Gelora Bangsa Naga

Kilau Lampau Bangsa Asia (03)
 
Sebagian Warisan Peradaban Tiongkok
Sumber: rnnd.com.do
Tiongkok lebih dulu mengawali perkembangan terknologi ketimbang Eropa atau daerah lainnya. Mereka sudah bisa membikin kertas (abad ke-2), tembikar yang bagus dan mesiu (abad ke-7), percetakan (dikembangkan sejak abad ke-9 hingga ke-15), menerapkan mesiu ke dalam senapan (abad ke-13), serta meriam besi (abad ke-14).

Sayangnya, masyarakat Tiongkok kala itu tak pernah memberi apresiasi tinggi terhadap hasil karya indra. Hal ini menyumbat pertemuan gagasan antara cendekiawan dan insinyur. Bisa jadi hal ini terkait lemahnya semangat perdagangan dan berkarya komersial, terbalik dengan Eropa pada masa Renaisans, dengan tradisi berkarya komersial.

Tak ada juga dorongan untuk menemukan ‘cara paling bagus’ untuk setiap permasalahan. Teknologi yang maju tak bisa berpadu dengan ilmu untuk sama-sama berkembang lebih maju. Kondisi sosial masyarakat setempat kurang mendukung perpaduan itu. Walapun tak begitu kuat, ilmu tetap muncul di Tiongkok, dan bukan hanya bersifat spekulatif semata.

Penguasa memiliki peran penting di sini. Ia berkuasa untuk menentukan sistem penanggalan. Sistem penanggalan tersebut dipakai untuk menunjukkan hari-hari berlangsung upacara resmi. Hari-hari yang dipilih adalah hari yang diyakini bertuah. Di berbagai tempat masa lampau, astronomi memang berkelindan dengan astrologi. Dua hal ini baru bisa dipisahkan di Eropa pada abad ke-17.

Catatan pengamatan terhadap langit sudah mulai dibuat dengan rapi dan rinci. Fenomena gerhana mulai dicatat pada 1500 SM serta kehadiran komet pada 700 SM.

Pada 350 SM, Syi Syen, melakukan pemetaan langit. Pemetaan langit ini mencakup sebanyak 800-an bintang. Jika Eropa baru pada abad 17 M menggunakan sistem penentuan kedudukan benda langit dalam satu kerangka acuan berdasarkan Bintang Kutub Utara, Tiongkok sudah bisa menggunakannya di masa ini.

Tak hanya sampai di situ saja. Hu Shi, pada 336 SM, berhasil menemukan fenomena ‘presesi ekuinox’ yang sampai sekarang masih menjadi pembahasan rumit. Perubahan poros rotasi Bumi terhadap garis edar Matahari (mirip seperti perubahan sumbu putar pada gasing). Bumi memerlukan 26.000 tahun untuk menggenapi satu putaran. Hasil pengamatan langit oleh ahli astronomi negeri Tirai Bambu ini dicatat dalam bentuk aljabar, berbeda dengan Yunani yang lebih gemar dengan bentuk geometri.

Sayangnya, pengamat di Tiongkok kurang mendapat apresiasi dan cenderung dipandang sebelah mata oleh para pemikir. Konsep alam semesta di Tiongkok tak dirumuskan oleh para ahli astronomi yang gemar mengamati walakin oleh para filsuf yang kerap berspekulasi. Inilah yang membikin mereka tak sampai mengembangkan semacam gambaran tentang struktur alam semesta berdasarkan pengamatan.

Kebiasaan di Tiongkok ini jelas terbalik dengan kebiasaan di Yunani. Ptolomeus dan rekan-rekannya, misalnya, dalam menyusun model alam semesta berbentuk bola, menggunakan data yang mereka miliki sebagai dasarnya. Orang Tiongkok tampaknya kurang gemar berpikir secara geometris.

Tiga bentuk alam semesta dikenal pada masa dinasti Han berkuasa (202 SM-220 M). Pertama, alam semesta Ka Thien yang menggambarkan langit sebagai setengah bola yang terangkat 80.000 li (40.000 km) dari Bumi dengan bentuk mangkuk terbalik. Kedua, alam semesta Hun Thien yang menggambarkan seluruh alam semesta seperti bola yang lebih besar lagi dengan garis tengah 2 juta li (1 juta km). Ketiga, alam semesta Hsuan Yeh yang menyatakan bahwa alam semesta tak terhingga besarnya, tak berbentuk, dan seluruhnya kosong. Pandangan ketiga sudah mendekati pengertian terkini alam semesta, hanya saja disusun bukan berdasarkan data. Menarik ataukah ironis?

Bersambung ….

B. Sb.Lg.200949.37.250616.11:38