Ketika Ibra Bersama Barca


— pergi demi menjadi diri sendiri
 

Tahu Diri Tak Disukai
[Sumber: balonrosa.com]
Zlatan Ibrahimović dan Cristiano Ronaldo adalah dua pemain depan yang saya kagumi ketika mereka masih menjadi ‘lawan’. Nyaris saja mereka seperti Steven Gerrard andai Ronaldo tak hijrah ke Real Madrid dan Ibra memutuskan meninggalkan Barcelona untuk njajal AC Milan. Sikapnya oleh sebagian orang disebut arogan tapi bagi saya biasa saja. Orang bermental minder hanya gemar menyematkan sebutan arogan pada mereka yang menunjukkan sikap yakin diri.
 
Persahabatan cinta yang tulus
[Sumber: ytimg.com]
Kalau sedang bermain game sepak bola sendirian dan menyusun tim yang terdiri dari pemain favorit, selalu saja disertakan nama Ibrahimović. Dengan memakai setting-an bawaan pun saya bisa memainkan Ibra sebagai peyerang. Satu hal paling saya sayangkan adalah ketika ia ikut dalam rombongan bedol deso meninggalkan Juventus ketika La Vecchia Signora diguncang skandal kontroversial bertajuk Calciopoli.
 

Ibra Dalam Sebuah Laga Melawan Milan di Turin
[Sumber: cfstatic.com]
Bukan keputusannya meninggalkan Juventus tapi lebih berat hati pada pilihannya pindah ke Internazionale Milan. Sebagai Milanisti jika berada dalam cakupan dan batasan Serie-A, saya lebih membenci Internazionale Milan ketimbang Juventus. Walau di klub tersebut pernah dilatih sosok favorit saya, Jose Mourinho, dan terdapat pemain belakang favorit saya, Christian Chivu. Teratai memang hidup di atas kubangan lumpur.
 

Mourinho Bercakap dengan Chivu Dalam Laga Internazionale Melawan Barcelona di Camp Nou
[Sumber: zimbio.com]
Karir Ibrahimović dalam sepak bola datar-datar saja. Tak terlampau istimewa melihat capaiannya seorangan tanpa diperbandingkan. Dia selalu berhasil sejak di Malmö, Ajax, Juventus, Internazionale, Barcelona, Milan, hingga PSG. Dia tak mengalami masa ketika karirnya harus tenggelam karam dalam kelam, seperti Andry Shevchenko ketika pindah ke Chelsea. Dia juga selalu bisa berkesempatan bermain di klub berkelas yang selalu menjadi kandidat kuat menjadi juara, dan selalu berhasil meraih gelar juara di setiap klub yang dibelanya. Bahkan pernyataannya bakal lebih gila lagi andai musim terakhirnya bersama Milan diakhiri di posisi puncak.
 

Bersama David Beckham di PSG
[Sumber: squawka.com]
Sebagian orang bisa bilang Ibra gagal total di Barcelona. Tapi saya tak pernah sepakat ungkapan demikian. Bahwa dia hanya sanggup bertahan satu musim di klub Catalan adalah benar adanya. Walakin capaiannya masih bagus, masih konsisten dengan capaian sebelum dan setelahnya. Ibra dengan berani meninggalkan klub sekelas Barca untuk pindah dengan status pemain pinjaman ke Milan. Dia kembali ke Italia dengan status yang lazimnya tersemat ‘buangan’ ke klub yang menjadi seteru abadi dua klub pendahulunya.
 

Saat Masih di Malmö Tahun 2000
[Sumber: bp.blogspot.com]
Ibra memang kerap pindah. Dia tak pernah betah bertahan hingga lima musim di setiap klub yang dibelanya. Kepindahan Ibra selalu membawa dua sisi yang berpadu. Manunggaling musibah-berkah. Musibahnya adalah terdapat ‘garansi’ bahwa Ibra tak akan memperoleh gelar juara continental namun berkahnya ‘garansi’ meraih gelar juara domestik. Yang jelas, suka atau tak suka, Ibra adalah pemain yang sanggup beradaptasi dengan klub barunya dalam waktu cepat. Dia sering pindah dan setiap kepindahan selalu butuh penyesuaian yang kadang lebih berat ketimbang penyesuaian antar musim di satu klub yang sama.
 

Bahagia di Ajax
[Sumber: cfstatic.com]
Arsene Wenger, menjadi pelatih pertama yang dibikin panas kupingnya dengan pernyataan blak-blakan Ibra. Mulanya Wenger ingin njajal kemampuan Ibra dan mengundangnya untuk diaudisi. Namun Ibra enggan menerima undangan. Dia bilang bahwa Ibra bukan untuk dicoba. Josep Guardiola menjadi pelatih berikutnya yang dipanasinya. Pelatih yang oleh Cules begitu dipuja ini oleh Ibra dibilang kacangan. Hanya Jose Mourinho dan Fabio Capello pelatih yang sanggup meluluhkan hati Ibra dan mendapat sebutan pelatih terbaik-terbaik yang pernah menanganinya.
 

The Special Relationship
[Sumber: footballaustralia.com.au]
Ketika Ibra pindah ke Barca, gemuruh media massa mengirinya saat itu. Itu adalah kali ketiga dia pindah antar klub antar negara. Gemuruhnya kali ini kepindahannya diiringi dengan rekor transfer termahal untuk Barcelona dan kedua secara keseluruhan hingga saat itu. Dia datang ke klub yang sedang berada di puncak masa jaya dengan sambutan penggemar yang hampir memenuhi seisi stadion Camp Nou. Keluarganya yang turut diboyong ke Barcelona juga tak menghadapi masalah. Dia dan keluarganya membeli rumah yang nyaman di Esplugues de Llobregat.
 

Datang Dengan Nama Harum, Pergi Dengan Mengulum Senyum
[Sumber: maltastar.com]
Sayang sekali segala riuh gemuruh khalayak tersebut luluh lantak seketika saja di hari pertamanya ikut serta latihan. Gara-gara Guardiola buru-buru mengungkapkan prasangkanya bahwa Ibra adalah orang yang tak down to earth, batin Ibra langsung merasa dirisak. Dia seketika langsung merindukan kembali bersua dengan Mourinho. Saat Mourinho datang sebagai pelatih baru Internazionale Milan, The Special One segera menjumpai Helena Seger, istri Ibra, dan berpesan agar melantan kenyamanan mental suaminya. Hal sederhana ini menjadikan Ibra sangat terkesan dengan sosok yang oleh sebagian kalangan sama-sama dianggap arogan seperti dirinya.

Semakin hari Ibra semakin merasa tak nyaman berada di tengah kerumuman berlabel FC Barcelona. Dia tak nyaman dengan sikap Guardiola yang sangat otoriter dan kaku dalam menangani pemain. Guardiola adalah pelatih yang semua instruksinya harus diikuti dengan patuh tanpa boleh membantah. Gaya semacam ini sangat cocok dipakai untuk pemain yang otaknya sudah membeku atau pemain yang ketika lahir otaknya ketinggalan dalam kandungan. Juga cocok untuk pelatih yang tak memahami bahwa manusia memiliki hati. Jauh berbeda dengan Mourinho yang membebaskan pemaiannya mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Wajar kalau Mourinho selalu marah jika melihat penampilan pemain belum ‘sempurna’.
 

Bersama Yang Disayangkan dan Yang Disayang
[Sumber: sokkaa.com]
Keberadaan Maxwell cukup memberikan penawar bagi Ibra. Maxwell adalah kawan Ibra sejak di Ajax dan berjumpa kembali di Internazionale. Sementara pemain lain tampak tak bisa menerima kehadiran Ibra. Tidak Messi, Iniesta, tidak juga Xavi. Mereka semua dididik dengan kepatuhan ketat sementara Ibra adalah seorang yang berkarakter ‘semaunya sendiri’. Walau demikian, Ibra berupaya untuk menyesuaikan diri dengan keadaan. Dia menerima saja jati dirinya hilang demi larut bersama Barcelona. Dia menjadi laki yang penurut.
 

Tiga Masa Bersama Maxwell
[Sumber: performgroup.com]
Sayang sekali perubahan tak kentara bagi khalayak ini, lantaran penampilannya di lapangan tak jauh berbeda dengan sebelumnya, sangat terlihat jelas oleh keluarga dan sahabatnya. Saat Ibra berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan raksasa Catalan, orang-orang dekatnya justru merasa risih. Maxwell tak lagi melihat Ibra yang menyegarkan suasana latihan dan kamar ganti dengan keusilannya. Mino Raiola, sahabat sekaligus agennya, melihat Ibra tak lagi mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan namun mengungkapkan apa yang diinginkan orang untuk mereka dengarkan darinya. Istrinya melihat suaminya mendadak menjadi pendiam. Ibra tertekan. Ibra tak nyaman. Ibra tak suka dipaksa patuh pada kesewenangan.
 

Berjalan Bersama Mino Raiola
[Sumber: zenfs.com]
Sementara itu, Ibra tak terlampau mendapat apresiasi. Ibra adalah orang yang tekun menyimak segala bentuk kritik hingga apresiasi. Walau tak seluruhnya ia tanggapi dengan berungkap lisan, walakin semuanya menjadi bahan untuk diolahnya agar kian berkembang. Dia tak mati dicaci seperti halnya dia tak melayang saat dipuji. Hanya saja ketika cacian dan pujian diberikan tidak tepat pada tempatnya, dia tak bisa menerima.
 

Sia-Sia Menyesuaikan Diri
[Sumber: talksport.com]
Ketaknyamanannya ini sempat membuatnya ingin berhenti dari dunia sepak bola. Walau demikian tak terbesit niat sedikitpun untuk memutus kontrak. Ibra sosok yang profesional. Ketaknyamanannya ini diluapkan ketika libur Natal. Saat dia tak lagi mendapatkan kebahagiaan di sepak bola, dia memilih mencarinya di luar dunia utamanya.

Menikmati liburan Natal ke pegunungan, membekukan luka menganga sekaligus menikmati waktu untuk hidupnya sendiri. Sebuah ‘pelarian’ yang membuatnya merasa sedikit lebih nyaman. Sedikit rasa nyaman yang kemudian membuatnya untuk menjadi Zlatan Ibrahimović, bukan lagi menjadi Ibra penyerang yang bermain di Barcelona.

Saat-saat seperti ini, Helena hadir menjadi kirana di tengah temaram. Orang terdekat dalam hidup Ibra tersebut semakin yakin bahwa kehadirannya dalam hidup Ibra sangat memiliki dampak sangat penting sesudah Mourinho repot-repot segera menjumpainya. “Kamu sudah menjadi seorang ayah yang lebih baik. Saat kamu merasa tak punya tim yang membuat kamu nyaman, kamu masih punya kami,” ungkap Helena berusaha menghibur suaminya.
 

Couple Power Zlatan Ibrahimović dan Helena Seger
[Sumber: bp.blogspot.com]
Di pekan-pekan terakhir di Barcelona, Ibra terus-terusan menghabiskan waktu bersama keluarga. Ibra lebih sering bersantai bercengkerama dengan istri dan anak-anaknya di kebun yang mereka punya. Masa-masa yang indah harusnya andai dia tak pernah menjumpai lagi Guardiola. Setiap Ibra berjumpa Guardiola, rasa marah dari bagian gelap dirinya menyetuk kepalanya. Guardiola lah satu-satunya masalah yang membikin Ibra tak betah.

Ketika Ibra sudah semakin menyadari bahwa nuansa lingkungan di FC Barcelona tak lagi bisa menerimanya, dia yakin untuk pergi. Pergi agar tak lagi bekerja sama bersama Guardiola. Pergi untuk bisa kembali menjadi dirinya sendiri di dalam dan luar lapangan pertandingan. Suara hati yang kemudian didengar oleh Adriano Galliani untuk mengajaknya kembali ke rumah lama dengan baju berbeda, kembali ke San Siro sebagai pemain AC Milan.
 

Dijemput Galliani Untuk Kembali ke Rumah Lama
[Sumber: ultimahora.es]
B.Km.Lg.291049.37.040816.14:40