Srikandi Tersisih

Rustriningsih, equally personality and ability
Rustriningsih ketika  masih menjadi bupati Kebumen periode pertama
Sumber: Rustri
Sosok perempuan lebih sering menarik perhatian bagi saya. Misalnya saja Sri Mulyani Indrawati yang sampai saat ini saya anggap sebagai menteri yang hebat.

Angela Merkel, kanselir Jerman. Perempuan yang sukses menjadi ilmuwan lalu menjadi kanselir Jerman ini dikenal tegas dan penggemar sepak bola. Nama-nama tokoh perempuan lain seperti Yulia Tymoshenko, Cristina Fernandez, dan Yingluck Shinawatra, juga menarik.

Nama lain yang cukup menarik bagi saya adalah Rustriningsih. Karir politik perempuan asal Kebumen ini seolah telah berakhir ketika masa tugasnya sebagai wakil gubernur Jawa Tengah periode 2008-2013 usai.

Saya mulai mengetahui nama Rustriningsih ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur Jawa Tengah 2008-2013. Saat itu dirinya berpasangan dengan Bibit Waluyo. Saya tertarik kepada pasangan nomor urut 4 ini lantaran menurut koran Suara Merdeka dan Jawa Pos, yang saya baca waktu itu, mereka menjadi lawan serius bagi Bambang Sadono dan Muhammad Adnan yang notabene memiliki pendukung kuat di daerah saya.

Tentu koran adalah referensi yang banyak menyinggung Pilkada Jawa Tengah lantaran propinsi saya bukan Jakarta. Pilkada Jakarta selalu menjadi pilkada nasional, yakni pilkada yang menyedot perhatian banyak media level nasional.

Pilkada Jawa Tengah adalah pilkada lokal yang kurang menyedot perhatian besar dari media nasional, bahkan masih kalah dengan perhatian media nasional terhadap Pilkada Jawa Timur dan Jawa Barat, propinsi tetangga Jawa Tengah.

Jauh sebelum nama Airin Rachmi Diany muncul sebagai walikota, sudah ada kepala daerah tingkat II dari kalangan perempuan. Dirinya termasuk perempuan pertama dan termuda yang menjadi kepala daerah saat itu.

Tidak hanya di situ, dirinya sudah menjadi kader partai politik, yakni PDIP, sejak usia 18 tahun. Bahkan ketika menjadi bupati periode pertama, statusnya masih belum menikah. Ia adalah Rustriningsih. Perempuan kelahiran 1967 ini menjadi bupati Kabumen sejak tahun 2000.

Menjadi bupati, kemudian terpilih kembali dengan suara mayoritas, lalu mencalonkan diri sebagai wakil gubernur dan memenangkan pilkada, bukanlah prestasi biasa bagi perempuan yang hidup di Jawa Tengah. Meski memiliki sejarah kepemimpinan perempuan sejak zaman Ratu Shima, kepala daerah di Jawa Tengah seolah masih menjadi hak paten kaum laki-laki. Dalam pilkada tahun 2008 bahkan Megawati mengatakan, “Rustri adalah Srikandi saya.”

Saya selalu berharap kaum perempuan berani masuk ke dunia politik dan berprestasi. Hal ini agar dunia politik tidak hanya menjadi hak paten laki-laki, selain sebagai bahan provokasi agar politisi laki-laki tidak kalah.

Hal yang sama ketika saya berharap muncul politisi dari kalangan non-Islam yang berprestasi agar politisi muslim bisa terprovokasi. Tentu saya juga merasa sakit hati jika ada politisi perempuan bermasalah, seperti menimpa Ratu Atut Chosiyah.

Rustri lahir dari keluarga aktivis partai politik. Ayahnya adalah fungsionaris Partai Nasional Indonesia (PNI). Rumahnya sendiri sudah biasa menjadi markas kegiatan partai. Tak heran jika dirinya bisa akrab sejak dini dengan dunia politik.

Rustri memulai karir politiknya sejak usia 18 tahun, usia yang sangat muda dan bisa dibilang sebagai start dini. Usai menjalankan tugas sebagai wakil gubernur Jawa Tengah, Rustri menyatakan ingin berhenti dari aktivitas politik.

Banyak pihak yang ragu Rustri akan betah jauh-jauh dari dunia politik. Tetapi Rustri tentu memiliki alasan lain yang membuatnya memilih bersikap demikian. Salah satunya terkait kegagalannya maju sebagai kandidat gubernur dari PDIP, partai yang turut dibesarkannya.

Rustri bahkan disebut sebagai ikon PDIP Jawa Tengah, istilahnya Rustri adalah PDIP Jawa Tengah dan PDIP Jawa Tengah adalah Rustri. Pensiun dari dunia politik ditegaskannya dengan tidak maju sebagai calon DPR RI atau DPD, setelah gagal maju sebagai calon gubernur meski dia berpeluang mampu menang.

Rustri dikenal sebagai bupati perempuan pertama yang dikenal dengan program radio Selamat Pagi Bupati melalui siaran radio dan televisi lokal. Mungkin dirinya bisa menjadi penyiar radio jika memang benar-benar meninggalkan dunia politik.

Bisa dibilang Rustri adalah pelopor interaksi antara bupati dan warga melalui media. Hal ini seperti dilakukan oleh pemimpin di beberapa negara maju, misalnya Australia, yang memiliki program radio yang intens, dan Rustri melakukan hal itu di Kebumen. Kebumen adalah kabupaten yang oleh sebagian warga Pantura Timur dianggap kabupaten tertinggal meski anggapan ini harus dikoreksi.

Prestasi lain yang diukirnya ketika menjadi bupati Kebumen adalah sukses membawa PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kebumen dari 6 miliar rupiah menjadi 23 miliar rupiah dalam waktu 3 tahun.

Ketika Rustri ingin meningkatkan anggaran pendidikan di Kebumen tetapi dananya tidak cukup, dia bahkan rela mengadaikan SK Bupatinya untuk membiayai pendidikan di Kebumen. Harganya saat itu laku 100 juta rupiah.

CNN, News Week, New York Times, dan Street Times bahkan menilai Rustri sebagai sosok pejabat yang bersih dan merakyat di tengah citra pejabat Indonesia yang saat itu benar-benar korup.

Tanda-tanda pensiun dini dari dunia politik sudah muncul sejak 2010. Rustri, yang sejak masa orde baru sudah bahu membahu dengan Megawati, mulai sulit berkomunikasi langsung dengan Megawati, Ketua Umum PDIP.

Banyak sekali desas-desus dan isu yang beredar dan sampai ke Megawati selaku ketua umum partai yang sangat berlawanan dengan kondisi sebenarnya. Tetapi hal ini tidak pernah diminta klarifikasi langsung sehingga Rustri kesulitan untuk menjelaskan satu persatu. Hal ini tentu memengaruhi penilaian pemimpin partai terhadap kader partai. Padahal kondisi di daerah dibutuhkan kesungguhan bekerja untuk merawat massa partai.

Rustri sendiri saat itu tidak memiliki posisi struktural dalam partai. Posisinya sebagai ketua DPC PDIP Kebumen harus ia lepas ketika menjadi wakil gubernur. Ketua DPD untuk wilayah Jawa Tengah juga tidak bisa digenggamnya.

Hal yang sungguh ironis lantaran Rustri sudah berjuang bersama partai tersebut sejak tahun 1986, sejak masih bernama PDI sampai kemudian pecah menjadi PDI Pro Megawati alias PDI Perjuangan.

Rusaknya komunikasi Rustri dengan ketua umum sangat mungkin terjadi lantaran dirinya adalah orang daerah. Komunikasi tidak bisa berlangsung intensif dibanding mereka yang berada di pusat.

Meski demikian, Rustri masih yakin di pilkada 2013 dirinya bisa maju sebagai kandidat gubernur dari PDIP. Hal ini diperkuat dengan survei saat itu yang mengunggulkan Rustri. Tetapi rekomendasi adalah hak pemimpin partai yang saat itu tidak berpihak terhadap dirinya. Megawati bahkan sempat menyatakan bahwa survei saja tidak cukup.

Memang benar tetapi survei adalah salah satu referensi yang cukup kuat. Penyebab Rustri tidak mendapat rekomendasi juga disebabkan dirinya tidak mendapat dukungan dari struktur partai sampai ke anak ranting.

Tentu ada keterbatasan bagi ketua umum partai untuk mendengar langsung suara struktural sampai anak ranting. Sehingga ketua umum partai tentu mengandalkan informasi yang dipasok kepadanya. Sayangnya informasi yang sampai ke ketua umum partai tersebut perlu dipertanyakan ketepatannya, selain merugikan Rustri tentunya.

Spekulasi yang beredar perihal penyebab Rustri gagal mendapat dukungan adalah karena Rustri terlalu “akrab” dengan Nasdem –ketika belum menjadi partai politik, yang tidak membuat “happy” jajaran DPP PDIP.

Rustri yang posisinya di tubuh partai sudah menjadi kader biasa masih memiliki semangat juang untuk partai menyadari angka perolehan suara PDIP di Jawa Tengah sejak 1999 sampai 2009 terus menurun. Pada tahun 1999 PDIP memiliki 38 kursi, lalu 2004 memiliki 31 kursi, dan 2009 tinggal 23 kursi. Penurunan suara PDIP dari 2004 ke 2009 bahkan mencapai sekitar 1,8 juta suara.

Rustri membicarakan hal ini kepada ketua DPD PDIP Jawa Tengah. Ia memikirkan PDIP ke depannya agar tidak lagi kehilangan suara, syukur-syukur bisa bertambah. Sayang jajaran DPD tidak memiliki ancang-ancang strategi yang cukup serius atau dengan redaksi lain suara Rustri kurang ditanggapi. Rustri tentu kecewa dengan hal ini.

Rustri kemudian berinisiatif menggarap secara intensif kalangan akademisi, profesi, pribadi-pribadi PNS, yang tentu bisa digarap dengan satu kegiatan yang jauh dari dukung mendukung partai politik tetapi real dari kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Kebetulan saat itu Ormas Nasdem sedang gencar-gencarnya menancapkan sayapnya ke daerah.

Rustri tentu sakit hati jika dia dijegal hanya gara-gara dekat dengan Nasdem. Pasalnya deklarasi Nasdem di Jakarta sendiri dihadiri oleh elite PDIP. Bahkan ada yang menjadi dewan pembina Nadem dan deklarator justru tidak dipermasalahkan.

Lebih ekstrim lagi, ada yang berasal dari partai lain justru bisa menjadi petinggi PDIP. Dari sini tampak perlakuan PDIP terhadap Rustri sangat diskriminatif.

Ada juga spekulasi lain. Rustri dianggap memiliki dosa terhadap PDIP ketika memaksa adiknya untuk maju sebagai bupati Kebumen. Rustri memiliki alasan yang memperkuat sikapnya ini.

Tahun 2010, ketika Kebumen malakukan pilkada, Rustri ingin ada suksesi kepemimpinan. Sebagai kader PDIP, dirinya tentu ingin menjaga suara PDIP di Kebumen. Apalagi wakil bupati yang menggantikan posisinya sebagai bupati Kebumen ketika dirinya berganti tugas menjadi wakil gubernur akhirnya menjadi ketua partai lain.

Sebagian pihak tentu menganggap sikap ini sebagai nepotisme. Tetapi perlu diketahui bahwa adik Rustri juga memiliki peran dalam perjuangan bersama partai sejak era orde baru. Jika mengacu pada senioritas di partai, adik Rustri adalah orang kedua setelah Rustri. Jadi bukan hanya sekedar adik Rustri saja.

Sayang akhirnya keinginan Rustri gagal. Proses penjaringan calon bupati yang bersamaan dengan pemilihan ketua DPD membuat posisi Rustri serba sulit. Rustri seperti seorang diri yang sedang dikeroyok lawan-lawan yang ironisnya dari internal partai sendiri. Jika dulu ketika dirinya “dijahili” atasan masih bisa di back up oleh Megawati, kali ini ia harus berjuang seorang diri.

Rustri kebetulan tidak hadir dalam apel siaga dan deklarasi pemenangan Ganjar Pranowo, calon gubernur dari PDIP Dalam pilkada Jawa Tengah tahun 2013.

Saat itu Rustri memiliki agenda untuk blusukan kepada korban banjir di Jepara dalam kapasitasnya sebagai wakil gubernur. Padahal tugas sebagai wakil gubernur juga termasuk tugas dari partai lantaran dirinya maju dari PDIP dan berhasil mememangkan pilkada 2008.

Keputusan Rustri lebih memilih menjalankan tugas wakil gubernur memang tepat. Jika dia memilih datang ke apel tersebut yang kecewa adalah pihak partai, sementara jika dia meninggalkan tugas wakil gubernur yang kecewa adalah rakyat yang bukan hanya dari PDIP saja.

Rustri yang tidak mendapat dukungan dari PDIP meski ia memiliki kans besar untuk memenagkan pilkada jika dirinya maju, bisa saja maju secara independen atau melalui partai lain.

Hanya saja, Rustri yang lama menjadi aktivis partai, tidak ingin melakukan hal ini. Ia berusaha mengajak masyarakat untuk percaya terhadap partai politik. Jadi aneh jika Rustri lebih memilih maju sebagai independen setelah bertahun-tahun menjadi aktivis partai.

Jika melalui partai lain tentu kurang beretika. Apalagi disaat pendaftaran calon gubernur statusnya masih sebagai wakil gubernur dari PDIP.

Di sisi lain tawaran dari partai lain agar dirinya mau meninggalkan PDIP sangat banyak. Rustri berkomitmen untuk tetap menjaga loyalitas terhadap PDIP meski harus ditebus dengan kepahitan.

Hal ini membuat pendukung Rustri kecewa sehingga sempat mengatakan bahwa Rustri mengabaikan kebutuhan masyarakat Jawa Tengah dan lebih memilih loyal terhadap PDIP. Mungkin saja Rustri memiliki ikatan batin dengan PDIP lantaran dirinya sudah menjadi kader partai sejak 1986. Pasang surut dinamika partai turut dirasakan Rustri.

Posisi Rustri yang sulit bukan karena dirinya tidak memiliki massa pendukung melainkan jauh dari elite partai. Loyalitas Rustri diuji ketika Pilkada Jawa Tengah tahun 2013. Di saat dirinya gagal maju dari PDIP dan meutuskan untuk maju, Rustri harus mengambil sikap sebagai kader partai yang saat itu mendukung Ganjar Pranowo sebagai calon gubernur.

Ketika pertanyaan semacam ini dilontarkan terhadapnya, Rustri terlihat menghindar dengan menyebutkan bahwa dirinya ingin sekali PDIP menjadi partai modern yang tidak hanya menggemakan hak pemimpin partai tetapi hak kader partai juga harus digemakan. Juga tidak hanya membicarakan kewajiban kader tetapi juga kewajiban pemimpin partai.

Rustri menganggap jika empat hal ini benar-benar ditegakkan, tentunya tidak akan terjadi konflik internal PDIP yang jarang tercium oleh media (atau mungkin media dilarang memublikasikan?).

Statusnya sebagai perempuan yang terbilang bersinar di internal PDIP juga membuat dirinya berada pada posisi sulit. Rustri dianggap menjadi sandungan bagi Puan Maharani, putri Megawati.

Hal ini bisa dipahami lantaran pesona Rustri bisa saja menutupi Puan. Terlebih dengan statusnya sebagai putri Megawati, Puan memiliki kans besar menduduki posisi ketua umum lantaran dirinya merupakan trah Sukarno, yang tentunya siapa yang berani mengganggu Puan harus rela disisihkan.

Selama menduduki jabatan publik, Rustri banyak menorehkan prestasi. Beberapa prestasi yang diakui dalam bentuk apresiasi resmi antara lain:

Outstanding Woman in Local Goverment Certificate of Recognition, United Nations Economics and Commision for Asia and teh Pasific (ESCAP) tahun 2001.

Bahkan lembaga sekelas PBB mengakui keberhasilan Rustri dalam memimpin sebuah daerah. Govermente Award, Majalah Warta Ekonomi (2004).

Suara Merdeka Otonomi Award, Peringkat I Bidang Politik, Kelembagaan, dan Hukum (2005).

Finalis Stockholm Challenge’s Award (Pemanfaatan IT Untuk Pendidikan di Masyarakat) – Swedia (2006).

Tasrif Award, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) (2007). Karena prestasi seorang Rustriningsih sebagai seorang pejabat yang berhasil memisahkan urusan partai dengan urusan pemerintahan.

Nominasi Tokoh Good Governance Local Govermance Support Program (LGSP) USAID (2007). 99 Most Powerful Woman 2009 dan 2010 Globe Asia.

Rustri juga dinilai sebagai pejabat yang sukses mengurangi praktik suap dan budaya sogok secara drastis di wilayah kerjanya.

Rakyat Indonesia tentu menantikan kiprah pemimpin nasional yang sudah membuktikan kapasitasnya melalui daerah-daerah yang dipimpinnya. Dan saya sangat berharap muncul ketokohan kaum perempuan.

Rustri yang sudah berkiprah di dunia politik sejak 1986, harus rela tersisih oleh konflik kepentingan. Bagaimana nasib perempuan lain? Daya tahan politik memang tak boleh berhenti bagi seluruh politisi.

Valentino Rossi selalu berusaha menjaga daya tahan performanya selama balapan dengan tidak memaksa terus menggeber gas motornya selama balapan, ada saat-saat Rossi memilih menahan diri untuk melaju kencang sambil menunggu momen yang tepat untuk melakukan over take. Rustri mungkin akan bersikap demikian.

Rustri berpesan kepada seluruh perempuan yang terjun ke dunia politik, agar memiliki stamina yang bagus, kesabaran, keuletan, serta memiliki prinsip dan etika dalam berpolitik. Satu hal yang jangan dilupakan adalah, jadilah politisi yang mesra dengan media, karena Rustri kurang dikenal masyarakat luas bukan karena kiprah politiknya kurang tetapi kurang mampu menarik media nasional.

Sudah begini dulu

B. Sb.Lg.200949.37.250616.12:48