Mike Shinoda



because learn is do


Kekaguman tak pernah sirna merasuk jiwa pada manusia paripurna Mike Shinoda (Michael Kenji Shinoda). Dia berhasil mewujudkan dan melantan dengan ciamik rasa cinta dalam sukmanya.

Persahabatan dengan Brad Delson yang dimulai ketika keduanya dipertemukan oleh pagelaran Pelantan semesta dilakoninya dengan apik. Beberapa tahun setelahnya, dia juga berhasil menyertakan Anna Hillinger sebagai pasangan dalam perjalanan epik. Keren lho....

Kadang-kadang saya kesal dengan pandangan sebagian orang terhadap ‘cinta’. Sebagian orang menyempitkan ‘cinta’ dengan hanya ‘mengijinkan’ perwujudannya melalui bingkai pernikahan ataupun pacaran (kalau belum menikah).

Bahkan ada yang lebih ‘parah’ lagi dengan hanya memandang ‘cinta’ itu rasa dari laki pada puan saja, tanpa bisa berbalik. Padahal perwujudan ‘cinta’ bisa dilakoni dalam banyak bingkai ikatan, termasuk pertikaian sekalipun. Tentu ada perbedaan kadar ‘cinta’ dalam ragam bingkai itu.

Mike Shinoda laiknya pelanjut ‘jalan’ yang ‘dibuka’ oleh Dhani. Keduanya sama-sama menjadi bagian dari grup yang saya sukai. Keduanya juga saya kagumi sebagai seorang pribadi sembari tetap menjadi bagian dalam sebuah grup.

Kehadirannya bersama Linkin Park dalam Crawling membawa saya dengan mudah menikmati karya dan penampilan Avril Lavigne melalui Sk8er Boi. Sk8er Boi inilah yang pada akhirnya membawa saya pada perjalanan selanjutnya dengan Britney Army sebagai identitas penyerta personalitas saya.

Karena ada nuansa beda dari Britney dibanding nama-nama sebelumnya, masa-masa ketika saya mulai menggilai Britney gemar saya sebut sebagai perlintasan perubahan penting. Baik Dhani, Mike, maupun Avril, sama-sama membawa warna utama rock dan mereka sanggup memainkan keyboard serta guitar dengan apik. Sedangkan warna yang dibawa Britney, tentu beda dengan mereka.

Benar atau salah belum saya teliti sendiri, saya rasa musikus yang bisa memainkan dua alat musik tersebut bisa menghasilkan karya yang lebih berwarna ketimbang yang hanya bisa memainkan salah satunya saja. Dhani dan Mike serta Avril termasuk dalam hal ini.

Mike Shinoda pula yang ‘memandu’ saya dari DEWA19 Ke 2NE1 melalui Linkin Park. Paduan rock dan hip-hop yang diperagakannya bersama Linkin Park baru menemukan tempat ‘pelampiasan’ ketika saya mengenal 2NE1 melalui Fire. Since then never stopped.

Baru 2NE1 lah, grup dengan warna utama hip-hop, yang bisa saya suka sepenuhnya. Baru 2NE1 pula grup dengan punggawa puan yang membikin saya suka. Scandal, grup alternative rock dari Jepang pun hanya melintas sekelebat mata bagi saya. Sejauh ini, saya sering menyukai penyanyi solo ketimbang grup, kalau untuk puan. Spice Girls mengenalkan, Sandal hadir sebagai pilihan, walakin 2NE1 menahbiskan sebagai tempat mendarat.

Kebetulan di 2NE1 ada Park Bom yang ‘menjembatani’ Chester Bennington dan Britney Spears. Tampak kentara sebutan ‘menjembatani’ ini serampangan, walakin lebih serampangan lagi ketika saya suka menyebut CL, rapper-nya 2NE1, sebagai ‘Mike Shinoda female version’.

Kebetulan tahun debut 2NE1 beririsan dengan tahun DEWA19 berhenti berilis karya baru mereka. Bukan Cinta Manusia Biasa, karya terkeren DEWA19 menurut saya, dirilis pada Mei 2009, bulan 2NE1 hadir menyapa dengan karya mereka berjudul Fire.

Kebetulan juga dua lagu itu bisa menjadi gambaran utama grup tersebut. Kebetulan juga Linkin Park dan Britney Spears tak menyapa dengan karya baru mereka yang bisa saya suka sepertihalnya Bukan Cinta Manusia Biasa dan Fire.

Tak jarang saya merasa pengaruh mereka bagi saya sangat lekat. Antara lain, saya lebih banyak menjalani kehidupan sebagai bagian grup, tak sendiri. Misalnya memiliki ikatan erat dengan sahabat tak sebatas antar muka semata walakin dalam kebersamaan yang lebih dirasa.

Mungkin karena tiga dari keempat brand yang paling saya gandrungi ini berbentuk grup dan hanya ada satu yang solo, saya lebih mudah menjalani keseharian ‘ala grup’ ketimbang ‘ala solo’. Mungkin hal ini yang membikin saya merasa sangat terikat dengan orang di sekitar hingga ketika berpisah terasa sangat berat dan hati mudah tersayat.

Mike Shinoda itu mengagumkan. Dia berhasil melampiaskan segala hasrat yang dipendam tanpa pernah merisak liyan alih-alih membikin tenggelam. Dia bisa melakoni perannya sebagai keboardist di Linkin Park dengan bagus.

Peran ini diperkaya dengan kelihaiannya memadu permainan guitar bersama Brad Delson dan kepiawainnya mewarnai suara ‘sinting’ Chester. Hebatnya, dua peran tambahan tak membikin dua nama tersebut merasa dikalahkan.

Mike pun berhasil melampiaskan hasratnya lain dengan membentuk Fort Minor. Sebuah grup yang dibentuknya sebagai upaya melampiaskan hasrat sebagai ‘pecandu’ hip-hop.

Melalui grup ini, Mike menghasilkan karya dengan warna utama hip-hop. Dia tak hendak mengubah warna utama Linkin Park yang telah memberi ruang baginya untuk melampiaskan hasrat pada rock. Linkin Park memang diwarnai olehnya dengan hip-hop. Namun dia tampak belum puas saat hasrat berkarya dengan warna hip-hop belum bisa dilampiaskan secara lepas.

Karena dia sayang dengan grup yang dibentuk dengan nama Xero itu, Mike pun tak hendak mencederai warna grupnya dengan menyempatkan menghasilkan karya yang memuaskan hasratnya, hip-hop sepenuhnya. Sebagai jalannya, Mike memilih membentuk grup baru, dengan warna baru, yang saling berpadu tanpa harus beradu.




Mike memang serius untuk menekuni karir sebagai musikus. Sejak belia dia sudah menggilai musik, terutama musik-musik berwarna rock dan hip-hop. Dia banyak menyimak karya-karya Boogie Down Productions, Public Enemy, N.W.A, dan Juice Crew.

Mike juga bisa tenggelam dalam merasakan unjuk rasa karya Nine Inch Nails, Deftones, The Roots, dan  Aphex Twin. Mike pun kian memperkaya dan mewarnai kegandrungannya pada musik dengan menikmati karya dari brand lainnya, mulai dari Led Zeppelin, Run DMC, The Beatles, Rage Against The Machine, Purity Ring, Arctic Monkeys, hingga Santigold.

Kegemaran ini didukung sang ibu, sosok terdekat Mike. Sang ibu terus mendorong Mike untuk menekuni musik. Saat usia Mike baru enam tahun, sang ibupun memberikan dukungan teknis pada putranya ini dengan mengikutkannya pada program belajar piano.

Merasa sudah bisa menguasai piano, Mike melangkah ke ranah berikutnya dengan ikutserta mengasah kemampuannya untuk bermain jazz, blues, dan hip-hop. Ketekunan dilanjutkan dengan memperkaya dan mewarnai dirinya melalui belajar gitar dan vokal bergaya rap.

Kemauan yang terus menggelora dalam sukma diserta dukungan keluarga semakin kuat menggeliat dengan dukungan dari sahabat. Perjumpaan Mike dengan Brad Delson dan Rob Bourdon ketika sekolah di Agoura High School membawa ketiganya sepakat membentuk sebuah grup band. Grup band yang diberi nama Xero itu dirancang dengan sangat serius untuk sanggup menggelinjang dalam industri musik. Keseriusan mereka ditampakkan dengan terus bertahan bertiga memperjuangkan Xero sesudah berpisah sekolah.

Mike melanjutkan pendidikan formalnya ke Art Center College of Design di Pasadena, California. Dia mendalami hasrat seni rupanya (desain grafis dan ilustrasi) di sini. Sedangkan sahabatnya, Brad Delson menjadi pelajar di University of California, Los Angeles (UCLA). Delson memilih bidang komunikasi sebagai ranah yang didalami secara akademis, terutama bisnis dan administrasi.

Perpisahan ruang tak menjadikan mereka lupa mewujudkan impian yang dirancang bersama. Bahkan sebagai upaya mewujudkannya, masing-masing membawa satu sahabat barunya untuk ikut serta.

Di Pasadena, Mike berjumpa sesama darah Asia, Joe Hahn (Joseph Hahn). Walau laki berdarah Korea ini tak seperti laki berdarah Jepang ketika kuliah, keduanya tetap bersama dalam perjalanan berikutnya. Joe Hahn tak sampai menyelesaikan kuliahnya, kosok bali dengan Mike. Hanya saja sejak perjumpaan mereka, Mike tertarik mengajakserta Joe Hahn untuk bergabung ke dalam Xero.

Sementara itu, di  Westwood, Los Angeles, Delson menjejak Mike dengan menjalin ikatan cinta bersama Dave Farrell. Mereka berdua berbagi ranjang bersama selama tiga tahun lamanya. Interaksi intim yang perlahan malar terjalin membikin Delson tak ragu mengajakserta ‘Phoenix’ bergabung Xero.

Rob Bourdon pun tak mau kalah dengan dua sahabatnya. Sepertihalnya Mike dan Delson, Bourdon pun mengajakserta sahabatnya, Mark Wakefield, untuk bergabung bersama di Xero. Awal mula yang indah sebenarnya andai Mark Wakefield tak memilih hengkang kemudian.

Mungkin Mark tak bisa seintim dengan punggawa lainnya seperti dia bisa intim dengan Bourdon. Bisa jadi juga impiannya tak selaras dengan impian punggawa lainnya.

Masuknya tiga punggawa baru dalam grup ini membikin mereka menyusun ulang formasi yang telah dirancang. Semula Mike berperan sebagai lead vocalist dan keyboardist, Delson sebagai lead guitarist, serta Bourdon sebagai drummer.

Seiring masuknya Mark, Mike pun berperan sebagai tandem vocalist berpadu dengan Mark yang ditunjuk sebagai lead vocalist-nya. Sementara kehadiran ‘Phoenix’ dan Hahn memperkaya nuansa rasa mereka. Phoenix memegang peranan sebagai bassists sementara Hahn menjadi turntablist.

Untuk ukuran saat itu, membawa serta turntablist ke dalam grup yang dirancang menggelinjang membawa warna utama rock adalah sebuah gagasan brilian. Sebuah langkah maju dan berbeda dengan kebanyakan grup serupa. Sebuah langkah untuk hadir menyapa untuk memberi warna beda, bukan meramaikan saja.

Rasa bahagia yang menyelimuti sukma mereka membikin keenamnya tak merisaukan masalah dana. Mereka mengakali keterbatasan pendanaan dengan mendayagunakan kamar tidur Mike Shinoda sebagai ‘studio’-nya.

Di ‘studio darurat’ ini mereka berembug bersama memadukan segala unjuk rasa untuk menghasilkan karya. Jadilah empat langgam berhasil direkam sebagai demo pada 1996. Demo yang mereka pakai sebagai langkah awal mendapatkan label rekaman tersebut diberi nama Xero.

Dewi fortuna yang belum hadir pada mereka membikin rasa frustasi terus menerus menggelayut menjadi kabut dalam hati. Dari hari ke hari, mereka tak kunjung bisa mendapat label rekaman sebagai jalan melangkah ke ranah industri.

Hingga akhirnya pada 1998 dua punggawa memilih undur diri. Mark pamitan untuk selamanya, melampiaskan hasratnya tanpa bersama lima punggawa lainnya, sementara Phoenix undur diri demi ikut serta dalam tur bersama grup lain, Tasty Snax.

Tampak tak ada masalah ditinggal Mark, lantaran jika memaksa berempat saja Mike bisa menjadi tukang teriak-teriaknya, walakin mereka tetap berupaya mempertahankan formasi berenam. Posisi yang ditinggal Phoenix sementara diisi oleh Kyle Christner. Lalu perpisahan dengan Mark membuka ruang bagi Chester Bennington untuk bergabung.
Semula Chester adalah bagian dari grup bernama Grey Daze. Bergabungnya tak Chester dengan grup Xero tak lepas dari peran Jeff Blue. Dia merupakan bagian dari Artists and Repertoire (A&R) di Warner Bros Records.

Blue sempat bekerja sama dengan Delson saat sahabat Mike ini sedang magang di sana. Blue melihat hasrat kuat pada jiwa pemuda ini hingga dia peduli memberikan kritik dan saran.

Blue mengkiritik rekaman demo bertajuk Xero dan pada saat dia tahu grup Xero ditinggal pergi oleh lead vocalist-nya, dia pun memberikan saran. Saran mendayagunakan Chester tersebut segera disampaikan pada Delson serta Mike.

Blue merupakan salah seorang penting bagi karir Mike dan sahabatnya. Dia lah sosok yang terus memberikan dukungan psikis dan teknis pada grup yang dilahirkan dengan nama Xero ini. Salah satu peristiwa tak terlupa adalah usulan Blue mengganti nama Xero dengan Hybrid Theory.

Nama tersebut diberikan Blue sebagai caranya memuji eratnya hubungan Mike dan Chester sesudah laki Arizona ini bergabung pada Xero, Maret 1999. Sebagaimana dilakukan Mark, Chester pun mulai unjuk penampilan bersama grup barunya dengan ikutserta berkarya. Karya perdana mereka adalah album mini berjudul Hybrid Theory (EP) dirilis pada 01 Mei 1999.

Hybrid Theory (EP) berhasil mulai membawa mereka segera menyapa khalayak. Mengakhiri masa-masa penuh frustasi lantaran seringnya mangkrak. Kirana album mini ini memang kalah dengan pesona album bahkan lagu tunggal berikutnya. Hanya saja melalui Hybrid Theory (EP) ini, ungkapan pernyataan misi karir mereka di-jlentrehkan.

Mereka berupaya memadukan segala hasrat setiap punggawa. Tak peduli memadukan musik rock dan hip-hop dianggap aneh. Tak peduli mereka hanyalah pendatang baru yang bukan siapa-siapa di pentas industri hiburan saat itu. Yang jelas, mereka menunjukkan bahwa mereka adalah grup yang diperkuat oleh para punggawa yang sanggup berpadu.

Blue terkesan dengan penampilan yang ditunjukkan para punggawa Hybrid Theory di Whisky a Go Go, salah satu tempat hiburan malam berlokasi di West Hollywood, California. Nalurinya selama memegang peranan sebagai pemandu bakat di industri hiburan tersengat melihat hasrat dan bakat hebat. Dia pun getol ikutserta mempromosikan hingga kontrak dengan label rekaman didapat.

Gerbang menggelinjang didapatkan sesudah dilakukan pergantian nama untuk kali kedua. Chester, tukang teriak dengan nada tinggi dan energi melimpah ruah ini, menyarankan agar nama grupnya diganti menjadi Lincoln Park. Nama ini disarankan Chester sebagai cara mereka menghormati Saint Monica, salah seorang yang dikagumi Chester.

Usulan Chester diterima oleh semua punggawa. Hanya saja ketika Mike hendak membikin sebuah situs untuk grup mereka, dijumpai sebuah kendala. Mika yang benar-benar serius memasuki industri harus gigit jari ketika dia hendak membikin situs untuk grupnya ini. Nama Lincoln Park yang disepakati justru sudah diambil menjadi nama domain tersendiri, lincolnpark.com.

Tak mau lama-lama dan tak mau mengganti lagi nama yang sudah bagus ini, dia pun hanya melakukan penyesuaian ejaan. Jadilah nama Linkin Park sebagai nama ketiga sekaligus terakhir mereka. Nama ini sendiri belum menjadi domain manapun.

Walau terkesan plesetan tak sopan, tetapi hal ini hanyalah keterpaksaan saja. Lagipula kalau ngoyo dan memang bisa dengan Lincoln Park, bukankah sudah ada Lincoln yang melegenda dari tanah air mereka?

Setelah label rekaman didapat, para punggawa pun semakin bersemangat untuk terus menggeliat. Delson yang lulus dari UCLA dengan semat summa cum laude bahkan rela melepas kesempatan melanjutkan sekolahnya ke jenjang berikutnya di bidang Hukum. Hal ini dia lakoni demi mengerahkan segala daya dan upaya supaya berhasil mewujudkan impian lama bersama sahabatnya, Mike Shinoda.

Keberhasilan memimpin dan mengelola Linkin Park hingga sanggup menghentak ke tengah khalayak melalui album penuh perdana mereka, Hybrid Theory, membikin label rekaman yang menaungi mereka, Warner Music Group, memberi kesempatan pada Mike untuk mengelola label sendiri di bawah naungan mereka. Kesempatan istimewa ini tak disia-siakan oleh sang pemimpi dan pemimpin keren ini.

Tanpa diduga oleh Warner Music Group, Mike dan Delson nyatanya sudah memiliki rancangan pembentukan label rekaman. Obrolan mereka di rumah Mike menghasilkan sebuah rancangan label rekaman yang dinamai The Shinoda Imprint. The Shinoda Imprint dibentuk pada masa-masa mereka mengemas CD album mini Hybrid Theory untuk dibagikan secara gratis pada assabiquna al-awwaluna Underground.

Dua tahun kemudian, pada 2001, The Shinoda Imprint pun berganti nama menjadi Machine Shop Records. Lagi-lagi, Mike mengajakserta sahabat intimnya, Delson, untuk membangun label ini. Sembari terus berkarya bersama menerbangkan Linkin Park, mereka pun berkomitmen membangun Machine Shop Records.

Sayang, pihak Warner belum memberikan ijin pada Mike untuk mengelola seluruh album Linkin Park melalui label yang dikelola olehnya dan sahabatnya yang notabene sesama pungga Linkin Park ini.

Mike pun belakangan menyadari bahwa mengelola sebuah album adalah hal yang sulit. Meski demikian, beberapa album Linkin Park dirilis melalui Machine Shop Records. Ialah album-album yang dirilis sebagai persembahan untuk para penggemar.

Tak mau terpaku pada satu grup saja, Mike berupaya mengasah kemampuan lainnya melalui Machine Shop Records. Label ini menaungi musikus yang ingin mentas di industri hiburan dengan, terutama yang membawa warna rock atau hip hop. Mike dan Delson memulai hal ini dengan ungkapan bersama sebagai doa yang disapakan pada-Nya, “We are a think tank and a creative studio.”

Beberapa nama yang cukup terkenal dimunculkan dari sini. Mulai dari Holly Brook (kini dikenal sebagai Skylar Grey), Styles of Beyond, No Warning, serta grup Mike sendiri di luar Linkin Park, Fort Minor.

Fort Minor dibentuk atas kecintaannya pada Linkin Park dan hasrat kuatnya pada hip-hop. Mike tak mau Linkin Park yang sudah lekat dengan warna rock tiba-tiba melakukan perubahan radikal dengan mengutamakan warna hip hop. Sebagai pelampiasnya, dia mengajak tiga punggawa Styles of Beyond ikut serta: Ryan Patrick Maginn (Ryu) dan Takbir Bashir (Tak).

Nama pada grup yang dibentuk pada 2004 ini diberikan sendiri oleh Mike. ‘Fort’ dimaknainya sebagai sisi agresif dalam musik sementara ‘Minor’ dimaksudkan sebagai sisi gelapnya. Mive memilih nama yang jauh dari personalitasnya lantaran dia ingin khalayak menerima karyanya karena kualitas karya, bukan karya dirinya sendiri yang sudah ‘menjual’ saat itu.

Fort Minor tak terlampau lama menggelinjang. Malah terkesan sebagai cara Mike mengisi waktu luang. Fort Minor banyak unjuk penampilan saat jeda perilisan Meteora dan Minutes to Midnight dari Linkin Park. Hanya saja semenjak 2015, saat warna Hip Hop mulai menguasai industri musik, Mike menghidupkan lagi grup keduanya ini. Dia menyapa khalayak melalui lagu tunggal, Welcome.

Naluri seni Mike tak hanya diwujudkan melalui seni musik saja. Dia pun mewujudkan naluri seni yang didukung dengan pengalamannya di perguruan tinggi, seni rupa. Melalui kepiawaiannya menggubah karya seni rupa, dia berhasil menahbiskan namanya sebagai seniman terpandang. Sebagian karyanya bahkan sudah terpampang di Japanese American National Museum.

Japanese American National Musem (全米日系人博物館) merupakan sebuah musem yang dibangun untuk mewadahi dan melestarikan warisan sejarah dan budaya warga USA keturunan Jepang. Mike sendiri merupakan generasi ketiga dari warga yang disebut Japanese American ini. Musem ini berlokasi di Little Tokyo, tak jauh dari pusat kota Los Angeles, California.

Sementara melalui seni musik dia berhasil menapaki industri seni, melalui seni rupa dia berhasil mendapat beberapa semat. Seperti Japanese American National Museum's Award of Excellence (2006), gelar kehormatan dengan sematan Doctorate of Humane Letters (L.H.D.) dari Art Center College of Design (2009), dan Visionary Award (2010) dari East West Players. East West Players adalah sebuah organisasi yang dibangun sebagai wadah warga USA berdarah Asia.
Sebagai warga negara yang merasa perlu ikutserta membangun negara dan bangsa, Mike pun mengungkapkan pandangannya pada dunia politik. Melalui artikel berjudul Music for Relief: ‘Let’s power the world’, Mike memberikan pandangan pribadi terhadap dunia politik. Artikel ini diterbitkan pada 10 September 2012 melalui The Big Issue, sebuah media massa pekanan.

Sepanjang masa-masa pemilu USA tahun 2012, Mike mengisi kesehariannya dengan menjadi jurnalis untuk media massa tersebut. Hanya saja Mike lebih akrab dengan seni ketimbang politik. Dia sepertinya belum menemukan titik temu jitu politik dan artistic.

Menjalani kehidupan berkelindan dengan seni semakin terwarnai melalui kehadiran Anna Hillinger dalam hidupnya. Puan yang dijuluki ‘Lovejoy’ ini melakoni revolusi cinta dengan Mike 2003 silam. Tahun gemilang bagi Mike dan Linkin Park dengan panennya mereka melalui Meteora.

Anna memiliki kegemaran membaca sejak kecil. Tak tanggung-tanggung, dia bahkan berungkap bahwa bisa larut ketika membaca meski sedang duduk di atas sebuah pohon. Kebiasaan membaca menyuntikkan hasrat untuk bisa menghasilkan bahan bacaan alias menulis.

Hasrat menulisnya segera menemukan jalannya ketika dia kelas empat sekolah dasar. Saat itu dia berhasil menerbitkan karyanya melalui keikutsertaannya dengan program Young Authors. Puan kelahiran Los Angeles, 07 November 1977, pun kian semangat mengasah hasrat.

Hasrat semakin menggeliat ketika Anna memasuki sekolah menengah. Di sana dia mengasah ketelitian dan wawasannya dengan menjadi penyunting koran sekolahnya. Kepiawaian menulisnya ini memberikan kesempatan padanya yang lahir dari keluarga menengah untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi.

Dia berhasil mendapat anugerah beasiswa saat menjadi pelajar prorgam studi Communication Studies di Long Beach State. Selepas lulus dari perguruan tinggi, Anna bekerja sebagai humas (public relations) selama beberapa tahun sembari berkarya yang banyak ditujukan pada anak-anak dan remaja.

Ketekunan ini membawanya ikutserta sebagai anggota Society of Children’s Books Writers and Illustrators (SCBWI). SCBWI merupakan lembaga yang dibangun untuk dipersembahkan pada anak-anak.

Anna tak banyak tampil dalam ranah hiburan seperti suaminya. Dia tampak sudah merasa bersyukur menjalani kesehariannya sebagai ibu rumah tangga sembari mengisi waktu luangnya untuk menulis dan ikutserta dalam beberapa kegiatan non-profit.

Hasrat menulisnya yang lama bergelora pun tak serta merta membuat karyanya melimpah ruah seperti sang suami. Hingga kini, Anna baru merilis sebuah novel berjudul Learning Not To Drown. Novel debutannya ini dirilis pada 01 April 2014.

Sembari sama-sama melampiaskan hasratnya sendiri, Mike dan Anna berpadu bersama mewujudkan harmoni dalam keluarga dan rumah tangga yang dibangun mereka. Ada kalanya segala hasrat yang dipunya membutuhkan banyak wadah untuk mewujudkannya.


B.Rb.Pa.061149.37.100816.01:10