— satu sisi
melimpah berkah
memeluk
lelah
Kalau ada
pertanyaan, “apa keputusan terbaik yang pernah kamu ambil?” maka jawaban saya
adalah, “Tetap melanjutkan sekolah ke MTs Miftahul Falah.” Satu keputusan yang
mulanya adalah keinginan saya sendiri namun sempat terganjal dan hampir berubah
pikiran setelah semua teman satu angkatan saya di MI Thoriqostus
Sa’diyyah melanjutkan ke
MTs Raden Umar Said.
Orangtua, keluarga,
tetangga, sahabat, teman,
dan guru saya turut berperan dalam meyakinkan saya agar tetap bertahan pada
pilihan saya. Perjalanan saya memang
banyak berwarna sejak hari pertama saya memula menginjakkan kaki di sana. Warna yang selalu membikin saya selalu ingin ‘kembali’ ke tempat yang kebersamaannya menyelamatkan saya saat masa-masa kelam menghantam.
Pernyataan di
atas bisa saja dianggap pernyataan sombong. Tapi bagi saya, sebutan sombong
dari orang lain hanyalah suara sumbang sepertinya merdu dari orang yang tak
bisa yakin diri dan gemar bercitra rendah hati. Ada kalanya juga saya disebut
sombong kalau mengungkapkan kenyataan, sedangkan lingkungan banyak diisi oleh
orang yang malu-malu untuk menyebutkan yang semestinya.
Sikap seperti
ini hanyalah sebagai penyemangat pribadi saya saja sembari memprovokasi orang
lain agar lebih baik. Seru rasanya hidup dalam lingkungan yang melantan iklim
kompetisi. Kita beradu untuk sama-sama lebih baik, memacu semangat
untuk sama berusaha meraih ridha Ilahi-Rabbi. Kita tampak terikat dalam pertarungan namun kita juga terikat dalam perjuangan (battle-mate).
Saya memahami
sepenuhnya bahwa saya bukanlah siapa-siapa yang dapat bertahan tanpa faktor luck.
Faktor luck inilah yang membuat saya terus bertahan hingga saat ini
dengan ikut melantan lingkungan. Wajar jika saya selalu bingung kalau ditanya, “mengapa saya
jatuh?” atau, “mengapa saya bisa bangkit dengan mudah?”, karena faktor luck
teramat dominan dalam kehidupan saya. Faktor luck tersebut bagi saya
sama maknanya dengan barokah/berkah.
Saya hanyalah orang yang diterbangkan berkah dan dijatuhkan pongah.
Faktor luck
pertama saya adalah saya beruntung memiliki Ibuk dan Bapak yang bisa melantan
saya dengan mengagumkan. Mereka tak buru-buru memasukkan saya ke bangku sekolah
bahkan menunda setahun. Seharusnya saya sudah mulai masuk MI di tahun 1999,
namun ditunda hingga 2000.
Sepanjang
penundaan hingga akhirnya masuk sekolah tersebut, banyak hal yang layak
dikenang. Waktu yang biasanya saya pakai untuk bermain dengan teman-teman
‘terpaksa’ saya pakai untuk mengkhatamkan kaset DEWA19 dan Ahmad Band lantaran saya merasa kesepian. Belakangan baru saya sadari saat itulah
DEWA19 mengalami perlintasan masa yang bisa di-handle dengan apik
oleh tandem-marem Dhani dan Andra.
Dua orang ini serta Ari menjadi punggawa DEWA19 yang paling saya gandrungi.
Pada saat
hampir bersamaan (lebih belakangan tepatnya), saya juga kerap mendengarkan
lagu-lagu karya musikus
Amerika Serikat. Bermula dari Linkin Park, hingga akhirnya menggilai Britney Spears. Saya
beruntung bisa menyimak
Linkin Park sejak mula karier mereka dalam dunia industri hiburan dengan cara meminjam kaset pada kakak sepupu saya,
yang gemar memberi kaset lagu-lagu populer, walau bajakan.
Mike (Michael
Kenji Shinoda) adalah punggawa Linkin Park favorit saya.
Hingga pernah me-ngerok bagian
bawah bibir saya agar bisa ditumbuhi bulu seperti penampilan Mike. Gaya rambut
merata yang bertahan sampai sekarang terilhami dari gaya rambut Mike zaman Minute
to Midnight. Brad Delson dan Rob Bourdon juga saya
suka.
Karena saya
terbiasa mendengar DEWA19 dan
Linkin
Park, maka sangat mudah bagi saya untuk menyimak suara sinting Avril Lavigne. Lagi-lagi
saya beruntung bisa meminjam kaset dari
kakak sepupu saya yang rumahnya bersebelahan. Walau saya tak pernah benar-benar
suka Avril, lantaran kemudian lebih menggilai Britney Spears, nama Avril tak bisa terlupakan karena dia adalah ‘pembuka pintu’ musikus puan bagi saya.
Dhani, Mike,
dan Avril itu hebat. Mereka
menguasasi rukun menggubah lagu
bagus: bisa menulis lirik,
memainkan keybord dan guitar serta belakangan
sequencer. Dhani dan Mike, yang kariernya hidup dalam grup, sama-sama
hebat dengan dianugerahi kelihaian
managerial serta naluri industri yang
terus mengiringi leadership dan
nurani seni mereka.
Avril keren bisa tampil selaras kepribadiannya tanpa merasa perlu
berperan dengan kepribadian
lain supaya bisa diterima.
Sayang sahabat erat saya penggemar Avril yang saya jumpai pada
masa The Best Damn Thing tak sempat menangi masa Goodbye Lullaby.
Jadilah Girlfriend, When You're Gone, dan Everything Back But You dari The Best Damn Thing serta Wish You Were Here dari Goodbye Lullaby menjadi bermakna bagi saya. Serta What I’ve Done-nya Linkin Park dan Perempuan Paling Cantik
di Negeriku
Indonesia-nya DEWA19 melengkapinya.
Britney, yang notabene lebih dulu menggelinjang ketimbang Avril, baru saya suka melalui Toxic. Salah satu lagu dalam In
the Zone, album penuh terakhir
sebelum dia memasuki
perlintasan masa laiknya
DEWA19. Britney memberi nuansa beda, dia bukan melantunkan musik rock seperti DEWA19, Linkin Park, dan Avril. Dia juga membuka ruang lain ketika musik tak lagi mendominasi. Madonna sebagai ikon puan dan Paris Hilton sebagai ikon anak yang shalihah adalah ‘sumbangan’ terkeren Britney, yang pesonanya terus
menginspirasi dan memotivasi.
Kadang saya
berpikir, kenapa ketika saya suka DEWA19 dan
Linkin Park, pilihan utama saya jatuh pada Dhani dan Mike, yang posisi dan
peran untuk grupnya sama? Padahal biasanya ketika seseorang suka grup band,
pilihan utama mereka jatuh pada vokalis. Teman-teman saya suka dengan Ari
Lasso, Once Mekel, maupun Chester Bennington, misalnya. Belakangan juga, ketika
saya menggemari 2NE1, kenapa saya jatuh hatinya pada CL (Lee Chaerin), tidak
Dara (Sandara Park)? Padahal untuk penggemar grup Korea
Selatan, anggota yang
berposisi sebagai visual adalah pilihan utama. Ikon grup band biasanya vokalis serta grup puan Korea Selatan biasanya visual.
Lebih mengenaskan
lagi, kenapa saya lebih mudah menyukai grup band alih-alih musikus solo? Andai tak sempat menangi Skrillex,
hanya Britney lah satu-satunya musikus solo yang bisa menjadi ‘gantungan pilihan’ saya. Di Jepang dan
Korea Selatan pun begitu, saya lebih
mudah menggilai Scandal ketimbang
Ayumi Hamasaki
maupun 2NE1 daripada Lee Hyori. Pilihan adakalanya menggambarkan kepribadian. Mungkin personalitas dan identitas adalah
dua hal yang memang berkelindan.
Saya beruntung
Ibuk jualan koran bekas di rumah. Maka saya biasa membaca koran bekas ketika
mulai belajar membaca. Satu keberuntungan saya adalah orangtua saya tak pernah
mengijinkan saya mengungkapkan ejaan. Ejaan cukup dibatin saja dan yang
diungkapkan bacaannya. Barangkali kalau tidak di-beginiin, saya tidak
beruntung bisa mengungkapkan isi hati saya dengan mudah.
Dari bacaan di koran bekas itu saya
juga mulai belajar menulis, dengan menyalin tulisan yang ada di koran.
Saya beruntung
dilahirkan dari keluarga yang mengagumkan, dikelilingi tetangga menawan,
guru-guru yang terus melantan, juga sahabat yang selalu memberikan semangat berlipat. Saya hidup seperti pebalap MotoGP, yang tak salah
disebut jalan sendiri, namun sesungguhnya banyak yang berperan, baik lahiriyyah
atau bathiniyyah. Beruntung saya menggandrungi Valentino
Rossi, pebalap yang tak
ragu menyatakan
bahwa peran tim sangat penting saat pebalap lain sudah yakin dengan kemampuan sendiri.
Saya beruntung
dianugerahi daya ingat berlipat serta seabreg selera yang beraneka ragam
sehingga saya bisa menikmati banyak hal: sepak bola, balapan, musik, bacaan, obrolan, dan lainnya. Tak sulit
bagi saya untuk cepat mendapat titik temu dengan orang baru.
Titik temu
adalah cara terjitu untuk mengawali sebuah ikatan persahabatan, yang tentunya
akan ada masa ketika harus saling menghantam dan
ada saatnya mendukung diam-diam.
Kalau ada satu titik yang bisa
mempertemukan buat apa mempermasalahkan titik lain yang menceraikan? Buat apa
saya mempermasalahkan identitas seorang Gooner saat identitas saya adalah True
Blues kalau kami sama-sama menggemari Paris Hilton?
Faktor luck
terbesar saya adalah selalu mendapatkan kebetulan dalam menjalani pagelaran
Pelantan. Kebetulan
dapat membuat keputusan jitu. Kebetulan memiliki sahabat hebat. Kebetulan
pacaran dengan perempuan mengagumkan. Kebetulan dilahirkan oleh Ibuk dari benih
Bapak. Kebetulan punya adik-adik yang berani menghantam saya ketika salah arah.
Kebetulan ada ‘kebetulan’ lainnya.
Hingga kini
saya yakin sepenuhnya bahwa kebetulan itu tidak ada. Kebetulan adalah keadaan
yang tak pernah saya sangka sebelumnya namun kemudian
saya alami. Kebetulan sebenanrnya adalah
tatanan Allah. Kalau saya percaya pada Allah, masih layakkah saya bilang
kebetulan sementara semua yang ada diatur oleh-Nya?
Saya amat yakin
dengan faktor luck tersebut karena saya adalah orang yang tidak pernah
berusaha untuk bertahan menjalani kehidupan. Saya hanya menjalani pagelaran
Pelantan, yang kadang saya protes kok tak seperti keinginan saya dan kadang
saya sukai karena menyenangkan saya. Yang pasti, tak ada satu celah pun bagi
saya untuk kabur dari rasa syukur pada Allah.
B.Ah.Kl.241149.37.280816.13:35