daripada politik praktis.
Suka tidak suka, mau tidak mau, harus
diakui bahwa warga keturunan cenderung hidup berkecukupan. Jika mereka mau menyumbang
materi, kursi legislatif dan eksekutif bisa diisi oleh kalangan berkecukupan
yang rela berkorban materi demi Indonesia. Mereka bisa menjadi pahlawan
revolusi yang dapat dinikmati beberapa tahun kemudian, meski mereka sendiri tak
ikut menikmati. Bukankah pahlawan kemerdekaan banyak berkorban tetapi tak
menikmati kemerdekaan?
Terjun ke dunia politik tak perlu
membentuk partai baru bernuansa SARA, Partai Tionghoa Indonesia misalnya. Di
negara Bineka Tunggal Ika ini sudah seharusnya pelaku politik tahu diri tak
bijak membentuk partai bernuansa SARA. Selain cenderung mengotak-kotakkan
rakyat, juga akan mencemarkan SARA yang di bawa ketika terlibat masalah.
Misalnya jika ada Partai Tionghoa Indonesia, kemudian kadernya terjerat
berbagai kasus, mau tidak mau citra Tionghoa ikut buruk. Warga keturunan bisa
masuk ke partai yang sudah ada dan memiliki basis massa yang mapan.
Indonesia Tionghoa bukanlah penumpang
di Indonesia, walau tak dimungkiri gairah menguasai Indonesia dengan egonya
bisa jadi ada di sebagian kalangan mereka.
B.Sb.Po.021149.37.060816.03:03