—
from assistant to assistant more than assistant
![]() |
José Mário dos Santos Mourinho Félix |
Portugal
dulu menguasai tanah Brazil, walakin dalam sepak bola keadaan seakan berbalik.
Portugal seakan dikuasai oleh Brazil. Seperti halnya anak laki di Brazil, anak
laki di Portugal memiliki impian menjadi pemain sepak bola hebat. Hanya sedikit
di antara mereka yang memilih jenis olah raga lainnya. Hanya saja, jarang
sekali dari mereka yang sejak dini bermimpi menjadi pelatih sepak bola hebat.
José
Mário dos Santos Mourinho Félix pun sama saja. Laki yang di kampung halaman
akrab dengan sapaan Ze Mário ini mulanya bermimpi untuk menjadi pemain sepak bola.
Terlebih ayahnya, José Manuel Mourinho Félix, telah berkarir sebagai pemain
sepak bola profesional. Walau dengan catatan yang tak bagus-bagus amat, Ze Mário
tak pernah mampu menyamai catatan ayahnya sebagai pemain alih-alih mengungguli.
![]() |
Ze Mário |
Sebagai
pemain, Félix berposisi sebagai penjaga gawang. Karir profesional Félix dimulai
sejak musim 1955/1956 bersama Vitória de Setúbal (Vitória F.C.). Namun dia baru
melakukan debutnya pada musim 1958/1959. Pada musim tersebut, Vitória de
Setúbal mengakhiri kompetisi di posisi keenam dari empatbelas peserta. Vitória
de Setúbal terpaut 14 angka dari Futebol Clube do Porto (FC Porto) yang menjadi
juara.
Selama
13 musim di Vitória de Setúbal, Félix membantu klubnya meraih dua gelar Taça de
Portugal (Piala Portugal). Gelar pertama dia raih pada musim 1964/1965 setelah
pada 4 Juli 1965 mereka mengalahkan Sport Lisboa e Benfica (S.L. Benfica)
dengan skor 3-1.
Dalam
pertandingan yang dipimpin oleh wasit asal Porto, Francisco Guerra, gawang
Félix dijebol oleh Domiciano Barrocal Gomes Cavém (Cavém) pada menit ke-82. Gol
ini sempat menipiskan ketertinggalan Benfica menjadi 2-1, setelah Setubal
mencetak dua gol masing-masing melalui José Maria Júnior pada menit 8 dan Jaime
da Silva Graça (Graça) pada menit 57. Namun gol Armando Bonjour pada menit 83
menjauhkan keunggulan Setubal sekaligus menjadi gol penegas kemenangan.
Final
tersebut menjadi final ‘balas dendam’ Setubal kepada Benfica. Keduanya pernah
berjumpa sebelumnya di pertandingan final pada musim 1961/1962. Sayang pada
pertandingan yang dihelat pada 1 Juli 1962 di Estádio Nacional tersebut,
Setubal dipaksa menerima kekalahan 0-3 dari Benfica.
Gelar
yang sama nyaris Félix raih kembali secara beruntun pada musim berikutnya,
1965/1966. Sayang, sebiji gol dari Perrichon pada menit ke-77, memaksa Setubal
mengakui keunggulan Sporting Clube de Braga (S.C. Braga). Kekecewaan ini
terhapuskan pada musim selanjutnya ketika dia berhasil meraih tropi kembali
pada musim 1966/1967. Hanya saja, di musim terakhir bersama Setubal pada
1967/1968, Félix gagal mempertahankan gawangnya dari gempuran pemain Porto
hingga akhirnya Setubal menyerah 2-1 di pertandingan final yang dihelat pada 16
Juni 1968 di Estádio Nacional.
Setelah
melakoni 143 penampilan di bawah mistar gawang Setubal, sebelum musim 1968/1969
dimulai, Félix pindah ke Clube de Futebol Os Belenenses (C.F. Os Belenenses).
Di klub ini, Félix berkarir selama enam musim hingga pensiun pada Juli 1974.
Posisi tertinggi di liga bersama klubnya dia raih di Belenenses dengan
menempati posisi kedua, terpaut 18 angka dari Benfica yang menjadi juara.
Selain menjadi pemain, sejak musim 1970/1971 Félix mendapat job lain
sebagai asisten pelatih. Walau demikian, Belenense tak sekalipun tampil di
final Taça de Portugal. Tak sekalipun tropi berhasil Félix persembahkan dalam
131 penampilan bersama Belenenses.
Penampilan
lumayan di klub tak serta merta membikin penampilannya di tim nasional mengesankan.
Di tim nasional Portugal, Félix cuma tampil sekali. Satu-satunya penampilan
berseragam tim nasional pun sebagai pemain pengganti.
Dalam
laga melawan Republic of Ireland pada 25 June 1972 tersebut, Félix masuk
menggantikan José Henrique Rodrigues Marques (José Henrique) pada menit 84.
Portugal memungkasi laga dengan kemenangan 2-1 sekaligus menegaskan posisi
mereka sebagai juara grup B ajang Brazil Independence Cup 1972.
Laju
Portugal baru terhenti oleh tuan rumah Brazil di laga final dengan skor 1-0. Satu-satunya
gol dalam laga di Estádio do Maracanã pada 9 Juli 1972 dicetak oleh Jair
Ventura Filho (Jairzinho) pada menit ke-89.
![]() |
José Manuel Mourinho Félix |
Ze Mário,
putra kesayangan Félix selalu nginthil setiap pertandingan yang dilakoni
ayahnya. Dia memperlihatkan minat yang besar terhadap sepak bola. Keinginan
menjejak ayah sebagai pemain pun diupayakan dengan masuk ke tim junior
Belenenses.
Setelah
lulus dari tim junior, Ze Mário melanjutkan bergabung dengan tim senior. Dia memulai
petualangan sebagai pemain senior sepak bola bersama Rio Ave Futebol Clube (Rio
Ave F.C.) pada awal musim 1979/1980. Di sini Ze Mário akhirnya berjumpa dengan
ayahnya yang datang sebagai pelatih pada tengah musim 1980/1981. Sayang selama
dua musim, Ze Mário hanya mampu bermain dalam 16 pertandingan dengan mencetak 2
gol.
Ze Mário
kemudian pindah ke Belenenses pada musim 1982/1983 bersama ayahnya. Semusim di
sini, dia pun cuma tampil dalam 16 pertandingan dengan sumbangan 2 gol.
Barangkali status ayahnya sebagai pelatih kepala membantunya atas dasar ‘belas
kasih’ meraih jumlah penampilan lumayan dalam semusim ini.
Félix
dan Mário cuma semusim saja di sana. Keduanya meninggalkan klub di akhir musim.
Namun kali ini Félix dan Mário memilih jalan lain. Sementara Félix kembali ke
Rio Ave, Mário pindah ke Sesimbras.
Dua
musim di Sesimbras, Ze Mário tampil lebih banyak daripada sebelumnya dengan
mencatatatkan 35 penampilan. Ini adalah jumlah penampilan terbanyak yang pernah
dicatat dalam karirnya sebagai pemain. Hanya saja jumlah golnya menurun dengan hanya
menyumbangkan sebiji gol.
![]() |
Ze Mário |
Setelah
dua musim tersebut, Ze Mário pindah ke Comércio e Indústria dengan raihan gol
terbanyak sepanjang berseragam klub, 8 gol dalam 27 penampilan. Ze Mário mengakhiri
karir sebagai pemain pada 1987 dan mulai memilih merintis karir pelatih. Selama
tujuh musim menjadi pemain, Ze Mário mencatat 94 penampilan dengan sumbangan 13
gol. Ze Mário memang tak memiliki kecepatan dan power yang cukup untuk
menjadi pemain sepak bola profesional.
Sebenarnya
sejak awal menemani sang ayah terlibat urusan sepak bola, Ze Mário sudah
menunjukkan tanda-tanda lebih berbakat sebagai pelatih alih-alih pemain. Minat
yang besar terhadap sepak bola tak diimbangi dengan kemampuan yang cukup untuk
menjadi pemain profesional. Walakin untuk urusan analisa teknis, lain lagi.
Fernando
Tomé, sahabat dekat Félix, pernah mengungkapkan hal ini. Fernando Tomé
menyaksikan minat yang besar terhadap sepak bola pada diri Ze Mário setelah dia
berkali-kali berjumpa dengannya saat menjadi pemain.
Sejak
balita, Ze Mário kerap nginthil sang ayah sebagai pemain. Hingga
kemudian Félix mulai menekuni karir kepelatihan, Ze Mário pun masih gemar nginthil.
Di usia 15 tahun, menurut Tomé, Ze Mário sudah menunjukkan kapasitas yang pas
sebagai pelatih. Dia bisa memiliki pemahanan mengesankan terkait timnya sendiri
dan lawan. Tomé bahkan merasa ketika di Uniao Leirea, dia memiliki dua pelatih
(Félix dan Mário). Sebagai pemain profesional, Tomé sungguh terkesan dengan
analisa pertandingan dari remaja tersebut.
![]() |
Ze Mário as player |
Gagal
total sebagai pemain tak menyurutkan passion and obsession Ze Mário
(Jose Mourinho) kepada dunia sepak bola. Selain memberinya pelajaran untuk
menangani sebuah tim, sepanjang nginthil ayahnya dia juga belajar
tentang cara dia bisa menghindari maupun menanggapi pemecatan ketika menjadi
pelatih.
Sebenarnya
ibu Mário, Maria Julia Carrajola dos Santos, mendaftarkan putranya ini ke
sekolah bisnis. Namun Mário justru keluar pada hari pertama. Dia memutuskan
untuk fokus pada olah raga, bertaruh untuk berkarir dalam kepelatihan sepak
bola, berambisi mewujudkan mimpi revisi to be a great manager.
Mário
kemudian mendaftarkan dirinya ke Instituto Superior de Educação Física (ISEF)
di Universidade Técnica de Lisboa. Di sana dia mengambil program studi Pendidikan
Olah Raga, yang memberinya kesempatan mendalami ilmu pendidikan dan ilmu olah
raga. Dia mempelajari pendidikan olah raga untuk berbagai tingkatan sekolah.
Setelah lima tahun, dia lulus dengan nilai yang hampir seluruhnya bagus.
Setelah
lulus, Mário kemudian bekerja sebagai guru olah raga di sekolah. Sambil
mengajar di sekolah, dia mengikuti kursus kepelatihan sepak bola yang
diselenggarakan oleh federasi sepak bola Inggris dan Skotlandia (England FA
& Scotland FA). Kursus ini dibina langsung oleh Andrew ‘Andy’ Roxburgh yang
saat itu sedang menangani tim nasional senior Skotlandia. Kursus ini memberikan
pelajaran pada Mário untuk memperhatikan setiap aspek yang ditangani secara rapi
dan rinci.
Berbekal
pengetahuan yang dia dapatkan dari perguruan tinggi dan kursus kepelatihan, Mário
berusaha untuk mendefinisikan kembali peran pelatih dalam sepak bola. Dia memadukan
teori kepelatihan dengan teori motivasi dan psikologi.
![]() |
Félix |
Panggilan
pertama yang kemudian tak pernah berhenti menyapanya datang pada 1987 dari O Vitória
Futebol Clube (Vitória F.C.). Di klub yang lebih dikenal dengan sebutan Vitória
de Setúbal, Mário memulai karirnya sebagai pelatih tim muda. Selain menjadi
panggilan pertama, di sini juga dia mulai perjumpaan pertama dengan Manuel José
Tavares Fernandes (Manuel Fernandes).
Manuel
Fernandes mulai bergabung dengan Vitória de Setúbal pada musim 1987/1988. Musim
pertama sesudah dia menyatakan gantung sepatu dari tim nasional Portugal.
Selama satu musim, penyerang kelahiran 05 Juni 1951 ini berhasil tampil
sebanyak 28 kali dengan menyumbangkan 16 gol. Satu musim tersebut kemudian
tercatat sebagai musim pertama dan terakhir Manuel Fernandes menjadi pemain
Vitória de Setúbal.
Musim
selanjutnya, 1988/1987, dia kemudian berganti peran menjadi pelatih kepala.
Belakangan tercatat dia tiga kali berkesempatan menukangi klub ini, dia awal
karirnya sebagai pelatih kepala (1988 hingga 21 April 1990), kedua pada 4 Maret
1997 hingga 11 Nov 1997, dan terakhir pada 21 Oktober 2009 hingga 01 Maret
2011. Selain menjadi ahir karir sebagai pemain, Vitória de Setúbal juga menjadi
akhir karir sebagai pelatih kepala sesudah dia undur diri dari dunia sepak bola
pada 01 Maret 2011.
Debut
Manuel menukangi klub sejak musim perdana cukup apik. dia berhasil membawa
Setubal menempati posisi kelima, tiga tingkat lebih baik ketimbang musim
sebelumnya. Namun posisi yang sama pada musim berikutnya tak memuaskan pengurus
klub hingga dia akhirnya didepak pada 21 April 1990. Posisinya kemudian
digantikan oleh Conhé yang ditunjuk empat hari kemudian.
Musim
berikutnya, 1990/1991, Manuel mendapat kesempatan menukangi Clube de Futebol
Estrela da Amadora (C.F. Estrela da Amadora). Manuel lalu mengajak serta Mário
untuk menjadi asistennya di tim utama. Sayang prestasinya di sini tak terlampau
bagus. Penampilan mereka di liga terbilang buruk dan terus berkutat di papan
bawah.
Status
mereka sebagai juara Taça de Portugal musim 1989/1990 yang membuat mereka
meraih tiket tampil di ajang European Cup Winners' Cup musim 1990/1991 pun
gagal mereka manfaatkan dengan maksimal. Di ajang ini perjalanan mereka
terhenti di 16 besar setelah kalah dari Royal Football Club de Liège (RFC
Liège).
Pada pertemuan
pertama pada 24 Oktober 1990, mereka menyerah 2 gol tak berbalas di kandang
lawan. Sedangkan di pertemuan kedua pada 07 November 1990, kemenangan 1 gol tak
berbalas tak cukup untuk bisa lolos ke babak selanjutnya. Di ajang ini sendiri,
Manchester United Football Club (Manchester United) keluar sebagai juaranya.
![]() |
Ze Mário |
Alhasil,
Manuel Fernandes pun didepak lagi dari posisinya pada 27 Januari 1991. Dia kemudian
digantikan oleh Manuel Jesualdo Ferreira. Meski sudah berganti nahkoda,
penampilan buruk mereka tak kunjung mereda. Mereka gagal mempertahankan tropi
Taça de Portugal yang diraih pada musim sebelumnya.
Setelah
berhasil mengandaskan Gil Vicente Futebol Clube (Gil Vicente F.C.) di babak 16
besar, langkah mereka dihentikan oleh Sport Clube Beira-Mar (S.C. Beira-Mar) di
babak selanjutnya dengan skor 1-0. Laju S.C. Beira-Mar sendiri baru terhenti di
babak final ketika menyerah dari Futebol Clube do Porto (FC Porto) dengan skor
3-1. Sementara di liga, mereka hanya sanggup mengakhiri kompetisi dengan
bertengger di posisi ketigabelas, sama seperti musim sebelumnya.
Jesualdo
Ferreira, pengganti Manuel Fernandes, adalah guru Mário ketika belajar di
perguruan tinggi. Walau Manuel Fernandes didepak klub, posisi Mário sebagai
asisten pelatih tetap dipertahankan. Uniknya, beberapa tahun kemudian, Mário
justru menolak tawaran dari manajemen Benfica untuk memakai Jesualdo Ferreira
sebagai asistennya saat Mário ditunjuk untuk menukangi klub pertama yang dia tangani
sebagai pelatih kepala tersebut. Malah pada tahun 2005, Mário menulis di kolom
majalah pekanan olahraga, Record.
“One is a coach with a 30-year
career, the other with a three-year one. The one with 30 years has never won
anything; the one with three years has won a lot. The one who has coached for
30 years has an enormous career; the one with three years has a small career.
The one with a 30-year career will be forgotten when he ends it; the one with
three could end it right now and he could never be erased from history. This
could be the story of a donkey who worked for 30 years but never became a
horse.”
Barangkali
hubungan keduanya memang sudah mulai memanas sejak masih bekerja sama di
Estrela da Amadora. Pasalnya walau Jesualdo Ferreira masih menukangi klub pada
musim 1991/1992, Mário lebih memilih untuk pindah tempat ke Associação
Desportiva Ovarense (A.D. Ovarense).
Dia lebih
memilih bekerja sama dengan Manuel Fernandes untuk menangani klub yang bermain
di Segunda Divisão de Honra (kini LigaPro) yang notabene kasta kedua di
Portugal alih-alih bekerja sama dengan Jesualdo Ferreira menangani klub yang
bermain di Primeira Divisão alias kasta tertinggi.
Di sana,
Mário mendapatkan peran sebagai scout team. Mengakhiri kompetisi di
posisi ketigabelas, tak membikin kebersamaan mereka begitu saja sirna. Ketika
Bobby Robson datang ke tanah Portugal untuk menukangi Sporting Lisbon, keduanya
turut bergabung dalam tim Robson. Manuel Fernandes menjadi asisten pelatih
kepala sedangkan Mário mendapat tugas khusus sebagai penerjemah. Robson memang
sangat membutuhkan pelatih lokal untuk menjadi penerjemahnya di Portugal.
Di
Sporting lah perlintasan perubahan hubungan terjadi. Kebersamaan Mário dan
Manuel dalam bekerja sama menangani klub usai sesudah Robson didepak.
Selanjutnya Manuel melanjutkan karirnya sebagai pelatih kepala, sedangkan Mário
nginthil Robson.
![]() |
Ze Mário & Robson |
Karir
Robson sebagai manager dimulai di Inggris, tanah airnya. Setelah sesaat menukangi
klub yang lama dia bela, Fulham, dia kemudian melegenda sebagai manager Ipswich
Town. 13 musim dia terus bersama Ipswich sebelum akhirnya mendapat panggilan
menangani tim nasional Inggris. Robson menangani tim nasional selama satu windu
sejak 1982 hingga akhir ajang piala dunia 1990. Baru selepas 22 musim menjadi
manager, dia mendapat kesempatan bertualang ke luar Britania.
Petualangan
pertamanya dimulai di Belanda. Robson mendapat tawaran untuk menangani PSV
Eindhoven. PSV menunjuk Robson sesudah mereka pasti ditinggal Guus Hiddink di
akhir musim sementara kontrak bersama tim nasional Robson pasti tak
diperpanjang. Hal ini membuat keduanya segera menyusun kesepakatan.
Sayang
kesepakatan keduanya merebak ke tengah khalayak sebelum ajang piala dunia dimulai.
Hal ini membuat Robson mendapat kecaman dari khalayak Inggris yang gemar
merisaknya dengan sebutan ‘pengkhianat’. Walau demikian, Robson tetap
melanjutkan petualangan pertama menangani klub dari daratan Eropa.
Petualangan
pertamanya menyeberang ke Belanda dia sebut dengan ‘a culture shock but felt...a sense of adventure’. Robson merasakan
perbedaan kentara antara suasana di Inggris dan Belanda. Di Inggris, dia menyebut
pemain akan selalu menerima keputusan manager. Sedangkan di Belanda, dia kerap
didatangi pemain yang tak dimainkan dalam pertandingan. dia juga dikejutkan
dengan perdebatan taktik bermain antara manager dan pemain.
Tak
kalah penting, pengalamannya menangani Romario memberikan pekerjaan ekstra. Dia
bahkan harus meminta Frank Arnesen, pemain yang merumput bersama PSV sejak 1985
hingga 1988 dan menjadi asisten Robson di PSV, untuk ‘berbicara’ dengan RoMário.
Beragam
tantangan tersebut membuat dia hanya sanggup memberikan dua gelar juara liga
domestik pada PSV selama dua musim ditanganinya. Sementara penampilan PSV di
ajang kontinental, tak sesuai harapan pengurus klub. Hal ini membuatnya
‘dipersilakan meninggalkan klub’ selepas akhir musim.
Setelah
meninggalkan PSV, dia menerima tawaran menukangi Sporting Lisbon pada Juli
1992. Di sana dia meminta Manuel Fernandes menjadi asistennya dan Jose Mário
sebagai penerjemah. Walau ditunjuk sebagai penerjemah, walakin dalam
kenyataannya, Robson kerap membahas taktik dan program latihan bersama Mário.
Selama
di Sporting, posisi Robson tak terlampau nyaman. dia harus menghadapi presiden
klub kala itu, José de Sousa Cintra (Sousa Cintra), yang gemar mendatangi
pemain tanpa sepengetahuan Robson. Walau dalam musim perdananya bersama
Sporting dia berhasil membawa klub menempati posisi ketiga di akhir kompetisi,
dia mengakui bahwa klub tersebut sedang mengalami ‘...a terrible state’ dan menyebut presiden klub sebagai ‘loose cannon’.
Hubungan
yang tak begitu nyaman membuat posisinya tak aman. Robson pun terdepak dari
klub pada 30 November 1993 dengan dalih tersingkir oleh FC Red Bull Salzburg di
ajang UEFA Cup. Padahal di kancah domestik, mereka sedang bertengger di posisi
kedua klasemen sementara.
Selain
mendepak Robson, Sporting juga turut mendepak Manuel dan Mário. Posisi Robson
kemudian digantikan oleh Carlos Manuel Brito Leal Queiroz (Carlos Queiroz).
Queiroz ditunjuk sebagai nahkoda Sporting setelah dia nganggur pasca
posisinya sebagai pelatih tim nasional Portugal selesai pada 17 November 1993.
Status
nganggur Robson dimanfaatkan oleh rivalnya, FC Porto. Dengan sigap Porto
memberikan tawaran pada Robson untuk mengisi posisi pelatih kepala yang kosong
sesudah mereka mendepak Tomislav Ivić pada 30 Januari 1994. 18 kemenangan dan 2
kekalahan dari 28 laga yang dilakoni bersama Ivić membuat posisi Porto berada
di posisi ketiga klasemen sementara. Hal ini tak memuaskan pengurus klub. Tak
lama-lama lowong, nahkoda klub akhirnya dipegang Robson sejak 06 Februari 1994.
![]() |
The Special Family |
Robson
segera mengajak Mário ikut serta di Porto dan kembali meminta Mário untuk
menjadi ‘penerjemah’-nya seperti sebelumnya. Ketika di Porto, Robson tinggal
satu blok apartemen dengan Luís André de Pina Cabral e Villas-Boas (André
Villas-Boas) yang saat itu belum genap berusia 17 tahun. Villas-Boas
memanfaatkan kesempatan ini untuk ‘memperkenalkan diri’ pada Robson. Dari
‘perkenalan’ ini, Robson menunjuk Villas-Bos untuk ikut serta di Porto dalam
observation department.
‘Perkenalan’
ini menjadi momentum penting bagi Villas-Boas. Robson kemudian membantu
Villas-Boas memperoleh kualifikasi pelatih dari FA. Tak cukup di situ saja,
Robson juga membantu Villas-Boas memperoleh lisensi kepelatihan UEFA C di
Skotlandia meski secara administrasi belum memenuhi syarat lantaran masih
berusia 17 tahun.
Untuk
memberi Villas-Boas kemantapan, Robson pun menyarankan Villas-Boas untuk
belajar metode kepelatihan di Ipswich Town. Setahun kemudian, pada usia 18
tahun, Villas-Boas memperoleh lisensi kepelatihan UEFA B yang dilanjutkan
lisensi UEFA setahun berikutnya. Lisensi UEFA Pro didapatkan Villas-Boas dari
National Sports Centre in Largs, Skotlandia, di bawah bimbingan James Taylor ‘Jim’
Fleeting. Di tempat dan dari sosok ini pula Jose Mário memperoleh lisensi UEFA
Pro.
Musim
perdana Robson di Porto dengan status carteker manager memang tak berhasil merengkuh gelar juara liga
domestik. Namun setidaknya dia berhasil membalas dendamnya pada Sporting Lisbon
dengan bertengger di posisi kedua klasemen akhir, terpaut dua angka dari
Benfica yang menjadi juara. Posisi ini tepat satu tingkat di atas Sporting yang
menempati urutan ketiga, dengan selish keduanya hanya satu angka.
Balas
dendam Robson juga dilakukan di ajang Taça de Portugal. Porto yang ditangani
Robson, bersua dengan Sporting yang ditangani Queiroz di pertandingan final.
Pertandingan sengit berlangsung antar keduanya pada laga yang dihelat di
Estádio Nacional pada 05 Juni 1994. Hasil imbang memaksa mereka memainkan laga replay
yang digelar di venue yang sama lima hari kemudian.
Dalam
laga replay, Porto berhasil memungkasi laga dengan kemenangan dramatis.
Gol Rui Jorge de Sousa Dias Macedo de Oliveira (Rui Jorge) pada menit 35 yang
dibalas oleh Budimir Vujačić pada menit 55, tampak membuat laga akan berlanjut
ke babak tambahan. Namun Aloísio Pires Alves mengubah suasana stadion setelah
berhasil menjebol gawang Sporting pada menit 91. Porto pun ditahbiskan sebagai
juara.
Dua
musim berikutnya, yang ditangani Robson sejak awal musim, berhasil mengukuhkan
Porto sebagai juara liga domestik dua kali beruntun. Gelar Supertaça Cândido de
Oliveira (Piala Super Portugal) pun berhasil dia persembahkan tiga kali
beruntun pada 1994, 1995, dan 1996.
Di
ajang kontinental, Porto berhasil dibawa Robson mencapai babak semi-final UEFA
Champions League musim 1993/94. Sayang langkah mereka dihentikan oleh Barcelona
dengan skor 3-0. Di semi-final lainnya, AC Milan melumat AS Monaco dengan skor
yang sama. AC Milan kemudian menjadi juara sesudah menghempaskan perlawanan
Barcelona dengan empat gol tak berbalas. Tepat satu dekade kemudian, Porto dan
Monaco lah yang bersua di pertandingan final.
Posisi
Porto di klasemen akhir musim 1993/1994 membuat mereka tak bisa tampil di UEFA
Champions League musim 1994/1995. Sebagai runner-up liga, mereka hanya
mendapat kesempatan tampil di UEFA Cup Winners' Cup. Sayang sekali raihan manis
mereka di liga domestik tak diikuti di ajang kontinental kali ini. Mereka
tersingkir di babak 8 besar setelah kalah adu penalti dari Sampdoria.
Di
musim terakhir Robson, penampilan Porto di ajang kontinental pun tak bagus.
Mereka kalah bersaing dengan Panathinaikos Athletic Club (Panathinaikos F.C.)
dan Football Club de Nantes (FC Nantes) dan menempati posisi ketiga klasemen
grup A. Lumayan tak berada di posisi juru kunci yang ditempati oleh Aalborg
Boldspilklub (Aalborg BK).
Robson
meninggalkan Porto dengan kenangan manis. Tak hanya raihan tropi bergengsi,
juga dengan kemenangan manis yang dipersembahkan dalam laga terakhirnya
menahkodai Porto. Menghadapi rival abadi mereka, Benfica, Porto berhasil
menghempaskan lawan dengan 5 gol tak berbalas. Kemenangan yang mengiringi
perpisahan ini membuat Robson mendapat julukan ‘Bobby Five-0’. Pengaruh Robson tak sirna di Porto walau tak lagi
bersama. Porto terus mendominasi papan atas persepakbolaan Portugal selepas
ditinggal Robson.
![]() |
Couple Power |
Joan
Gaspart i Solves, yang saat itu menjadi wakil presiden Barcelona, menghubungi
Robson melalui telepon pada musim panas 1996. Gaspart memberi tawaran pada
Robson untuk menahkodai raksasa Catalan tersebut.
Saat
itu Barcelona sedang mengalami masa-masa panas. Silang pendapat antara José
Luis Núñez Clemente, presiden Barcelona saat itu, dengan pelatih kepala yang
dipegang oleh Hendrik Johannes ‘Johan’ Cruijff (Johan Cruyff), memaksa Núñez
‘menyingkirkan’ Cruyff, yang notabene pelatih yang dia ‘bajak’ dari Ajax
sewindu sebelumnya. Walau melegenda, dua musim terakhir Cruyff sebagai pelatih
kepala Barcelona lebih karib didera duka.
Robson
tanpa pikir panjang menerima tawaran Gaspart. Lagi dan lagi, Robson mengajak
Jose Mário ikut serta yang kembali menerima ajakan Robson. Jose Mário turut
memboyong keluarganya ke Catalan. Jose Mário secara bertahap menjadi tokoh
terkemuka di Barcelona dengan menjadi penerjemah Robson di konferensi pers dan
perencanaan sesi latihan serta membantu pemain melalui saran taktik dan analisis
tentang lawan.
Duet
Robson dan Jose Mário saling melengkapi. Robson sangat suka dengan gaya
menyerang ketika bermain, dia terus membangun sisi penyerangan tim. Sementara
Jose Mário sangat piawai membangun sisi pertahanan tim. Jose Mário juga orang
yang bisa menyusun perencanaan program latihan dengan rapi dan rinci yang bisa
diterapkan dengan lihai oleh Robson. Duet keduanya sangat menawan bahkan Jose Mário
tak tampak sebagai penerjemah maupun asistennya saja.
Awal
musim 1997/1998, Robson diisukan berpindah peran menjadi General Manager di Barcelona. Sementara peran pelatih kepala diisi
oleh Aloysius Paulus Maria ‘Louis’ van Gaal (Louis van Gaal). Namun isu
tersebut terbantahkan lantaran Robson tetap menjadi pelatih kepala pada musim
tersebut.
Isu
datangnya van Gaal untuk menahkodai Barcelona terwujud semusim berikutnya,
1998/1999. Kepergian Robson dari Barcelona kali ini tak diikuti oleh Jose Mário.
Keduanya tetap terikat persahabatan cinta yang tulus.
“One of the most important things I
learnt from Bobby Robson is that when you win, you shouldn't assume you are the
team, and when you lose, you shouldn't think you are rubbish.”
Testimoni
Jose Mário tentang hubungannya dengan Robson.
![]() |
Together they're more |
Jose Mário
tetap di Barcelona dan bekerja dengan pengganti Robson tersebut. Selama bersama
van Gaal, Jose Mário belajar banyak mengenai ketelitian laki asal Belanda
tersebut. Van Gaal sendiri melihat Jose Mário lebih dari sekedar asisten yang
terampil. Hal ini membuat van Gaal memberikan kepercayaan pada Mário untuk
menangani tim Barcelona B.
Lebih
dari itu, dalam ajang tertentu seperti Catalonia Cup, van Gaal bahkan
mempercayakan Jose Mário bertindak sebagai ‘pelatih kepala’. Kesempatan ini
memberikan pengalaman pada Jose Mário untuk mengembangkan gaya melatihnya
sendiri. Gelar Catalonia Cup pada tahun 2000 berhasil Jose Mário persembahkan
pada Barcelona ketika dia mengambil alih peran van Gaal.
Selama
di Barcelona, van Gaal terus kesulitan untuk menerapkan filosinya ke dalam
permainan Barcelona. Dia pun kerap bentrok dengan media massa dan terus
menerima kritikan tajam dari para pendukung Barcelona. Van Gaal juga menghadapi
beberapa pemain yang enggan mengikuti sarannya.
Hal
ini membuat van Gaal mantap meninggalkan Barcelona pada 20 Mei 2000, beberapa
hari setelah Real Club Deportivo de La Coruña, S.A.D. (Deportivo de La Coruña)
menahbiskan diri menjadi juara liga. Ungkapan perpisahan van Gaal dan Barcelona
belakangan menjadi terkenal, “Amigos de
la prensa. Yo me voy. Felicidades.” (Friends of the press. I am leaving.
Congratulations.)
Baik
van Gaal maupun Jose Mário, keduanya pergi dari Catalan untuk kembali ke tanah
air mereka. Perpisahan yang membuka jalan perubahan bagi Jose Mário untuk
menorehkan catatan emasnya. Jalan perubahan yang sempat membikinnya gelisah dan
memikirkan dua masukan dari Robson dan van Gaal.
![]() |
One more time |
Jalan
perubahan yang memberinya kesempatan menulis catatan manis. Catatan manis
sebagai seorang manajer sebagai penghapus catatan mirisnya sebagai seorang
pemain sepak bola. Mourinho memang gagal total sebagai pemain sepak bola,
walakin fenomenal dan kontroversial sebagai manajer sepak bola.
Mourinho
sudah mendapatkan banyak gelar dalam sepak bola, baik secara kolektif maupun
dan individu. Dia sudah memenangkan Primeira Liga (liga utama Portugal) dua
kali (2003 dan 2004), serta Taça de Portugal (Piala Portugal), Supertaça
Cândido de Oliveira (Piala Super Portugal), dan UEFA Cup masing-masing sekali
(2003) bersama Futebol Clube do Porto (FC Porto). Bersama FC Porto juga dia memenangkan
UEFA Champions League pada musim 2003/2004.
Gelar
terakhir tersebut membawa namanya menjulang tinggi hingga menarik minat Roman
Abramovich memboyongnya ke Chelsea Football Club (Chelsea). Di Chelsea, dia mempersembahkan
gelar Premier League pertama sejak 50 tahun sebelumnya pada musim 2004/2005,
yang dia berikan lagi pada 2005/2006 dan 2014/2015.
Mourinho
juga mempersembahkan gelar FA Cup 2006/2007, dengan sejarah tersendiri dalam FA
Cup untuk musim tersebut. Tak sampai di situ, cakram FA Community Shield juga
dia rengkuh bersama Chelsea pada 2005, serta tiga gelar Football League Cup
(2004/05, 2006/07, dan 2014/15). Sayang di Chelsea dia gagal merengkuh tropi
paling bergengsi di kawasan kontinental Eropa, UEFA Champions League.
Tropi
UEFA Champions League sendiri baru bisa dia dapatkan ketika membesut Football
Club Internazionale Milano (Inter Milan) pada musim 2009/2010. Tak cuma gelar
bergengsi ini saja, selama dua musim di kota Milan, Mourinho pun turut
mempersembahkan gelar juara Serie A (2008/09 dan 2009/10), Coppa Italia
(2009/10), dan Supercoppa Italiana (2008). Selain menorehkan catatan meriah di
Eropa, di Italia sendiri Inter menahbiskan diri sebagai peraih treble winner
pada musim 2009/2010.
Treble
winner bersama Inter
membikin Real Madrid Club de Fútbol (Real Madrid) kesengsem pada Mourinho.
Sayangnya, di Real Madrid torehan Mourinho sangat buruk dibanding di Porto,
Chelsea, maupun Inter. dia hanya sanggup mempersembahkan tiga gelar saja
masing-masing sekali. La Liga (2011/12), Copa del Rey (2010/11), dan Supercopa
de España (2012).
Torehan
buruk yang membuat Mourinho dan Madrid memilih untuk pisah baik-baik.
Perpisahan yang membuka jalan Mourinho untuk kembali ke Chelsea, dan membuka
jalan bergabungnya Carlo Ancelotti membesut Madrid.
Beragam
gelar kolektif tersebut membuat Mourinho meraih beragam gelar individu. Mulai
dari Onze d'Or Coach of the Year (2005), FIFA World Coach of the Year (2010),
IFFHS World's Best Club Coach (2004, 2005, 2010, dan 2012), Premier League
Manager of the Year (2004–05, 2005–06, dan 2014–15), Premier League Manager of
the Month (November 2004, January 2005, March 2007), Serie A Manager of the
Year (2008–09 dan 2009–10), Albo Panchina d'Oro (2009–10), Miguel Muñoz Trophy
(2010–11 dan 2011–12), UEFA Manager of the Year (2002–03 dan 2003–04), UEFA
Team of the Year (2003, 2004, 2005, dan 2010), World Soccer Magazine World
Manager of the Year (2004, 2005, dan 2010), BBC Sports Personality of the Year
Coach Award (2005), La Gazzetta dello Sport Man of the Year (2010),
International Sports Press Association Best Manager in the World (2010), Prémio
Prestígio Fernando Soromenho (2012), Football Extravaganza's League of Legends
(2011), Globe Soccer Awards Best Coach of the Year (2012), Globe Soccer Awards
Best Media Attraction in Football (2012), hingga Portuguese Coach of the
Century (2015). Selain itu, Mourinho juga meraih gelar kehormatan berupa Grand
Officer of the Order of Prince Henry (2005) dan Doctor Honoris causa dari
Lisbon Technical University (2009).
Seluruh
gelar tersebut semakin manis setelah dia berhasil melantan keharmonisan
keluarga dan rumah tangganya bersama Matilde Faria. Perempuan yang lebih karib
disapa Tami ini memang cantik. Walakin, kehadirannya dalam bycicle race Mourinho bukan semata sebagai mitra selakangan yang
beda.
Rasa
cinta Mourinho pada Tami sudah dimulai lama, sejak keduanya masih remaja.
Revolusi cinta pemula Immortal love
yang dilakoni pada 1989 tak pernah berpaling hingga kini. Bahkan ketika
Mourinho digpda Elsa Sousa pada tahun 2007, tak merisak rasa cinta yang
menggelora dalam sukma terdalam.
Elsa,
penjaga toko dengan kesintalan badan yang menggoda naluri laki, sempat
menggilai Mourinho. Beuntung Tami segera peka ada berupaya mendekati sang
suami. Tanpa perlu ribut-ribut, Tami pasang badan untuk mempertahankan ikatan
cinta dengan Mourino. Elsa mulai tahu diri hingga memilih mundur teratur.
Mengakhiri potensi catatan kelam Mourinho dalam keluarga dan rumah tangga
dengan manis tanpa pernah bertikai sadis.
![]() |
Celebrate the Day with the Family |
Tami
adalah sosok yang bisa menjaga kestabilan psikis Mourinho serta sanggup memberi
saran teknis terkait karirnya. Ketika keduanya masih remaja, Tami lah yang
meyakinkan Mourinho untuk menekuni dunia kepelatihan sepak bola, walau Tami
tahu sendiri Mourinho tak ada apa-apanya ketika menjadi pemain.
Selepas
menjalani kegiatan perguruan tinggi, Tami segera menyarankan Mourinho untuk
yakin diri mendekati Robson. Ikatan persahabatan cinta yang tulus yang
berkelindan dengan karier profesional inilah yang banyak berperan pada satu
sisi kehidupan bycicle race Mourino.
Wajar jika rasa cinta Mourinho pada Tami diabadikan melalui tato nama queen hatinya tersebut di pergelangan
tangan kiri.
Hingga
kini, keduanya hidup harmonis dengan Mourinho sebagai kepala keluarga dan Tami
sebagai kepala rumah tangga, yang dilengkapi dua buah hati mereka, Matilde
(Tita) dan José Mário (Zuka).
![]() |
Reliving Moment |
Satu
sisi telah terhapus sisakan perih. Satu sisi telah terlahir memecah sunyi.
Begitu.
B.Km.Lg.291049.37.040816.16:55