— Sri Mulyani Indrawati, Pahlawan Dinistakan
Sri Mulyani Indrawati, atau biasa
disapa Anik, lahir di Tanjung Karang, 26 Agustus 1962. Lahir dari keluarga cendekiawan yang sangat mengutamakan pendidikan.
Ayahnya, Prof. Satmoko dan Ibunya Prof. Sriningsih Satmoko adalah guru besar
Universitas Negeri Semarang (UNNES).
“Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya”, Anik dan saudara-saudaranya juga tumbuh menjadi orang-orang
yang berprestasi dan berpendidikan tinggi. Mayoritas kakak dan adik Anik
menyandang gelar master dan doktor, hanya satu orang yang bertitel sarjana,
sementara satunya bergelar profesor. Hebatnya, di bangku sekolah dan kuliah
prestasi Anik bersaudara selalu menonjol, sehingga biaya sekolah gratis di
dalam dan luar negeri.
Karakter Anik bersaudara memang
sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang diberikan oleh kedua orang tuanya.
Mereka dibiasakan hidup dengan apa yang dimiliki, tidak berangan-angan yang
macam-macam, jujur, tidak mengambil milik orang lain, dan tidak materialistis.
Membaca dijadikan hobi keluarga. Kompas
dan Suara Merdeka adalah bacaan wajib mereka. Majalah Kuncung,
Bobo, dan Gadis adalah bacaan masa kanak-kanak. Hal ini terbawa
saat beliau menjadi menteri. Sering istri-istri pejabat yang dilantiknya
berbusana mewah, jauh melebihi busana ibu menteri sendiri.
Anik adalah wanita sekaligus orang
Indonesia pertama yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia (World
Bank). Sebelumnya dia menjabat sebagai Menteri Keuangan Kabinet Indonesia
Bersatu. Sebelum menjabat sebagai Menteri Keuangan Anik menjabat sebagai
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bapenas. Sejak 2008 Anik
menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian setelah
Boediono dilantik sebagai Gubernur BI (Bank Indonesia).
Perjalanan hidup Anik adalah
perjalanan penuh prestasi. Selain menjabat berbagai posisi penting bidang
ekonomi baik nasional maupun internasional, hampir di setiap jabatan yang
diembannya Anik selalu menorehkan prestasi yang fenomenal. Beberapa contoh yang
bisa kita lihat antara lain:
(1)
Memimpin reformasi di Departemen
Keuangan yang menghasilkan peningkatan penerimaan pajak sebagai berikut:
— 2004 = Rp 238,4 T
— 2005 = Rp 370,9 T
— 2006 = Rp 461,5 T
— 2007 = Rp 506,0 T
— 2008 = Rp 670,4 T
Hampir empat kali lipat dalam jangka waktu 4 tahun!
(2)
Menteri Keuangan terbaik
Asia tahun 2006, 2007, 2008 versi Emerging Market.
(3)
Menteri Keuangan Terbaik
Dunia 2006 versi Euromoney.
(4)
Bekerjasama dengan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam menertibkan ribuan rekening liar
departemen, yang sejak orde baru dicurigai sebagai alat korupsi.
(5)
Menerima Hatta Anti
Corruption Award, karena dianggap sebagai pribadi yang bersih, melakukan
perbuatan nyata memberantasan korupsi.
(6)
Sejak menjabat Menteri
Keuangan hingga pindah tugas di Bank Dunia Anik sudah tiga kali terpilih wanita
paling berpengaruh di dunia.
Jika prestasi Anik harus dibeberkan
satu persatu maka catatan ini hanya akan penuh dengan catatan gemilang prestasi
seorang Anik. Namun prestasi yang paling harus diakui rakyat Indonesia dari
seorang Anik adalah jasanya menghindarkan bangsa ini dari pengaruh krisis
moneter (krismon) dunia.
Tidak cukup sampai di situ. Anik juga mampu mempertahankan
pertumbuhan ekonomi Indonesia di 3 besar tertinggi dunia saat krisis. Mungkin
sebagian pihak khususnya para politisi berusaha mengecilkan arti dari
“menghindarkan bangsa dari ancaman krisis ekonomi”. Namun marilah kita coba
sejenak kembali ke masa lalu yang masih segar dalam ingatan kita, krismon 98.
Kita masih ingat apa dampak dari krisis ekonomi yang
melanda Indonesia yang awalnya juga berasal dari krisis dari luar negeri itu.
Masihkah kita ingat orangtua, kerabat, bahkan sebagian dari kita sendiri yang
terpaksa harus kehilangan pekerjaan tanpa melakukan kesalahan apapun?
Masihkah ingat bagaimana kita mendadak tidak tahu lagi
bagaimana kita harus menghidupi keluarga kita? Berapa banyak rakyat yang bunuh
diri dan masuk ke RSJ (Rumah Sakit Jiwa) karena secara tiba-tiba kehilangan
masa depan mereka? Berapa banyak orang-orang gigih dan ulet yang harus
kehilangan kerja keras seumur hidupnya dalam waktu sesaat tanpa mereka
melakukan kesalahan apapun?
Belum lagi dampak sosial dan politik yang timbul
sebagai dampak dari krisis ekonomi di Indonesia tahun 98 itu. Berapa banyak
wanita keturunan yang diperkosa? Berapa banyak yang terbunuh secara biadab
dalam kerusuhan Mei 98? Berapa banyak saudara- saudara kita yang terbakar,
mati, atau hilang tak ada rimbanya hingga detik ini?
Itulah prestasi terbesar dari seorang Anik. Beliaulah
yang berhasil menghindarkan bangsa ini dari krisis dengan segala dampaknya yang
mengerikan itu. Bayangkan jika saja tahun ‘97 kita memiliki Anik yang tampil kokoh sebagai
pengawal otoritas ekonomi kita saat itu. Sejarah akan berbeda. Dari prestasi
itu saja sangat layak kita mengangkat beliau sebagai pahlawan. Bayangkan berapa
banyak rakyat terlesamatkan olehnya!
Layak jika James Castle, memuji Anik setinggi langit, “She
could be the finance minister anywhere in the world. She’s that good!”
Namun sejarah mencatat keberhasilannya untuk bangsa dan negara itu ternyata
harus memakan tumbal dirinya sendiri. Bangsa yang tidak tahu diuntung ini
bukannya berterimakasih namun justru menjadikannya pesakitan yang dinistakan.
Saya sampaikan disini, “Bangsa ini gemar menghukum para pahlawannya sendiri.”
Kisah perjuangan Anik mengatasi krisis ekonomi yang
mengancam bangsa ini mengingatkan pada film berjudul “300”. Film tentang “Battle
of Thermophylea” itu bercerita tentang Raja Leonidas yang berjuang hanya
dengan 300 pasukannya melawan musuh yang menyerang negerinya. Bukannya didukung
oleh para senator yang duduk nyaman di gedung parlemen, mereka justru
bersekongkol untuk menjatuhkan rajanya itu. Raja Leonidas akhirnya gugur dalam
pertempuran itu. Namun berkat perjuangannya bangsa Spartan tidak jadi terjajah.
Setali tiga uang dengan cerita diatas. Politisi di DPR bukannya memberi penghargaan pada Anik
atas keberhasilan usahanya. Namun justru menafikan kerja keras dan
pengorbananya sambil berkoar-koar seolah-olah ancaman krisis 2008 tidak bisa
dibandingkan dengan 1997. Mudah memang berbicara lantang di depan mimbar memfitnah para pejuang saat mereka
sendiri tidak pernah berjuang. “Pengamat memang tidak pernah salah namun
pelakulah yang mengubah dunia.”
Kelakuan politisi kita tidak lagi mencerminkan para
pemimpin bangsa. Mereka tidak berjuang untuk kepentingan bangsanya. Tetapi demi
kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing. Hal terakhir yang mungkin masih
mereka ingat adalah kepentingan bangsa dan rakyatnya. Atas nama bangsa dan
rakyat mereka gunakan kekuasaannya demi agenda masing-masing. Bahkan rela
menghukum para pejuang bangsanya.
Tidak banyak yang tahu bahwa pada masa-masa genting
saat berjuang melawan krisis, Anik ikhlas tidak mendampingi ibundanya yang
sedang menjemput sakaratul maut. Bandingkanlah dengan kelakuan para wakil
rakyat yang gemar membolos sidang itu!
Sebagai sosok pemimpin, Anik dianggap sebagai sosok
yang mencerminkan "profesionalism and dignity".
Anik juga dikenal sangat lugas dalam menjalankan tugas. Dia tidak akan
ragu-ragu mengatakan tidak terhadap sesuatu yang dianggapnya menyalahi amanat.
Sikap profesional, amanah, dan lugasnya inilah yang kelak justru menyebabkan
sandungan pada karirnya sebagai menteri keuangan. Banyak tokoh yang
terang-terangan mengagumi sosok seorang Anik. Tokoh Partai Golkar, Akbar
Tanjung pernah mengatakan, sebagai mantan menteri Anik punya peluang untuk
menduduki jabatan yang lebih tinggi.
Pengamat politik dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia), Ikrar Nusa Bhakti mengatakan, Anik punya kapasitas dan kapabilitas
menjadi presiden RI. Bahkan Mahfud MD pernah mengatakan bahwa Anik layak untuk
memimpin negeri ini karena cerdas. Selanjutnya Mahfud MD malah bertestimoni
bahwa Anik tidak mau makan uang haram, yang halal saja kalau tidak berkeringat
dia tidak mau. Misalnya saat Anik jadi panitia kegiatan, sudah ada SK-nya. Tapi
kalau tidak ikut bekerja dia tidak mau terima honor. “Jarang lho, ada pejabat
yang seperti itu!” Tutur Mahfud MD.
Awal masalah pada perjalanan karir Anik sebagai
menteri adalah saat dia tidak bisa mengkompromikan prinsip-prinsipnya dalam
bekerja demi kepentingan bangsa. Khususnya saat berhadapan dengan kepentingan
bisnis keluarga Bakrie yang kerap berusaha mengintervensi pemerintah.
Banyak yang tidak tahu bahwa sesungguhanyaa konflik
antara Anik dan Ical dimulai sejak Mei 2006 akibat kasus lumpur Lapindo. Saat
itu Ical masih menjabat sebagai Menko Kesra (Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat). Terjadi perdebatan siapa yang harus bertanggung jawab
atas biaya penanggulangan Lapindo. PT. Lapindo (keluarga Bakrie), negara, atau
kedua belah pihak? Saat itu Anik paling tegas menentang keinginan Ical.
Ahli pengeboran dan geologi menyatakan bahwa luapan
lumpur Lapindo disebabkan tindakan eksplorasi yang dilakukan PT. Lapindo
Brantas. Hasil audit investigasi BPK mengindikasikan terjadi pelanggaran
prosedur dan peraturan.
Pelanggaran itu dimulai dari proses tender, peralatan
teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur di Sidorjo. Fakta lain
datang dari Arifin Panigoro sebagai owner perusahaan operator pengeboran
sumur PT. Lapindo. Arifin mengaku bahwa PT. Lapindo telah melakukan pelanggaran
SOP (standard operating procedure) serta tidak melaksanakan tindakan
pencegahan.
Penyebab utama terjadi semburan lumpur di Sidoarjo
adalah aktivitas pengeboran. Maka pihak yang bertanggung jawab adalah PT.
Lapindo Brantas sebagaimana yang diatur dalam UU No. 23 tahun 1997 dan PP No 27
tahun 1999.
Dalam kasus Lapindo ini Anik ingin perusahaan
Bakrie-lah yang menanggung seluruh biaya penanggulangan lumpur Lapindo, bukan
negara. Sementara Ical ingin negara-lah yang membayar kerugian akibat
pelanggaran SOP aktivitas pengeboran perusahaannya itu.
Ini sangat kontradiktif dengan pernyataan Ical yang
berulang-ulang disiarkan di TV One, bahwa sesungguhnya dia tidak punya
kewajiban untuk ganti rugi, tetapi karena pesan dari ibundanya maka dia
berusaha sekuat tenaga “berkorban” membayar ganti rugi korban Lapindo. Terbukti
belakangan pengaruh Ical di pemerintahan lebih kuat dibanding Anik.
Negara akhirnya membiayai kesalahan perusahaan swasta
tersebut. Dalam kurun 3 tahun Rp 795 M APBN dikucurkan untuk membantu kelalaian
pengeboran perusahaan Ical ini. Rinciannya: 2007 = Rp 114 M, 2008 = 513 M, 2009
= Rp 168 M (LKPP 2007, LKPP 2008, dan APBNP
2009).
Di mata Anik yang terbiasa patuh pada aturan main ini,
Ical adalah sosok pengusaha yang licik yang suka memanfaatkan kekuasaan demi
bisnis pribadi. Peristiwa selanjutnya yang semakin mempertajam perseteruan di antara keduanya adalah kasus penggelapan pajak yang
dilakukan perusahaan Bakrie.
Periode 2003-2008 terjadi tindak pidana penggelapan
pajak oleh PT. Bumi Resources sebesar US$ 620,5 juta. Luar biasa! Para petugas
pajak menengarai akuntan PT. Bumi Resources merekayasa pembayaran pajak, dan
itu sudah berlangsung selama 5 tahun.
Tidak hanya itu, anak perusahaan Bakrie lainnya
seperti PT. Kaltim Prima Coal dan PT. Arutmin Indonesia diduga melakukan hal
yang sama. Kerugian negara akibat ulah berbagai anak perusahaan Bakrie ini jauh
lebih besar dibanding kerugian yang disebabkan oleh Robert Tantular.
Anik tidak habis pikir bagaimana mungkin ada
perusahaan yang berani mengemplang pajak bahkan merekayasa pajak hingga
bertahun-tahun? Anik membuat keputusan pencekalan terhadap sejumlah petinggi
perusahaan tambang Bakrie. Ical kebakaran jenggot karena saham perusahaannya
anjlok.
Apa yang diungkapkan Anik itu kini terbukti bahwa ada
indikasi kuat atas keterlibatan perusahaan-perusahaan Bakrie terhadap upaya
penggelapan pajak. Rekaman video saat pertemuan dengan Denny Indrayana di
Singapura secara jelas Gayus Tambunan menyebutkan nama Bakrie.
Dalam pemeriksaan polisi, lagi-lagi Gayus menegaskan
adanya aliran dana dari perusahaan Group Bakrie. Di pengadilan, Gayus kembali
menyebut nama Group Bakrie dalam proses persidangan kasusnya. Pernyataan kuasa
hukum Gayus sendiri, Adnan Buyung Nasution, yang menginginkan dilakukan
pemeriksaan keterkaitan Gayus dengan Group Bakrie.
Setelah kasus Gayus in kracht pun sampai
saat ini tidak ada tindak lanjut pihak kepolisian terhadap “pihak pemberi”.
Atas segala bukti yang jelas-jelas kriminal tersebut, hingga kini tidak ada
tindakan hukum apapun terhadap Bakrie.
Beginilah jika sebuah kasus diserahkan penanganannya
pada kepolisian, penuh nuansa politis. Bayangkan jika kasus Gayus tersebut dulu
ditangani KPK. Tidak juga terdengar ada suara apapun dari gedung DPR untuk
mendesak adanya pengusutan terhadap kasus ini.
Bandingkanlah dengan reaksi mereka atas kasus Bank
Century. Bandingkan pula apa yang telah dilakukan Anik dengan apa yang telah
dilakukan Bakrie. Mengapa pula untuk kasus kejahatan sebesar ini tidak pernah
ada demo LSM? Patut diduga demo-demo menghujat Anik saat itu adalah demo
bayaran, dan itu terbukti benar sekarang.
Masyarakat tidak tahu apa sesungguhnya yang terjadi di
balik kasus Century itu. Tapi akibat opini publik yang sudah terlanjur
tercipta, mereka dengan sukarela dan penuh antusias mendukung upaya
kriminalisasi Anik.
Puncaknya adalah kasus yang terjadi pada bulan Oktober
hingga November 2008 saat Anik menolak permintaan Bakrie untuk melakukan
intervensi pada Bursa Saham. Saat itu, akibat laporan keuangan yang buruk,
pengaruh krisis dunia serta berbagai temuan pelanggaran dari PT. Bumi Resources
harga sahamnya di lantai bursa terjun bebas.
Saham BUMI yang pernah mencapai level tertinggi Rp
8.550 melorot hingga menjadi Rp 425. Kembali Ical menggunakan pengaruhanya. Dia
meminta pemerintah melakukan suspensi (penundaan sementara) terhadap
saham-saham Group Bakrie. Karena dianggap membahayakan kepercayaan pasar, Anik
sangat menentang permintaan Ical ini. Toh saat itu BEI (Bursa Efek Indonesia)
sempat melakukan suspensi terhadap saham BUMI.
Akibatnya, pada hari Rabu, 6 November 2008 Anik
menyerahkan surat pengunduran diri pada presiden. 2 jam kemudian SBY memaanggil
Anik dan meminta maaf sambil meminta beliau tidak mengundurkan diri dari
kabinet. Anik bersedia, tapi syaratnya suspensi terhadap saham BUMI harus
dicabut, SBY mengabulkan. Maka marah besarlah Ical.
Bayangkan saja, esoknya setelah suspensi perdagangan
saham BUMI dicabut, harganya melorot tajam. Akhirnya kena auto rejection
batas bawah. Sebagai gambaran, sebelumnya BUMI merupakan salah satu perusahaan
terbesar yang mendominasi perdagangan BEI. Namun akibat penolakan memperpanjang
suspensi oleh Anik harganya jatuh 95%.
Ini terjadi dalam waktu relatif singkat. Dalam sekejap
nilai keseluruhan perusahaan ini turun dari Rp 160 T menjadi kurang dari Rp 10
T. Artinya, para pemilik sahamnya menyaksikan dalam waktu singkat kekayaan
mereka lenyap sebanyak Rp 150 T! Pantas Ical begitu dendam pada Anik.
Kasus lain semakin menguatkan bukti bahwa penyingkiran
Anik adalah komplotan besar untuk memuluskan penguasaan Bakrie atas aset-aset
bangsa ini. Kasus tersebut adalah proses caplok mencaplok saham PT. Newmont
Nusa Tenggara (NNT). Di sini Bakrie memanfaatkan penguasa
daerah demi melancarkan ambisinya.
Ceritanya begini, menurut kontrak karya PT. NNT dengan
pemerintah, PT. NNT yang sahamnya dikuasai asing harus divestasi (dilepas) 31%
sahamnya pada 2006-2010. Namun PT. NNT ini lupa atau sengaja melupakan diri
sehingga mereka tidak lakukan divestasi saham selama 5 tahun tersebut.
Pemerintah Pusat pun menggugat PT. NNT dan menang di pengadilan arbitrase.
Dari proses ini, Pemerintah Pusat yang mewakili Negara
Indonesia seharusnya berhak membeli/menguasai 31% saham PT. NNT tersebut. Pasal
33 UUD 1945 menyebutkan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara.
Anik mencoba perjuangkan amanat itu, yang terjadi
kemudian adalah terjadinya politisasi di DPR dengan membawa-bawa sentimen
daerah sehingga Pemda dan DPRD ngotot ingin menguasai juga. Mengapa tidak sejak
awal bukan Pemda yang mengajukan gugatan pada PT. NNT?
Mengapa baru ribut-ribut setelah gugatan pemerintah
pusat dimenangkan? Yang sesungguhnya terjadi dibalik itu adalah parade
kerakusan Group Bakrie dengan memanfaatkan Pemda melalui “sentimen putra
daerah”. 10% saham awal dibeli MDB. MDB adalah joint venture
antara Multicapital (Bakrie Group) dengan Pemda. Pemerintah Indonesia kalah.
Dengan proporsi saham 75% Bakrie Group : 25% Pemda.
Artinya dari 10% saham tersebut Bakrie dapat 7,5% dan Pemda 2,5%. Divestasi
berikutnya 14% diincar Pemerintah Pusat, namun sekali lagi dapat tantangan dari
dalam, terutama dari Group Bakrie yang mengincar saham itu. Pada akhirnya MDB
yang terdiri dari 75% Bakrie dan 25% Pemda berhasil mengakuisisi 24% saham PT.
NNT . Pada November 2009 Bakrie melalui MDB menguasai 24% saham PT. NNT, bulan
itu pula terjadi inisiasi angket Century. Kebetulankah?
Anik adalah “kerikil” bagi Bakrie dalam memuluskan
rencana akuisisi tambang-tambang besar di negeri ini. Terbukti dengan
“digorengnya” Anik lewat Century, Bakrie berhasil akuisisi tambahan 14% saham
PT. NNT lewat kerjasama dengan Pemda. Kekhawatiran Anik akhirnya terbukti
karena saham hasil divestasi tersebut sama sekali tidak bisa dinikmati oleh
rakyat Indonesia, tidak juga warga Sumbawa.
Bakrie ternyata menggadaikan saham PT. NNT tersebut ke
Credit Suisse Singapore. Karena Bakrie tidak punya fresh money
untuk membeli saham PT. NNT. Akibat menggadaikan saham ke asing itu, MDB tidak
mendapat bagikan deviden. Pemda yang masuk dalam kongsi itu juga tidak bisa menikmati
deviden.
Alih-alih bisa membagikan hasil kekayaan alam kepada
rakyat Sumbawa, seluruh deviden dilaporkan habis untuk bayar bunga utang pada
asing. Sekali lagi melalui rekayasa demo sentimen “putra daerah”, Bakrie
berhasil menguasai sumber-sumber kekayaan alam di Indonesia.
Anik yang sering dituduh neolib itu justru
memperjuangkan amanat pasal 33 UUD 1945. Sedangkan Bakrie melalui proxy Golkar-nya yang menjadi pihak
paling gencar menuduh Anik neolib justru menggadaikan saham hasil
divestasi.
Saham yang diperjuangkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat kini justru
dikuasai Bakrie, dan kemudian digadaikan kepada pihak asing sehingga manfaatnya
tidak terasakan oleh rakyat Indonesia. Siapa sesungguhnya yang neolib?
Benarkah Dalam kasus Century itu Anik benar-benar
bersalah sebagaimana yang sudah menjadi opini umum saat ini atau justru beliau
yang dijadikan korban?
Satu hal yang tidak dapat disangkal, Anik adalah tokoh
utama reformasi keuangan Indonesia. Tokoh yang berperan besar dalam meletakkan
fondasi baru perekonomian Indonesia. Berkat fondasi inilah ekonomi kita kokoh
menghadapi krisis.
Kita tidak dapat menemukan tokoh lain yang lebih
instrumental dari Anik dalam meningkatnya kinerja perekonomian Indonesia hingga
saat ini. Reformasi institusipun dia lakukan dengan tegas, seperti departemen
keuangan dan segenap perangkatnya.
Salah satu hasil gemilang dari gebrakan Anik ini
adalah yang terjadi pada Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Tidak hanya dalam hal
peningkatan kinerja terhadap masyarakat, pendapatan dari sektor pajak juga
meningkat hampir 4 kali lipat dalam 4 tahun. Namun tentu tidak semuanya
gembira.
Beberapa pejabat dan politisi yang kepentingan dan posisinya
terancam tentu tidak akan senang. Salah satunya tentu Ical yang kepentingan
bisnisnya sangat terancam oleh sikap Anik yang tidak mentolerir mereka yang
suka memanfaatkan fasilitas negara. Sosok lainnya adalah Hadi Purnomo (HP) yang
diberhentikan oleh Menkeu Anik karena laporan kinerja pajaknya yang tidak
beres.
Dalam upaya reformasi departemen keuangan, Anik
berhasil mendapatkan temuan adanya 100 penunggak pajak kelas kakap. Diantara
100 penunggak pajak tersebut terdapat beberapa perusahaan Ical seperti PT. Bumi
Resources, PT. Kaltim Primacoal, dan PT. Arutmin Indonesia. HP yang sakit hati
itu kelak menjadi Ketua BPK. Laporan audit BPK inilah yang kelak dijadikan
acuan utama para wakil rakyat untuk menjerat SMI.
Mau tahu berapa harta kekayaan HP? Berdasarkan
laporannya kpada KPK tahun 2010 hartanya Rp 38,8 M. Hartanya antara lain berapa
tanah baik di dalam dan di luar negeri. Hebatnya dia mengaku bahwa Rp 36 M harta
tersebut berasal dari hibah.
Sungguh menarik, siapa orang yang mau menghibahkan harta
kepada seorang Dirjen pajak? Itu baru yang dilaporkannya, konon HP tidak
menyimpan hartanya dalam bentuk bangunan tapi dalam bentuk dollar USA pecahan
100-an karena takut dipantau PPATK.
Di lain pihak PDI-P sebagai sponsor HP saat diangkat
jadi Dirjen Pajak punya kepentingan besar menjatuhkan SBY karena sakit hatinya
Mega. Sepanjang SBY menjadi presiden pun Mega
sebagai putri proklamator dan mantan presiden itu enggan menghadiri upacara
detik-detik proklamasi di istana negara. Berbagai akumulasi kepentingan itulah
yang kemudian bertemu dalam “reuni sakit hati” yang memanfaatkan kasus Century
untuk menjatuhkan SMI.
Kondisinya semakin meriah tatkala partai-partai
koalisi ikut-ikutan berusaha mengambil manfaat dari kasus Century ini bagi
kepentingan politik masing-masing. Berulangkali para politikus Senayan
menjadikan laporan BPK sebagai acuan “sakral” untuk mengkriminalisasikan Anik.
Masalahanya, apakah BPK punya kualifikasi menilai dampak pasar? Bukannya BPK
itu auditor negara? Auditor belum tentu bisa menilai dampak psikologi pasar
yang sangat riil, bisa dilihat dari keseharian pasar modal dan pasar uang.
Kualifikasi BPK sangat perlu dipertanyakan untuk
menilai keputusan Anik terhadap Century dalam kaitannya dengan penanggulangan
krisis. Kalau untuk aliran dana dan komplain, mungkin BPK punya wewenang. Tapi
tidak untuk keputusan Anik dalam menangani krisis.
BPK sebagai lembaga yang tidak diaudit keputusannya
sangat rentan terhadap “abuse of power”. Apalagi kasus ini penuh dengan
muatan motivasi pribadi. Sungguh mengherankan mengapa mereka yang berdemo
membawa gambar “Anik bertaring” itu sama sekali tidak kritis tentang
obyetivitas BPK? Jangan-jangan benar kecurigaan banyak pihak bahwa demo-demo
LSM tersebut adalah bayaran Bakrie CS untuk menciptakan opini publik yang
memojokkan Anik.
BPK yang sebagian besar pemimpinnya adalah orang-orang politik itu sangat
diragukan terindikasi berulang kali bermain politik praktis. Contoh yang
terakhir yang masih hangat uaadalah hilangnya nama Andi
Mallarangeng dalam laporan BPK perihal kasus Hambalang. Untung saja disitu
masih ada Taufiequrachman Ruki (mantan ke KPK) yang bersikukuh tidak mau tanda tangan laporan
audit BPK itu.
Indikasi persekongkolan jahat ini sebenarnya sudah
terlihat saat proses pemilihan HP menjadi anggota BPK oleh DPR. Pada saat
pemilihan, ketika para anggota parlemen mewawancarai HP, selalu disambut dengan
senyuman bukan jawaban. Toh meskipun demikian, HP tetap lolos juga. Karena
setiap senyuman itu berarti persetujuan bahwa yang bersangkutan sanggup
membayar upeti. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. HP mengeluarkan US$ 20.000
bagi setiap anggota parlemen yang memilihnya dalam fit and proper test
itu.
Busuknya proses pemilihan para pejabat lembaga-lembaga
strategis negara yang penuh praktik transaksional itu belakangan diungkap
secara terbuka dalam salah satu acara ILC (Indonesia Lawyers Club).
secara blak-blakan Ruhut Sitompul dan Trimedya Panjaitan membahas proses Fit
and Proper Test di DPR. “Kalo bisa bukan kita yang lakukan Fit and
Proper bang, tahu sendirilah transaksional!” Begitu kita Ruhut pada Karni
Ilyas yang diamini Trimedya.
Kembali ke kasus Century, BPK mengelompokkan temuan
pemeriksaan menjadi lima kelompok, yaitu:
(1)
Proses merger dan
pengawasan Bank Century (BC) oleh BI
(2)
Pemberian Bantuan
Likuiditas oleh BI
(3)
(a) Penetapan BC sebagai
Bank Gagal berdampak sistemik/bailout Bank Century
(3)
(b) penanganannya oleh
LPS
(4)
Penggunaan dana
Likuditas BI dan PMS
(5)
Praktik-praktik tidak sehat dan
pelanggaran-pelanggaran ketentuan oleh pengurus bank, pemegang saham, dan
pihak-pihak terkait dalam pengelolaan BC yang merugikan BC
Dari 5 pengelompokan di atas, Anik
hanya bersinggungan dengan sebagian dari butir no. 3, yaitu 3.a, dalam perannya
sebagai Ketua KKSK.
Anik jelas tidak ada sangkut pautnya
dengan poin-poin yang lain. Poin 1 dan 2, pre-bailout adalah kebijakan dan
pengawasan BI. Poin 4 dan 5, berkaitan dengan BI, LPS, dan pemegang saham dan
manajemen BC, terutama pasca keputusan KKSK untuk menyelamatkan BC. Jadi sebenarnya
yang ingin dipaksakan oleh Ical CS sebagai kesalahan Anik adalah penetapan BC
sebagai bank gagal berdampak sistemik. Konyol.
Selain keputusan Anik (meskipun
salah) itu tidak bisa dikriminalisasikan, Anik juga punya pandangan profesional
tentang itu. Anik memaparkan 9 indikator yang menggambarkan betapa betapa rawan
ekonomi domestik saat keputusan itu dibuat:
- Pasar uang dunia tertekan pasca kejatuhan Lehman Brothers dan lembaga keuangan global lainnya (Dahlan Iskan pernah menulis tentang ini dengan bahasa yang renyah)
- Pasar saham dunia guncang. Indeks saham Jakarta merosot dari 2.830 (9 Januari 2009) menjadi 1.155 (20 November 2008)
- Harga surat utang negara merosot ditandai dengan meroketnya yield dari sekitar 10% menjadi 17,1% (20 November 2008). Setiap kenaikan 1%, beban bunga SUN di APBN bertambah Rp 1,4 T
- Credit Default Swap Indonesia melesat dari 250 basis point (awal 2008) menjadi di atas 1.000 bps (November 2008)
- Terjadi pelarian modal akibat gangguan likuiditas di pasar saham
- Cadangan devisa merosot 13% dari US$ 59,45 miliar (Juni 2008) menjadi US$ 51,64 miliar (Desember 2008)
- Rupiah bergejolak dan terdepresiasi 30,9% dari Rp 9.840 (Januari 2008) menjadi Rp 12.100 (November 2008)
- Sistem perbankan dan keuangan domestik di ambang batas krisis berdasarkan Banking Pressure Index (Danareksa Research Institute) dan Financial Stability Index (BI)
- Potensi pelarian modal lebih besar dari para nasabah bank karena tidak ada penjaminan penuh di Indonesia, seperti diterapkan negara-negara lain.
Para pemimpin dunia (G-20)
mengadakan pertemuan pada 13-15 November 2008 membahas penanganan krisis
global. Sementara BPK yang merupakan lembaga audit negara malah
mempermasalahkan keputusan Anik dalam menilai dampak pasar.
Apakah BPK yang pemimpinnya terdiri dari para politisi itu punya
kualifikasi menilai dampak pasar? Dan yang terpenting apakah BPK berhak
menyalahkan keputusan politis yang dibuat eksekutif? Bagaimana dengan BPK
sendiri yang sebagai auditor negara sering terindikasi “bias” karena
dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis itu?
Selanjutnya keputusan politik di DPR
itu dipaksakan untuk ditindak lanjuti secara hukum oleh KPK. Terang saja KPK
jadi pusing tujuh keliling, bagaimana mungkin mengkriminalkan sebuah kebijakan
politis seperti itu? Sayangnya para anggota DPR tetap ngotot dan buta hati.
Bahkan menghubungkan keberhasilan KPK dengan penetapan Anik sebagai tersangka.
Terlihat sekali disini upaya pemaksaan kriminalisasi terhadap Anik. Selama Anik
belum ditetapkan sebagai tersangka, KPK dianggap gagal.
Begitu juga dengan masyarakat awam.
Karena termakan demo-demo bayaran Ical CS dianggap penetapan Anik sebagai
tersangka adalah target utama KPK. Apakah masyarakat sesungguhanya tahu apa
yang terjadi dibalik seluruh proses yang membonceng sentimen anti korupsi ini?
Sudahlah. Begitu dulu.