— Berkelana mendamba Kirana
Kabut yang
menggelayut lingkungan saat kecil memaksa Kang Jalal (sapaan mesra Jalaluddin
Rakhmat) mengalami perpisahan dini dengan ayah. Ayahnya saat itu memiliki
gairah tak biasa untuk ‘berjuang menegakkan syari’at Islam’. Gairah tak biasa
membuncah meriak sukma inilah yang membuat sang ayah tak ragu meninggalkan
keluarga untuk bergabung dengan sesama ‘pejuang’.
Kang Jalal
pun terpaksa hanya diasuh secara langsung oleh ibunya sejak berusia dua tahun.
Dengan telaten sang ibu melantan Kang Jalal supaya menjadi manusia berguna yang
mendapat ridha-Nya. Mengantarkan ke
sekolah dasar pada pagi hari, ke madrasah pada sore hari, hingga membimbingnya
membaca kitab kuning pada malam hari.
Kang Jalal
memendam impian menjadi pilot sejak kecil. Hanya saja keadaan perekonomian tak
begitu mendukung Kang Jalal untuk mewujudkan impiannya ini. Sang ibu, yang
melantannya sendirian semenjak dia balita, lebih tertarik agar Kang Jalal kecil
mendapat pendidikan kuat dasar-dasar agama sebelum mendalami hal lainnya.
Terlebih dia hidup di lingkungan keluarga dan tetangga yang agamis.
Sang ibu
menitipkan Kang Jalal untuk diasuh oleh Kiai Sidik. Kiai yang memiliki tradisi nahdliyin ini mendidik Kang Jalal
sebagaimana santri nahdliyin ketika
memula belajarnya di pesantren. Kang Jalal diajari buku Jurumiyyah, buku yang banyak membahas dasar-dasar segala tata
bahasa Arab. Dengan kecerdasan mumpuni, dia pun bisa melanjutkan menerima
pelajaran dari buku Alfiyyah gubahan Ibnu Malik.
Sebagian
kalangan menyebutkan bahwa kecenderungan laki lebih memiliki ikatan intim
dengan ibu ketimbang ayah. Entah benar atau tak serta kelindan antara
perpisahan dini kang jalal dengan ayah, dia pun nyaris tak memiliki ikatan
intim dengan sang ayah. Walau demikian, bukan berarti ayahnya tak memiliki jasa
sama sekali selain menjadi ‘penanam’ benih yang kelak lahir menjadi dirinya.
Peninggalan
ayahnya berupa lemari yang penuh berisi buku-buku berbahasa Arab menjadi jalan
perkenalan Kang Jalal dengan karya fenomenal The Great Muhammad al-Ghazali, Ihya’
Ulum al-Din. Berbekal kelihaiannya dalam berbahasa Arab yang sudah dia
dapatkan sebelumnya, Kang Jalal bisa menikmati immortal piece ini.
Karya ini dengan
segara mengguncang sukma hingga membanting pandangannya mengenai dunia. Kang
Jalal dengan segera mengenang kehidupannya yang akrab dengan dosa. Sejenak, hal
ini membikin Kang Jalal terhentak hingga merasa ‘gila’. Hal ini terjadi ketika
dia menjalani masa remajanya.
Sesudah
menyelesaikan sekolah dasar di kampung halaman, Kang Jalal pindah ke daerah
perkotaan di Bandung untuk bersekolah di SMP Muslimin III Bandung. Rasa sebagai
‘anak kampung’ yang hidup bersama ‘anak kota’ membikinnya merasa beda. Rasa
beda yang membuat Kang Jalal lebih memilih lebih banyak ‘bertapa’ di
perpustakaan negeri lantaran merasa rendah diri.
Di
perpustakaan ini dia menyelami karya tulis immortal
hingga terpaksa belajar bahasa Belanda. Karya tulis yang diselaminya
diselaminya lebih banyak berwarna filsafat terutama oleh Spinoza dan Nietzsche.
Hingga akhirnya denyut kehidupan membawanya membuka lembaran Ihya’ Ulum al-Din.
Rasa
rendah diri dan kesibukan di perpustakaan negeri tak merisak aktivitasnya
sebagai siswa SMP. Kegiatannya di SMP berhasil diselesaikan hingga lulus dengan
catatan bagus. Dia selalu berhasil menjadi juara kelas dan meringankan beban
pembiayaan oleh ibunya. Status sebagai juara kelas membuatnya mendapat beasiswa
selama SMP. Hanya pada catur wulan pertama saja sang ibu harus merogoh kocek
membayar biaya bulanan sekolah.
Sebenarnya
Kang Jalal nyaris menanggalkan SMP andai takdir seleras kehendak. Hentakan Ihya’ Ulum al-Din sempat membuatnya ingin
nyantri di pesantren saja. Sayang
saat itu pihak pesantren menolak. Pihak pesantren merasa keberatan menerima
Kang Jalal sebagai santrinya lantaran kedatangannya tak diantar oleh orangtua.
Penolakan inilah yang ‘mengembalikan’ Kang Jalal ke SMP hingga berhasil diselesaikannya.
Sesudah
lulus SMP, Kang Jalal melanjutkan sekolahnya ke SMA II Bandung. Tipikal tukang
keluyuran, sekolahnya di SMA sempat dia tinggalkan juga. Kali ini dia lebih
beruntung dengan bisa singgah di Darul Arqam, Garut, yang dikenal sebagai pusat
pengkaderan Muhammadiyah.
Walau tak
terlampau lama singgah di sana, pengalaman ini turut memberi warna baginya.
Kang Jalal dengan semangat kembali ke kampung untuk ‘memberantas penyakit TBC’ (Takhayul, Bid’ah, dan Churafat) yang
memang sedang nge-hits saat itu.
Dia
menyingkirkan bedug masjid kampungnya karena dianggap bid’ah. Dia juga enggan
shalat qabliyyah Jum’at. Bukan
sekedar enggan, walakin diserta peragaan penolakan yang demonstratif. Kang
Jalal sempat bertengkar dengan Uwa’-nya
(paman) dan nyaris menjadi bulan-bulanan massa akibat hal ini.
Merasa
‘dakwah memberantas TBC’ gagal, dia pun kembali ke Bandung. Kang Jalal lalu bergabung
dengan kelompok diskusi yang berafiliasi dengan Persatuan Islam (Persis).
Kelompok diskusi ini menyebut mereka sebagai Rijalul Ghad yang berarti Pemimpin Masa Depan.
Hanya saja
Kang Jalal merasa mengecewakan ibunya jika tak berhasil menyelesaikan
sekolahnya. Hal inilah membuatnya kembali ke SMA dan menanggalkan
keikutsertaannya di kelompok diskusi yang sempat mempesonanya. Seperti ketika
SMP, dia pun berhasil menjalani kegiatan sekolah hingga dinyatakan lulus dengan
catatan bagus.
Tak ingin
memberatkan ibunya sekaligus berusaha membahagiakan, Kang Jalal memilih mencari
perguruan tinggi yang bisa di-sambi
bekerja. Keinginan Kang Jalal kali ini mendapat restoe boemi. Dia bisa diterima masuk perkuliahan Fakultas
Publisistik (kini Ilmu Komunikasi) di Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung.
Di perguruan
tinggi itu dia bisa mengikuti kuliah sekaligus bekerja tanpa saling merisak
satu sama lain. Kuliahnya yang berlangsung sore hari meluangkan pagi harinya
untuk mencari ma’isyah. Kang Jalal
tak mau ada waktu terbuang percuma. Sembari kuliah di Unpad, dia juga mengikuti
pendidikan guru SLP jurusan Bahasa Inggris.
Sayang,
lagi dan lagi pendidikan formal kembali terganjal. Kali ini pernikahannya
dengan Euis Kartini sempat membuat bangku kuliah dia tinggal. Hanya saja masih
ada hasrat kuat untuk menyelesaikan kuliah dalam jiwa Kang Jalal. Hingga
kemudian dia pun kembali ke perkuliahan setelah kehidupan keluarga dan rumah
tangga berhasil ditegakkan.
Keberhasilan
menyelesaikan kuliah menguatkan perannya dalam dunia akademik dengan menjadi
dosen. Perannya sebagai dosen inilah yang kemudian membuatnya berkesempatan
menambah pengalaman dengan ikut belajar formal di Iowa State University, USA.
Kang Jalal mengambil kuliah Komunikasi dan Psikologi di sini dengan bekal
beasiswa fulbright. Kegiatan
perkuliahan di-sambi-nya dengan
bermain perpustakaan. Tak perlu waktu lama, dia pun berhasil lulus dengan
perolehan 4.0 grade point average.
Hal ini memberikan sematan magna cum
laude padanya serta berkesempatan menjadi anggota Phi Kappa Phi dan Sigma
Delta Chi.
Lulus dari
Iowa dilanjutkan kembali ke tanah air dengan tetap ikut serta berperan dalam
dunia akademik. Kang Jalal mulai merancang kembali kurikulum di fakultasnya,
memberikan kuliah dalam berbagai disiplin yang dikuasainya, hingga menulis
buku. Buku Psikologi Komunikasi
berhasil diterbitkan sebagai jalan mula menulis buku yang diterbitkan masal.
![]() |
Berkelana
mendamba Kirana
|
Buku Psikologi Komunikasi yang diterbitkan
pada 1985 menjadi buku psikologi komunikasi pertama di Indonesia. Meski
dirancang sebagai buku teknis perkuliahan, buku ini menggunakan gaya tutur
populer hingga mudah dinikmati oleh selain pelajar perguruan tinggi. Tak heran
jika buku ini termasuk best seller
serta rujukan utama di kancahnya.
Melalui
buku ini Kang Jalal menyampaikan pesan bahwa pemahaman dan perbaikan komunikasi
yang dilakukan dapat membuat kualitas hidup dan interaksi kita dengan sesama
manusia meningkat. Kang Jalal menguraikan pesannya ini rapi dan rinci dengan
beragam tinjauan ilmiah dari sisi komunikasi dan psikologi.
Tak hanya
menjadi pengajar di kandangnya di Unpad, dia juga menjadi pengajar kelana ke
beragam tempat. Salah satunya adalah menjadi pengajar kuliah Etika dan Agama
Islam di ITB dan IAIN (kini UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Dari sini laki kelahiran
29 Agustus 1949 tertarik mencari titik temu agama dan sains.
Rekaman
perkuliahan kemudian dikumpulkan untuk disusun kembali menjadi buku. Buku ini
disunting serta disarikan kembali oleh sahabatnya, Haidar Baqir, dan diterbitkan
dengan judul Islam Alternatif. Buku
ini dibagi menjadi lima bagian utama sebagai pemandu pokok bahasan. Pertama tentang Islam sebagai kasih
tanpa pilih kasih. Kedua Islam
sebagai pembebas mustadh’afin. Ketiga Islam sebagai pemandu pembinaan
lingkungan. Keempat kelindan Islam
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Serta kelima Islam mazhab Syiah.
Istilah mustadh’afin merupakan istilah paling
digemari Kang Jalal sebagai penggambar orang-orang yang terpinggirkan. Istilah
ini serupa maknanya dengan istilah proletar
yang disuka Tan Malaka maupun istilah marhaen
yang digubah Sukarno.
Selain
menyibukkan diri dengan urusan akademik, Kang Jalal juga menyibukkan dirinya
dengan urusan lingkungan. Dia rajin membina jama’ah di masjid-masjid dan
menyapa kaum mustadh’afin di beragam
tempat. Selain itu dia pun rajin menulis catatan singkat untuk diterbitkan
melalui berbagai media massa. Catatan Kang Jalal banyak menghiasi
lembaran-lembaran Tempo, Gala, Kompas, Pikiran Rakyat, Panji Masyarakat, Jawa Pos, hingga Berita Buana.
Seperti
sebelumnya dilakukan dalam Islam Alternatif,
kali ini catatan-catatan tersebut kemudian dikumpulkan. Kumpulan catatan ini
dibukukan dengan judul Islam Aktual
yang diterbitkan pada tahun 1991. Sebagai kumpulan catatan yang ditulis untuk
media massa, seluruh pembahasan tak bisa utuh. Setiap catatan yang disajikan memiliki
bahasan singkat namun cukup bagus sebagai pemantik semangat.
Kang
Jalal, pada masa itu, sudah dikenal kritis, baik dalam menyampaikan secara
lisan maupun melalui karya tulis. Dia tak ragu mengkritik kelaliman yang dilakukan
berbagai pihak, termasuk oleh aparat negara dan ‘aparat’ agama. Hal ini
membuatnya kerap berurusan dengan aparat militer hingga berakhir dengan kehilangan
pekerjaan sebagai pekerja negara di perguruan tinggi.
Kehilangan
pekerjaan tak menghentikan langkahnya mengisi keseharian. Kang Jalal tak mati
meski dipaksa berhenti. Malah hal ini menjadi pemicu semangatnya untuk terus
berkelana meraih ridha-Nya.
Kang Jalal
sendiri kala itu mulai menggilai dunia mysticism
(tasawuf maupun ‘irfân). Ketertarikan
ini bermula ketika dia bersama sahabatnya, Haidar Baqir dan Endang Saefuddin
Anshory, diundang untuk hadir dalam sebuah pertemuan di Kolombia pada tahun
1984. Melalui pertemuan ini Kang Jalal berjumpa dengan ‘ulama asal Iran yang memiliki pemahaman mendalam serta karisma
yang terpancarkan. Kang Jalal merasa beruntung mendapat hadiah banyak buku dari
mereka yang banyak membahas mengenai mysticism.
Kekaguman tak
pernah sirna menggelayut dalam sukma. Kang Jalal mulai larut dalam karya tulis ulama asal Iran, seperti Imam Khomeini
dan Murtadha Muthahari. Kang Jalal melihat dan merasa bahwa pemahaman intelektual
serta kualitas moral mereka luar biasa mengagumkan. Dia menyebut Imam Khomeini
sebagai pejuang tangguh dan sufi besar yang kehadirannya sanggup melantan
muruah bangsanya sekaligus menciutkan nyali pembenci bangsanya. Murtadha
Muthahari adalah sosok yang dikaguminya sebagai role model keterbukaaan dengan liyan.
Alhasil, kehilangan
satu sisi keseharian sebagai pekerja negara justru membuka pintu baginya untuk kembali
berkelana. Kali ini Qum, Iran, menjadi pilihan. Kang Jalal ingin mendalami mysticism sekaligus menjalani kehidupan
di lingkungan yang dekat dengan para mullah
ini.
![]() |
Berjumpa
‘Alî Hossaynî Khâmene’î
|
Pengelanaan
Kang Jalal di Iran dilanjutkan ke negeri kanguru, Australia. Kali ini dia
melanjutkan pendidikan formalnya di perguruan tinggi dengan mengikuti perkuliahan
Hubungan Internasional di ANU. Dari sinilah dia memperoleh sematan doktornya.
Keberuntungan
menyerta dirinya sesudah mendapat semat doktor. Fakultas Imu Komunikasi menyapanya
untuk kembali pulang. Tanpa merasa terluka oleh rekaman menyebalkan sebelumnya,
dia pun kembali mengajar di sana. Dengan pengalaman yang kian bertambah, Kang
Jalal kian tegap melebarkan sayap menjamah berbagai ranah. Dia mengajar di
beberapa perguruan tinggi lain dalam bidang Ilmu Komunikasi, Filsafat Ilmu,
hingga Metode Penelitian. Hasil pengelanaan di Iran membuatnya dipercaya
membina Mysticism di Islamic College
for Advanced Studies (ICAS), Paramadina University, yang didirikan pada tahun
2002 oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur), Haidar Bagir, Muwahidi, serta dia
sendiri.
Tak hanya
mencurahkan pengalaman untuk para remaja akhir, Kang Jalal juga peduli dengan
mereka yang masih memula masa remaja. Hal ini diwujudkan dengan mendirikan sekolah
menengah.
SMP Plus
Muthahhari yang terletak di Cicalengka Bandung, menjadi rwujud kepeduliannya
pada pendidikan para remaja. Sebagai laki yang pernah merasakan keadaan perekomian
yang sulit, Kang Jalal mengkhususkan sekolah ini untuk pelajar dari keluarga
miskin. Pelajar di sekolah ini tak dibebani biaya pendidikan.
Sejak didirikan,
Kang Jalal memendam hasrat kuat untuk melihat SMP yang namanya tabarrukan pada sang teladan ini berdiri
kukuh di seluruh belahan Indonesia, syukur-syukur menjamah Nusantara. Dia tak
ingin anak-anak dari keluarga miskin kehilangan kesempatan mendapat pendidikan
berkualitas. Sebagai pelanjut SMP ini, turut serta didirikan pula jenjang berikutnya
SMA.
Kini Kang
Jalal sudah bisa melihat kehidupannya penuh berkat walau semula seperti misykat kecil tak terlihat. Sosok yang
sempat mengalami pubertas agama dan kepongahan intelektual ini menjelma menjadi
sosok penebar kasih tanpa pilih kasih. Pengalaman pubertas agama dan kepongahan
intelektual dia tuangkan melalui beragam karya tulisnya, antara lain Dahulukan Akhlak di Atas Fikih.
Melalui buku
yang diterbitkan pada 2002 ini Kang Jalal mengukapkan isi hati penuh simpati
dan empati kepada kita semua agar tak bertikai karena perbedaan pemahaman dan
penerapan fikih yang diyakini. Kesetiaan berlebihan pada fikih tak hanya
menjauhkan manusia dari kehidupan bersama, walakin juga bisa menyebabkan
manusia ‘menyembah’ fikihnya.
Sebagai
hasil olah pikir terhadap sebagian firman Allah dalam Alquran, tak selayaknya manusia
bertikai akibat perbedaan fikih yang diyakininya ini. Terlebih rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wa alihi wasallam menyampaikan bahwa dia diutus
untuk menyempurnakan Akhlak.
Firman
Allah serta ucapan, perbuatan, dan ketetapan rasulullah memang tak salah. Walakin
bagaimana dengan penafsiran kita terhadap itu semua? Bukankah kita semua adalah
ciptaan-Nya yang mendapat kesempatan menjadi umat Persembahan dari Surga penebar cinta yang Bukan Cinta Manusia Biasa?
B.Sn.Kl.041149.37.070816.20:16