— because
learn is do
Kekaguman tak pernah sirna merasuk
jiwa pada manusia paripurna Mike Shinoda (Michael Kenji Shinoda). Dia berhasil
mewujudkan dan melantan dengan ciamik rasa cinta dalam sukmanya.
Persahabatan dengan Brad Delson yang
dimulai ketika keduanya dipertemukan oleh pagelaran Pelantan semesta
dilakoninya dengan apik. Beberapa tahun setelahnya, dia juga berhasil
menyertakan Anna Hillinger sebagai pasangan dalam perjalanan epik. Keren lho....
Kadang-kadang saya kesal dengan
pandangan sebagian orang terhadap ‘cinta’. Sebagian orang menyempitkan ‘cinta’
dengan hanya ‘mengijinkan’ perwujudannya melalui bingkai pernikahan ataupun
pacaran (kalau belum menikah).
Bahkan ada yang lebih ‘parah’ lagi
dengan hanya memandang ‘cinta’ itu rasa dari laki pada puan saja, tanpa bisa
berbalik. Padahal perwujudan ‘cinta’ bisa dilakoni dalam banyak bingkai ikatan,
termasuk pertikaian sekalipun. Tentu ada perbedaan kadar ‘cinta’ dalam ragam
bingkai itu.
Mike Shinoda laiknya pelanjut ‘jalan’
yang ‘dibuka’ oleh Dhani. Keduanya sama-sama menjadi bagian dari grup yang saya
sukai. Keduanya juga saya kagumi sebagai seorang pribadi sembari tetap menjadi
bagian dalam sebuah grup.
Kehadirannya bersama Linkin Park
dalam Crawling membawa saya dengan
mudah menikmati karya dan penampilan Avril Lavigne melalui Sk8er Boi. Sk8er Boi
inilah yang pada akhirnya membawa saya pada perjalanan selanjutnya dengan Britney Army sebagai identitas penyerta
personalitas saya.
Karena ada nuansa beda dari Britney
dibanding nama-nama sebelumnya, masa-masa ketika saya mulai menggilai Britney
gemar saya sebut sebagai perlintasan perubahan penting. Baik Dhani, Mike,
maupun Avril, sama-sama membawa warna utama rock
dan mereka sanggup memainkan keyboard
serta guitar dengan apik. Sedangkan
warna yang dibawa Britney, tentu beda dengan mereka.
Benar atau salah belum saya teliti sendiri,
saya rasa musikus yang bisa memainkan dua alat musik tersebut bisa menghasilkan
karya yang lebih berwarna ketimbang yang hanya bisa memainkan salah satunya
saja. Dhani dan Mike serta Avril termasuk dalam hal ini.
Mike Shinoda pula yang ‘memandu’ saya
dari DEWA19 Ke 2NE1 melalui Linkin Park. Paduan rock dan hip-hop yang
diperagakannya bersama Linkin Park baru menemukan tempat ‘pelampiasan’ ketika
saya mengenal 2NE1 melalui Fire. Since then never stopped.
Baru 2NE1 lah, grup dengan warna
utama hip-hop, yang bisa saya suka sepenuhnya. Baru 2NE1 pula grup dengan punggawa
puan yang membikin saya suka. Scandal, grup alternative
rock dari Jepang pun hanya melintas sekelebat mata bagi saya. Sejauh ini,
saya sering menyukai penyanyi solo ketimbang grup, kalau untuk puan. Spice Girls
mengenalkan, Sandal hadir sebagai pilihan, walakin 2NE1 menahbiskan sebagai
tempat mendarat.
Kebetulan di 2NE1 ada Park Bom yang
‘menjembatani’ Chester Bennington dan Britney Spears. Tampak kentara sebutan
‘menjembatani’ ini serampangan, walakin lebih serampangan lagi ketika saya suka
menyebut CL, rapper-nya 2NE1, sebagai
‘Mike Shinoda female version’.
Kebetulan tahun debut 2NE1 beririsan
dengan tahun DEWA19 berhenti berilis karya baru mereka. Bukan Cinta Manusia Biasa, karya terkeren DEWA19 menurut saya,
dirilis pada Mei 2009, bulan 2NE1 hadir menyapa dengan karya mereka berjudul Fire.
Kebetulan juga dua lagu itu bisa
menjadi gambaran utama grup tersebut. Kebetulan juga Linkin Park dan Britney Spears
tak menyapa dengan karya baru mereka yang bisa saya suka sepertihalnya Bukan Cinta Manusia Biasa dan Fire.
Tak jarang saya merasa pengaruh
mereka bagi saya sangat lekat. Antara lain, saya lebih banyak menjalani
kehidupan sebagai bagian grup, tak sendiri. Misalnya memiliki ikatan erat
dengan sahabat tak sebatas antar muka semata walakin dalam kebersamaan yang
lebih dirasa.
Mungkin karena tiga dari keempat brand yang paling saya gandrungi ini
berbentuk grup dan hanya ada satu yang solo, saya lebih mudah menjalani
keseharian ‘ala grup’ ketimbang ‘ala solo’. Mungkin hal ini yang membikin saya
merasa sangat terikat dengan orang di sekitar hingga ketika berpisah terasa
sangat berat dan hati mudah tersayat.
Mike Shinoda itu mengagumkan. Dia
berhasil melampiaskan segala hasrat yang dipendam tanpa pernah merisak liyan alih-alih membikin tenggelam. Dia
bisa melakoni perannya sebagai keboardist
di Linkin Park dengan bagus.
Peran ini diperkaya dengan kelihaiannya
memadu permainan guitar bersama Brad
Delson dan kepiawainnya mewarnai suara ‘sinting’ Chester. Hebatnya, dua peran
tambahan tak membikin dua nama tersebut merasa dikalahkan.
Mike pun berhasil melampiaskan
hasratnya lain dengan membentuk Fort Minor. Sebuah grup yang dibentuknya
sebagai upaya melampiaskan hasrat sebagai ‘pecandu’ hip-hop.
Melalui grup ini, Mike menghasilkan
karya dengan warna utama hip-hop. Dia
tak hendak mengubah warna utama Linkin Park yang telah memberi ruang baginya
untuk melampiaskan hasrat pada rock. Linkin
Park memang diwarnai olehnya dengan hip-hop.
Namun dia tampak belum puas saat hasrat berkarya dengan warna hip-hop belum bisa dilampiaskan secara
lepas.
Karena dia sayang dengan grup yang
dibentuk dengan nama Xero itu, Mike
pun tak hendak mencederai warna grupnya dengan menyempatkan menghasilkan karya
yang memuaskan hasratnya, hip-hop
sepenuhnya. Sebagai jalannya, Mike memilih membentuk grup baru, dengan warna
baru, yang saling berpadu tanpa harus beradu.
Mike memang serius untuk menekuni
karir sebagai musikus. Sejak belia dia sudah menggilai musik, terutama
musik-musik berwarna rock dan hip-hop. Dia banyak menyimak karya-karya
Boogie Down Productions, Public Enemy, N.W.A, dan Juice Crew.
Mike juga bisa tenggelam dalam
merasakan unjuk rasa karya Nine Inch Nails, Deftones, The Roots, dan Aphex Twin. Mike pun kian memperkaya dan
mewarnai kegandrungannya pada musik dengan menikmati karya dari brand lainnya, mulai dari Led Zeppelin,
Run DMC, The Beatles, Rage Against The Machine, Purity Ring, Arctic Monkeys,
hingga Santigold.
Kegemaran ini didukung sang ibu,
sosok terdekat Mike. Sang ibu terus mendorong Mike untuk menekuni musik. Saat
usia Mike baru enam tahun, sang ibupun memberikan dukungan teknis pada putranya
ini dengan mengikutkannya pada program belajar piano.
Merasa sudah bisa menguasai piano,
Mike melangkah ke ranah berikutnya dengan ikutserta mengasah kemampuannya untuk
bermain jazz, blues, dan hip-hop. Ketekunan dilanjutkan dengan
memperkaya dan mewarnai dirinya melalui belajar gitar dan vokal bergaya rap.
Kemauan yang terus menggelora dalam
sukma diserta dukungan keluarga semakin kuat menggeliat dengan dukungan dari
sahabat. Perjumpaan Mike dengan Brad Delson dan Rob Bourdon ketika sekolah di
Agoura High School membawa ketiganya sepakat membentuk sebuah grup band. Grup
band yang diberi nama Xero itu dirancang dengan sangat serius untuk sanggup
menggelinjang dalam industri musik. Keseriusan mereka ditampakkan dengan terus
bertahan bertiga memperjuangkan Xero sesudah berpisah sekolah.
Mike melanjutkan pendidikan formalnya
ke Art Center College of Design di Pasadena, California. Dia mendalami hasrat
seni rupanya (desain grafis dan ilustrasi) di sini. Sedangkan sahabatnya, Brad
Delson menjadi pelajar di University of California, Los Angeles (UCLA). Delson
memilih bidang komunikasi sebagai ranah yang didalami secara akademis, terutama
bisnis dan administrasi.
Perpisahan ruang tak menjadikan
mereka lupa mewujudkan impian yang dirancang bersama. Bahkan sebagai upaya
mewujudkannya, masing-masing membawa satu sahabat barunya untuk ikut serta.
Di Pasadena, Mike berjumpa sesama
darah Asia, Joe Hahn (Joseph Hahn). Walau laki berdarah Korea ini tak seperti
laki berdarah Jepang ketika kuliah, keduanya tetap bersama dalam perjalanan
berikutnya. Joe Hahn tak sampai menyelesaikan kuliahnya, kosok bali dengan
Mike. Hanya saja sejak perjumpaan mereka, Mike tertarik mengajakserta Joe Hahn
untuk bergabung ke dalam Xero.
Sementara itu, di Westwood, Los Angeles, Delson menjejak Mike
dengan menjalin ikatan cinta bersama Dave Farrell. Mereka berdua berbagi
ranjang bersama selama tiga tahun lamanya. Interaksi intim yang perlahan malar
terjalin membikin Delson tak ragu mengajakserta ‘Phoenix’ bergabung Xero.
Rob Bourdon pun tak mau kalah dengan
dua sahabatnya. Sepertihalnya Mike dan Delson, Bourdon pun mengajakserta
sahabatnya, Mark Wakefield, untuk bergabung bersama di Xero. Awal mula yang
indah sebenarnya andai Mark Wakefield tak memilih hengkang kemudian.
Mungkin Mark tak bisa seintim dengan
punggawa lainnya seperti dia bisa intim dengan Bourdon. Bisa jadi juga
impiannya tak selaras dengan impian punggawa lainnya.
Masuknya tiga punggawa baru dalam
grup ini membikin mereka menyusun ulang formasi yang telah dirancang. Semula
Mike berperan sebagai lead vocalist
dan keyboardist, Delson sebagai lead guitarist, serta Bourdon sebagai drummer.
Seiring masuknya Mark, Mike pun
berperan sebagai tandem vocalist
berpadu dengan Mark yang ditunjuk sebagai lead
vocalist-nya. Sementara kehadiran ‘Phoenix’ dan Hahn memperkaya nuansa rasa
mereka. Phoenix memegang peranan sebagai bassists
sementara Hahn menjadi turntablist.
Untuk ukuran saat itu, membawa serta turntablist ke dalam grup yang dirancang
menggelinjang membawa warna utama rock
adalah sebuah gagasan brilian. Sebuah langkah maju dan berbeda dengan
kebanyakan grup serupa. Sebuah langkah untuk hadir menyapa untuk memberi warna
beda, bukan meramaikan saja.
Rasa bahagia yang menyelimuti sukma
mereka membikin keenamnya tak merisaukan masalah dana. Mereka mengakali
keterbatasan pendanaan dengan mendayagunakan kamar tidur Mike Shinoda sebagai
‘studio’-nya.
Di ‘studio darurat’ ini mereka
berembug bersama memadukan segala unjuk rasa untuk menghasilkan karya. Jadilah
empat langgam berhasil direkam sebagai demo pada 1996. Demo yang mereka pakai
sebagai langkah awal mendapatkan label rekaman tersebut diberi nama Xero.
Dewi fortuna yang belum hadir pada
mereka membikin rasa frustasi terus menerus menggelayut menjadi kabut dalam
hati. Dari hari ke hari, mereka tak kunjung bisa mendapat label rekaman sebagai
jalan melangkah ke ranah industri.
Hingga akhirnya pada 1998 dua
punggawa memilih undur diri. Mark pamitan untuk selamanya, melampiaskan
hasratnya tanpa bersama lima punggawa lainnya, sementara Phoenix undur diri
demi ikut serta dalam tur bersama grup lain, Tasty Snax.
Tampak tak ada masalah ditinggal
Mark, lantaran jika memaksa berempat saja Mike bisa menjadi tukang
teriak-teriaknya, walakin mereka tetap berupaya mempertahankan formasi berenam.
Posisi yang ditinggal Phoenix sementara diisi oleh Kyle Christner. Lalu perpisahan
dengan Mark membuka ruang bagi Chester Bennington untuk bergabung.
Semula Chester adalah bagian dari
grup bernama Grey Daze. Bergabungnya tak Chester dengan grup Xero tak lepas
dari peran Jeff Blue. Dia merupakan bagian dari Artists and Repertoire
(A&R) di Warner Bros Records.
Blue sempat bekerja sama dengan
Delson saat sahabat Mike ini sedang magang di sana. Blue melihat hasrat kuat
pada jiwa pemuda ini hingga dia peduli memberikan kritik dan saran.
Blue mengkiritik rekaman demo bertajuk
Xero dan pada saat dia tahu grup Xero
ditinggal pergi oleh lead vocalist-nya,
dia pun memberikan saran. Saran mendayagunakan Chester tersebut segera
disampaikan pada Delson serta Mike.
Blue merupakan salah seorang penting
bagi karir Mike dan sahabatnya. Dia lah sosok yang terus memberikan dukungan
psikis dan teknis pada grup yang dilahirkan dengan nama Xero ini. Salah satu
peristiwa tak terlupa adalah usulan Blue mengganti nama Xero dengan Hybrid Theory.
Nama tersebut diberikan Blue sebagai
caranya memuji eratnya hubungan Mike dan Chester sesudah laki Arizona ini
bergabung pada Xero, Maret 1999. Sebagaimana dilakukan Mark, Chester pun mulai
unjuk penampilan bersama grup barunya dengan ikutserta berkarya. Karya perdana
mereka adalah album mini berjudul Hybrid
Theory (EP) dirilis pada 01 Mei 1999.
Hybrid
Theory (EP) berhasil
mulai membawa mereka segera menyapa khalayak. Mengakhiri masa-masa penuh
frustasi lantaran seringnya mangkrak. Kirana album mini ini memang kalah dengan
pesona album bahkan lagu tunggal berikutnya. Hanya saja melalui Hybrid Theory (EP) ini, ungkapan
pernyataan misi karir mereka di-jlentrehkan.
Mereka berupaya memadukan segala
hasrat setiap punggawa. Tak peduli memadukan musik rock dan hip-hop dianggap aneh. Tak peduli mereka hanyalah
pendatang baru yang bukan siapa-siapa di pentas industri hiburan saat itu. Yang
jelas, mereka menunjukkan bahwa mereka adalah grup yang diperkuat oleh para
punggawa yang sanggup berpadu.
Blue terkesan dengan penampilan yang
ditunjukkan para punggawa Hybrid Theory di Whisky a Go Go, salah satu tempat
hiburan malam berlokasi di West Hollywood, California. Nalurinya selama
memegang peranan sebagai pemandu bakat di industri hiburan tersengat melihat
hasrat dan bakat hebat. Dia pun getol ikutserta mempromosikan hingga kontrak
dengan label rekaman didapat.
Gerbang menggelinjang didapatkan
sesudah dilakukan pergantian nama untuk kali kedua. Chester, tukang teriak
dengan nada tinggi dan energi melimpah ruah ini, menyarankan agar nama grupnya
diganti menjadi Lincoln Park. Nama ini disarankan Chester sebagai cara mereka
menghormati Saint Monica, salah seorang yang dikagumi Chester.
Usulan Chester diterima oleh semua
punggawa. Hanya saja ketika Mike hendak membikin sebuah situs untuk grup
mereka, dijumpai sebuah kendala. Mika yang benar-benar serius memasuki industri
harus gigit jari ketika dia hendak membikin situs untuk grupnya ini. Nama
Lincoln Park yang disepakati justru sudah diambil menjadi nama domain
tersendiri, lincolnpark.com.
Tak mau lama-lama dan tak mau
mengganti lagi nama yang sudah bagus ini, dia pun hanya melakukan penyesuaian
ejaan. Jadilah nama Linkin Park sebagai nama ketiga sekaligus terakhir mereka.
Nama ini sendiri belum menjadi domain manapun.
Walau terkesan plesetan tak sopan,
tetapi hal ini hanyalah keterpaksaan saja. Lagipula kalau ngoyo dan memang bisa dengan Lincoln Park, bukankah sudah ada
Lincoln yang melegenda dari tanah air mereka?
Setelah label rekaman didapat, para
punggawa pun semakin bersemangat untuk terus menggeliat. Delson yang lulus dari
UCLA dengan semat summa cum laude
bahkan rela melepas kesempatan melanjutkan sekolahnya ke jenjang berikutnya di
bidang Hukum. Hal ini dia lakoni demi mengerahkan segala daya dan upaya supaya
berhasil mewujudkan impian lama bersama sahabatnya, Mike Shinoda.
Keberhasilan memimpin dan mengelola Linkin
Park hingga sanggup menghentak ke tengah khalayak melalui album penuh perdana
mereka, Hybrid Theory, membikin label
rekaman yang menaungi mereka, Warner Music Group, memberi kesempatan pada Mike
untuk mengelola label sendiri di bawah naungan mereka. Kesempatan istimewa ini
tak disia-siakan oleh sang pemimpi dan pemimpin keren ini.
Tanpa diduga oleh Warner Music Group,
Mike dan Delson nyatanya sudah memiliki rancangan pembentukan label rekaman.
Obrolan mereka di rumah Mike menghasilkan sebuah rancangan label rekaman yang
dinamai The Shinoda Imprint. The Shinoda Imprint dibentuk pada masa-masa mereka
mengemas CD album mini Hybrid Theory
untuk dibagikan secara gratis pada assabiquna
al-awwaluna Underground.
Dua tahun kemudian, pada 2001, The
Shinoda Imprint pun berganti nama menjadi Machine Shop Records. Lagi-lagi, Mike
mengajakserta sahabat intimnya, Delson, untuk membangun label ini. Sembari
terus berkarya bersama menerbangkan Linkin Park, mereka pun berkomitmen
membangun Machine Shop Records.
Sayang, pihak Warner belum memberikan
ijin pada Mike untuk mengelola seluruh album Linkin Park melalui label yang
dikelola olehnya dan sahabatnya yang notabene sesama pungga Linkin Park ini.
Mike pun belakangan menyadari bahwa
mengelola sebuah album adalah hal yang sulit. Meski demikian, beberapa album
Linkin Park dirilis melalui Machine Shop Records. Ialah album-album yang
dirilis sebagai persembahan untuk para penggemar.
Tak mau terpaku pada satu grup saja,
Mike berupaya mengasah kemampuan lainnya melalui Machine Shop Records. Label
ini menaungi musikus yang ingin mentas di industri hiburan dengan, terutama
yang membawa warna rock atau hip hop. Mike dan Delson memulai hal ini
dengan ungkapan bersama sebagai doa yang disapakan pada-Nya, “We are a think tank and a creative studio.”
Beberapa nama yang cukup terkenal
dimunculkan dari sini. Mulai dari Holly Brook (kini dikenal sebagai Skylar
Grey), Styles of Beyond, No Warning, serta grup Mike sendiri di luar Linkin
Park, Fort Minor.
Fort Minor dibentuk atas kecintaannya
pada Linkin Park dan hasrat kuatnya pada hip-hop.
Mike tak mau Linkin Park yang sudah lekat dengan warna rock tiba-tiba melakukan perubahan radikal dengan mengutamakan
warna hip hop. Sebagai pelampiasnya,
dia mengajak tiga punggawa Styles of Beyond ikut serta: Ryan Patrick Maginn
(Ryu) dan Takbir Bashir (Tak).
Nama pada grup yang dibentuk pada
2004 ini diberikan sendiri oleh Mike. ‘Fort’
dimaknainya sebagai sisi agresif dalam musik sementara ‘Minor’ dimaksudkan sebagai sisi gelapnya. Mive memilih nama yang
jauh dari personalitasnya lantaran dia ingin khalayak menerima karyanya karena
kualitas karya, bukan karya dirinya sendiri yang sudah ‘menjual’ saat itu.
Fort Minor tak terlampau lama
menggelinjang. Malah terkesan sebagai cara Mike mengisi waktu luang. Fort Minor
banyak unjuk penampilan saat jeda perilisan Meteora
dan Minutes to Midnight dari Linkin
Park. Hanya saja semenjak 2015, saat warna Hip Hop mulai menguasai industri
musik, Mike menghidupkan lagi grup keduanya ini. Dia menyapa khalayak melalui
lagu tunggal, Welcome.
Naluri seni Mike tak hanya diwujudkan
melalui seni musik saja. Dia pun mewujudkan naluri seni yang didukung dengan
pengalamannya di perguruan tinggi, seni rupa. Melalui kepiawaiannya menggubah
karya seni rupa, dia berhasil menahbiskan namanya sebagai seniman terpandang.
Sebagian karyanya bahkan sudah terpampang di Japanese American National Museum.
Japanese American National Musem (全米日系人博物館)
merupakan sebuah musem yang dibangun untuk mewadahi dan melestarikan warisan
sejarah dan budaya warga USA keturunan Jepang. Mike sendiri merupakan generasi
ketiga dari warga yang disebut Japanese
American ini. Musem ini berlokasi di Little Tokyo, tak jauh dari pusat kota
Los Angeles, California.
Sementara melalui seni musik dia
berhasil menapaki industri seni, melalui seni rupa dia berhasil mendapat beberapa
semat. Seperti Japanese American National Museum's Award of Excellence (2006),
gelar kehormatan dengan sematan Doctorate of Humane Letters (L.H.D.) dari Art
Center College of Design (2009), dan Visionary Award (2010) dari East West
Players. East West Players adalah sebuah organisasi yang dibangun sebagai wadah
warga USA berdarah Asia.
Sebagai warga negara yang merasa
perlu ikutserta membangun negara dan bangsa, Mike pun mengungkapkan pandangannya
pada dunia politik. Melalui artikel berjudul Music for Relief: ‘Let’s power the
world’, Mike memberikan pandangan pribadi terhadap dunia politik. Artikel ini
diterbitkan pada 10 September 2012 melalui The
Big Issue, sebuah media massa pekanan.
Sepanjang masa-masa pemilu USA tahun
2012, Mike mengisi kesehariannya dengan menjadi jurnalis untuk media massa
tersebut. Hanya saja Mike lebih akrab dengan seni ketimbang politik. Dia
sepertinya belum menemukan titik temu jitu politik dan artistic.
Menjalani kehidupan berkelindan dengan
seni semakin terwarnai melalui kehadiran Anna Hillinger dalam hidupnya. Puan
yang dijuluki ‘Lovejoy’ ini melakoni
revolusi cinta dengan Mike 2003 silam. Tahun gemilang bagi Mike dan Linkin Park
dengan panennya mereka melalui Meteora.
Anna memiliki kegemaran membaca sejak
kecil. Tak tanggung-tanggung, dia bahkan berungkap bahwa bisa larut ketika
membaca meski sedang duduk di atas sebuah pohon. Kebiasaan membaca menyuntikkan
hasrat untuk bisa menghasilkan bahan bacaan alias menulis.
Hasrat menulisnya segera menemukan
jalannya ketika dia kelas empat sekolah dasar. Saat itu dia berhasil menerbitkan
karyanya melalui keikutsertaannya dengan program Young Authors. Puan kelahiran
Los Angeles, 07 November 1977, pun kian semangat mengasah hasrat.
Hasrat semakin menggeliat ketika Anna
memasuki sekolah menengah. Di sana dia mengasah ketelitian dan wawasannya
dengan menjadi penyunting koran sekolahnya. Kepiawaian menulisnya ini memberikan
kesempatan padanya yang lahir dari keluarga menengah untuk melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi.
Dia berhasil mendapat anugerah
beasiswa saat menjadi pelajar prorgam studi Communication Studies di Long Beach
State. Selepas lulus dari perguruan tinggi, Anna bekerja sebagai humas (public relations) selama beberapa tahun
sembari berkarya yang banyak ditujukan pada anak-anak dan remaja.
Ketekunan ini membawanya ikutserta
sebagai anggota Society of Children’s Books Writers and Illustrators (SCBWI).
SCBWI merupakan lembaga yang dibangun untuk dipersembahkan pada anak-anak.
Anna tak banyak tampil dalam ranah
hiburan seperti suaminya. Dia tampak sudah merasa bersyukur menjalani kesehariannya
sebagai ibu rumah tangga sembari mengisi waktu luangnya untuk menulis dan ikutserta
dalam beberapa kegiatan non-profit.
Hasrat menulisnya yang lama bergelora
pun tak serta merta membuat karyanya melimpah ruah seperti sang suami. Hingga kini,
Anna baru merilis sebuah novel berjudul Learning
Not To Drown. Novel debutannya ini dirilis pada 01 April 2014.
Sembari sama-sama melampiaskan
hasratnya sendiri, Mike dan Anna berpadu bersama mewujudkan harmoni dalam keluarga
dan rumah tangga yang dibangun mereka. Ada kalanya segala hasrat yang dipunya
membutuhkan banyak wadah untuk mewujudkannya.
B.Rb.Pa.061149.37.100816.01:10