Jembatan dan Sumbatan


Kilau Lampau Bangsa Asia (04)
 

Sketsa Warring States
Sumber: weaponsandwarfare
Sebenarnya di masa itu sudah ada kelompok yang bisa menjembatani jurang kesenjangan antara cendekiawan dengan insinyur dan pengamat. Kesenjangan ini memang menyebabkan ilmu di Tiongkok sulit berkembang. Selain itu, juga terdapat sumbatan berupa kebiasaan acuh terhadap keadaan alam sekitar.

Jembatan Keledai Hebat Cepat Sekarat

Dua kelompok tersebut disebut Mohis dan Taois. Sayangnya keduanya bernasib sama. Kelompok mereka segera dikucilkan dari pergaulan serta tradisi mereka tak terawat hingga kemudian punah. Hasil unjuk karya mereka yang bisa menjad ‘jembatan keledai’ pun gagal dilestarikan.

Kelompok Mohis adalah pengikut Mo Ti yang hidup selama periode Warning States (Negeri Berperang, 480-221 SM). Watak mereka sebagai ksatria dan diplomat dikenal luas. Motivasi mereka untuk menekuni filsafat ilmu ialah agar bisa memahami cara manusia dapat mendapatkan pengetahuan yang pasti tentang alam semesta.

Kelompok Mohis sudah mulai mengembangkan tradisi eksperimen. Misalnya ekperimen dengan katrol, serta cermin datar dan lengkung. Sayangnya tradisi eksperimen yang mulai mereka kembangkan tak mendapat apresiasi menawan. Tak begitu lama kemudian, tradisi yang menjadi cara pandang baru di masa Renaisans ini pun punah.

Kelompok Taois muncul pada masa Wangsa Han menguasai Tiongkok (202 SM-220 M). Kelompok ini sama-sama mulai mengembangkan tradisi eksperimen seperti halnya kelompok Mohis. Hanya saja kelompok ini cenderung ke ranah kimia alih-alih fisika.

Serupa dengan eksperimen kimia yang berkembang di India, mereka berupaya membuat emas dari air raksa dan belerang guna meracik jamu hidup kekal. Upaya ini didorong oleh filosofi mereka tentang Yin (mewakili asas puan, gelap, dan dingin) dan Yang (mewakili asas laki, terang, dan panas).

Terdapat lima unsur dasar yang mereka percaya: air, api, kayu, logam, dan tanah. Kelima unsur ini sepertinya dikembangkan terpisah dari orang Yunani yang percaya pada empat unsur dasar: air, api, udara, dan tanah.

Di satu sisi kepercayaan ini mendukung pengembangan ilmu alam karena menampakkan keyakinan bahwa alam semesta memiliki keteraturan. Tapi di sisi lain, ketika keyakinan ini dipegang sangat kuat, berdampak mematikan ilmu lantaran belakangan diketahui ada yang lebih mendasar lagi.

Kelompok Taois memiliki sikap skeptis terhadap anggapan manusia tentang proses-proses alamiah. Dari sini mereka banyak menekuni hal-hal bersifat praktis. Sayangnya mereka memiliki rekam jejak permusuhan dengan Konfusianis yang menjadi karibnya penguasa negeri. Selain itu, mereka juga terkucilkan dari pergaulan sosial masyarakat. Lamat-lamat malar tradisi Taois merosot hingga pudar.

Barangkali jika kelompok Mohis (dengan keunggulan logikanya) dan Taois (dengan keunggulan eksperimennya) bisa terus bersama dalam jangka waktu lebih lama, kita bisa menyaksikan gelora Revolusi Ilmiah terjadi di Tiongkok saat Yunani sedang sibuk dengan Konsili Nicea yang penuh cekcok.

Sumbatan Kebiasaan

Bisa jadi mungkret-nya perkembangan ilmu di Tiongkok banyak disebabkan oleh cara berpikir mereka yang lebih menghargai sifat (kualitas) daripada besaran (kuantitas). Tampaknya mereka bukan penganut keyakinan terhadap Khalik Esa sehingga tak percaya bahwa hanya ada satu hukum alam yang mengatur segalanya.

Masyarakat Tiongkok tampaknya tidak ingin tahu tentang permasalahan alam sekitar. Contoh paling bagus adalah permasalahan mekanika gerak, yang menjadi landasan setiap cabang ilmu alam. Mereka kurang perhatian terhadap permasalahan ini meski mereka tentu pernah melihat benda jatuh. Terbalik sekali dengan Yunani dan kemudian Eropa Utara yang menjadikan masalah mekanika gerak ini sebagai salah satu obsesi keilmuan.

Hanya saja kekuatan Tiongkok kuno pada matematika tak jauh beda dengan Eropa pada abad ke-16. Kekuatan matematika Tiongkok kuno terletak pada aljabar. Mereka sudah memakai bilangan negatif jauh sebelum kebudayaan lain. Hanya saja bilangan nol bukan mereka yang menemukan. Kalaupun bilangan nol dipakai, kuat duga diambil dari India.

Kekuatan aljabar tak dilengkapi dengan logika. Tiongkok kuno cenderung lemah dalam logika. Mereka tak memiliki satu set kaidah logika seperti dipunya Yunani. Hal ini membikin mereka kurang kukuh dalam berpikir sistematis dan analitis.

Mungkin mereka tak suka dengan upaya memecah-belah dunia walau dalam pikiran saja. Mereka jua tampak tak menerima jika manusia tersusun atas beragam unsur tanpa jiwa.

Bersambung ….

B. Sb.Lg.200949.37.250616.11:39