— more than a woman
Saya
sadar dan memahami bahwa faktor
luck
itu ada dan ikut
terlibat dalam membentuk
jalan kehidupan
yang saya lalui. Faktor
luck
inilah yang membuat saya terus bisa bertahan berjalan menikmati gelinjangan
kehidupan,
yang pada saat dan tempat tertentu merasa kuldesak, dan pada
saat dan tempat yang lain merasa melesak.
Tak tahu pasti
mana yang lebih banyak.
Saat suka
dilanda duka,
tentu saya lebih mudah mengira bahwa hidup saya lebih banyak dihantam kuldesak ketimbang terbang ringan untuk melesak.
Ketika ada orang
hendak
berontak, battle-mate saya sekalipun,
mengenai faktor
luck
ini, ya dibiarkan
saja. Lagipula kalau
memang faktor
luck
itu tidak
ada, buat apa ada kata
luck
di dalam kamus
bahasa Inggris?
Negara Majapahit tak
memiliki kosakata ‘kalah’ dalam kamusnya
lantaran negara yang pernah berdiri megah menghimpun bangsa-bangsa yang ada di
atas bumi Nusantara ini tidak
mengenal kata
‘kalah’.
‘Ngalah’ pun berakar dari kata ‘ilah’ (Indonesia: penguasa) yang
diimbuhi ‘ngo’ (Indonesia: menuju).
Lalu
apa faktor
luck
saya? Salah satunya adalah saya beruntung bersahabat dengan Eny Rochmawati
Octaviani yang kehadirannya
memberikan
dampak
besar. Perempuan cantik
yang biasa disapa Tata ini hadir pada saat dan di tempat yang tepat. Telat
beberapa saat atau terlampau cepat sedikit
saja, tentu berbeda.
Ada
sisi yang jika
dipaksa
menjelaskan
dengan nalar, butuh banyak
faktor
supaya sisi tersebut bisa dielaborasi dengan apik. Bukan
sekedar
elaborasi parsial yang hasilnya tak
pernah memuaskan
batin.
Dari
persahabatan dengan Tata, saya bisa melebarkan sayap melalui persahabatan dengan Nur Hidayati.
Perempuan cantik
yang biasa saya sapa Hida ini juga memberikan
dampak
besar bagi saya.
Dengan
anugerah daya ingat berlipat yang saya miliki, saya mudah sekali
mengingat segala yang pernah terekam
dalam memori. Selain itu, walau sulit berteman dengan liyan, saya bisa dengan mudah membaur dalam lingkungan untuk jangka pendek. Walau demikian, ada juga
sebagian yang bisa melantan bersama dalam kebersamaan
sepanjang jalan disertai pengaruh besar yang diberikan dalam kehidupan
saya. Tata dan Hida diantaranya.
Perkenalan kami, saya dan
Hida, bermula ketika Tata
mengajak
saya main ke
rumah Hida. Rumah Hida
berada di Rendeng. Desa ini tak asing bagi saya. Sejak balita saya sudah sering
main ke Rendeng bersama Lek Sholeh, paman saya, yang bekerja di Dersalam.
Sebelum Hida, juga ada beberapa teman
dari Rendeng yang saya kenal pada tahun yang sama ketika mengenal Hida, 2008. Ada
Sheila Ratnasari,
Sekar Ayuningtyas,
sampai Cornelia
Septanti. Tiga orang ini
semuanya sekolah di SMP Negeri 5 Kudus dan satu angkatan dengan saya. Tapi kalau anak SMP Negeri 3 Kudus
yang dari Rendeng, sama sekali belum ada.
Tepat
pada hari terakhir
Oktober
tahun ‘emas’ bagi saya, Hida mulai hadir dalam hidup saya. Bersama Hadi Asrori,
kami
berempat mulai terlibat dalam satu persahabatan yang tak hanya antar
individu tapi juga menjadi semacam geng,
walau tak
pernah diproklamasikan.
Tata dan Hida tampil alami saat itu.
Mereka tak tampak dandan lebih dulu, bahkan masih memakai bawahan rok putih
seragam SMP yang dipakai hari itu. Setiap Jum’at dan Sabtu, SMP Negeri 3 Kudus
memakai seragam sekolah dengan atasan batik biru dengan kombinasi bawahan putih
polos. Tapi baju atasan mereka sudah ganti tak memakai seragam lagi. Tata
memakai baju warna pink sementara
Hida memakai baju warna merah hati.
Ibunya Hida menyambut kami dengan
ramah atau istilah Jawa-nya grapyak.
Beliau saat itu sedang ngemong Rama
yang masih berusia satu tahun. Dari garasi tampak bapaknya Hida di dalam rumah.
Ewuh pakewuh banget masuk ke rumah
Hida saat itu. Keadaan kami yang belum saling mengenal adalah penyebabnya.
Hanya ada empat orang di ruang tamu
saat itu. Saya duduk di sebelah utara. Tepat di depan saya adalah Tata. Hida
sendiri berada di sebelah kiri saya yang berhadap-hadapan dengan Rori. Beberapa
menit awal suasana terasa beku. Sebenarnya tak beku amat, cuma hampir tak ada ‘suara’ antara saya dan Hida.
Suasana mendadak cair ketika Hida
melontarkan gurauannya pada saya dan Tata. Gara-gara ketika Tata menghubungi
temannya tak kunjung diangkat, saya langsung nyerocos bilang, “Nomor yang anda tuju sedang selingkuh.” Hida
langsung menanggapi dengan ungkapan, “Cie,
ada apa-apa ni kayaknya.”
Spontan Hida dan Rori kompak menjodohkan
saya dan Tata sampai kami berdua mati kutu. Hida juga sempat bilang pada Tata,
“Awas Ta rokmu!” Saat Hida mengatakan demikian, rok Tata memang terbuka.
Suasana obrolan semakin ramai. Tirai
yang menjadi penghalang ruang tamu dan ruang tengah sempat terbuka. Dari posisi
duduk saya tampak perempuan kecil yang sedang duduk di ruang tengah memakai
baju biru muda. Belakangan saya tahu ternyata ia adalah Ita
(Novita Rahmawati), adik
langsung Hida.
Saya dan Hida mulai menjalin
komunikasi dan berkenalan satu sama lain. Pertemanan kami mulai tambah akrab.
Sayang, belum genap sebulan saya mengenal Hida, berita duka datang. Saya sedang
di rumah Mamad (Ahmad Fuad Ria Sahana, M.A.S.A.M) saat itu, ketika mengirim SMS pada
Hida.
“Cie yang besok ulang tahun, happy birth day yak,” tulis saya
“Mas,
aku lagi berduka. Bapakku meninggal.” balas Hida.
Tepat pada Jum’at Kliwon, 30
Dzulqo’dah 1429 dan 28 November 2008, bapaknya Hida menghembuskan nafas
terakhir.
Seharusnya pekan-pekan terakhir
November adalah masa-masa bahagia bagi Hida. Ia memperingati birth day-nya pada 29 November.
Masa-masa ini juga masa bahagia bagi
saya lantaran saya bisa bangkit dari keterpurukan dalam waktu singkat. Setelah
kepala sekolah batal mengeluarkan saya dengan diganti memberikan surat pernyataan
terakhir, saya kembali menjalani hari-hari di sekolah dengan baik.
Tapi di masa-masa ini, justru kabar
duka datang. Hida merayakan birth day
ke-14 untuk kali pertama tanpa adanya bapak. Kado tragis pada momen manis.
Bagi Hida sendiri ini bukan kali pertama.
Birth day pertama Hida, ketika ia
genap 1 tahun, juga tanpa kehadiran ragawi bapaknya. Ketika ibunya Hida hamil 7
bulan, berita duka datang dari Sigli, tanah kelahiran sang ibu. Simbah Hida meninggal dan ibunya Hida
serta Hida pergi ke Sigli untuk turut serta dalam berbagai upacara kematian.
Hanya
saja, peristiwa yang
terjadi pada 1995 dan 2008 jelas berbeda. Ketidakhadiran bapak pada 1995 karena
beliau sedang ada dinas yang tak bisa ditinggalkan dalam waktu lama. Sementara
pada 2008, ketidakhadiran ragawi beliau lantaran beliau sudah pindah ke dimensi
lain.
Bagi ibunya Hida, juga cukup memukul
telak. Anak ketiga mereka, Rama, baru berusia setahun. Istilahnya Rama belum ndolor ketika bapaknya meninggal meski
Rama pasti sudah mengenal bapaknya dan merasakan sentuhan kasih sayang dari
sang bapak.
Peristiwa
semacam ini dialami semua orang, bahkan
semua yang memiliki
nyawa, namun tetap saja memberikan
rasa duka.
Terlebih Hida memiliki
ikatan
batin yang sangat kuat
dengan bapaknya.
Mungkin
serupa dengan ikatan
batin kuat
antara saya dan Ibuk.
Walau
demikian,
selalu ada hikmah
dalam setiap kisah.
Antara lain Hida bisa belajar menjadi wonder woman dari sang ibu, tak perlu
jauh-jauh belajar dari perempuan lain. Sang ibu sendiri sudah menjadi more than a woman.
Ibunya Hida ramah pada teman
anak-anaknya. Beliau juga berani memberi kepercayaan penuh bagi dua putrinya
untuk hidup jauh dari pengawasan langsung sang ibu.
Akhir Desember 2008, beberapa hari
sebelum tahun baru dan hampir sebulan pasca hari berkabung, saya dan Rori
kembali main ke rumah Hida. Kali ini tak ada Tata, hanya kami bertiga saja.
Hida tampak lebih ‘siap’ menerima kedatangan kami. Ia dandan
cukup rapi dengan memakai atasan kaos putih bertuliskan Bandung
Tempo Doeloe dan bawahan celana jeans.
Intensitas komunikasi dengan Hida
terbilang kurang masif. Selain jarang telepon juga jarang SMS. Saat itu
jejaring sosial Facebook belum
merajalela di kalangan remaja Kudus. Malah masih banyak yang memakai Friendster. Meski saya sudah membuat
akun Facebook dan Twitter, tapi belum banyak terpakai.
Nomor utama telepon (ponsel) seluler kami berbeda operator. Saya memakai
Indosat sedangkan Hida memakai Telkom Fleksi. Baru beberapa bulan kemudian Hida
beralih ke Indosat. Yang jelas, satu kesamaan kami adalah tak memiliki hobi gonta-ganti nomor ponsel. Paling-paling
menambah nomor lagi sementara nomor lama tetap dipakai. Setidaknya hal ini tak bikin
geregetan teman-teman.
Gara-gara komunikasi kurang masif,
Hida malah tak tahu menahu kalau saya adalah perokok sejak kami berkenalan.
Saya memang sempat berhenti total merokok sejak tahun baru 2009. Tapi sepanjang 2008 saya masih
merokok, cuma tak
pernah merokok
terang-terangan di depan orang, termasuk
Hida. Pada saat yang sama ini kebiasaan
saya berbarengan dengan kebiasaan
Ais (Arij Zulfi Mufassaroh) yang aktif
merokok sejak 2006.
Setelah
beberapa lama berhenti, baru
kemudian saya kembali merokok setelah lewat 26 Maret 2011. Hal
ini justru
belum diketahui Hida
sehingga ia tampak kaget beberapa waktu lalu setelah tahu saya merokok.
09
Maret 2009 menjadi kali
terakhir
saya main ke
rumah Hida sebelum memasuki
era baru ditandai dengan masuk
pesantren. Ada yang berubah, ada yang berlanjut, saat saya memasuki dunia yang
membikin
saya beridentitas sebagai santri ini. Di antara keduanya, ada yang berhenti sejenak, mungkin sejenis demikian.
Tanpa
direncana, kami
bercakap
empat mata dengan suasana yang menggelinjang dalam keheingan.
Cuaca cerah mendadak
mendung dan berlanjut hujan deras sesaat. Lucunya, kami sempat
beberapa saat tak
saling menatap wajah masing-masing walau terus menggeber lidah kami
sepanjang percakapan.
Posisi duduk kami saling
tegak lurus, saya menghadap timur dan Hida menghadap utara.
Selain empat mata dengan Hida, hari
itu juga saya sempat empat mata dengan Ita meski untuk yang satu ini hanya
sekelebat mata saja. Ita kebetulan ngemong
Rama di dekat sepeda motor saya ketika saya mau pulang. Hanya sesaat saja mata
saya dan Ita saling memandang disertai senyum dari kami dan hanya sekali itu
saja kami ‘berjumpa’. Perjumpaan tanpa sapaan.
Sesudahnya,
saya memasuki
masa-masa ‘rehabilitasi’ di pesantren. Selama di pesantren, komunikasi kami jarang
terjadi. Walau tak
ada masalah sebenarnya, cuma jarang saja lantaran pesantren saya tak mengijinkan santrinya
mengoperasikan
ponsel selama jadwal berjalan.
Selain
dengan Hida, komunikasi dengan
Tata juga terputus. Interaksi
saya dan Tata sempat dirisak
yang sekejap
memindahkan
arah hubungan kami
dari titik
terintim hingga titik
terjauh. Perlu waktu
lebih dari setengah tahun untuk kembali berkomunikasi dan lebih dari setahun
untuk bertemu empat mata.
Meski sempat ada
risakan,
hal ini tak
berpengaruh pada interaksi
saya dan Hida, yang selalu baik.
Saya mengagumi Tata yang tak
pernah ikut
campur urusan orang, walau orang-orang tersebut memiliki hubungan
dengannya. Ketika
hubungan individual saya dan Tata sangat buruk, tak serta merta membuat
hubungan individual saya dan Hida ikut buruk.
Aturan
tak
boleh mengoperasikan
ponsel selama jadwal berjalan nyaris membikin
saya tak
sekalipun
menghubungi Hida melalui telepon andai saya tak melalukannya
sekali.
Satu-satunya interaksi
saya dan Hida melalui telepon ketika saya nyantri
melalui jasa warung telepon
(wartel).
Saya menghubungi Hida melalui telepon
rumahnya. Tapi yang mengangkat ibunya Hida. Ketika mendengar suara ibunya Hida
hampir saja saya langsung tutup telepon, takut saya atau Hida dimarahi. Kami
sempat basa-basi sebentar dan tak ada tanda-tanda marah dari beliau. Malah
kemudian beliau justru mempersilahkan saya ngobrol
dengan Hida. Setelah lama tak bertelepon ria dengan Hida, kami ngobrol lama saat itu.
Aneh juga rasanya. Rumah saya dan
Hida tak jauh, hanya terpisah sekitar 20 km saja. Sama-sama masih di Kudus.
Tapi selama saya nyantri, kami sama
sekali tak pernah bertemu. Bahkan kami sempat putus kontak sama sekali setelah
ponsel saya hilang.
Hilangnya ponsel serta merta membuat
seluruh kontak di ponsel tersebut juga hilang. Pemulihan nomor yang dilakukan
di Gerai Indosat Kudus tak bisa disertai ‘penyelamatan’ kontak. Sejak saat itu kami putus
kontak dan baru kembali berkomunikasi sejak 09 Maret 2013. Ketika saya
meninggalkan Kudus untuk bermukim di Bandung tak ‘pamitan’ pada Hida.
Tanpa diduga sebelumnya, Hida juga
meninggalkan Kudus untuk bermukim di Banda Aceh. Saya tahu kalau Hida pindah
bermukim di Banda Aceh dari Tata. Sore hari Tata menghubungi saya. Seingat saya
pada bulan Juni. Melalui telepon Tata bilang kalau Hida sudah berangkat.
Seperti ‘membalas’ saya yang tak pamitan, Hida juga tak
pamitan pada saya.
Langkah Hida kuliah di Aceh tampak
tak mengejutkan. Ia memiliki darah Aceh. Ibunya adalah perempuan asal Sigli.
Hida yang lahir di Kudus malah memperingati birth
day pertamanya di Sigli. Tapi ia sempat bilang kurang nyaman di Aceh.
Hal ini diungkapkannya 2010 silam
ketika ia menikmati liburan semester ganjil di Aceh bersama keluarga. Hida
bilang kalau Kudus lebih nyaman daripada Aceh. Selain itu di awal perkenalan
saya melihat kalau Hida cenderung lebih mirip bapaknya daripada ibunya. Ita
yang cenderung mirip ibunya. Dengan kecenderungan mirip bapaknya daripada
ibunya serta kelahirannya yang di Kudus, ikatan emosional Hida dan Aceh tampak
tak sekuat Ita dan Aceh.
Cuma
Hida punya pertimbangan
lain. Ia berusaha untuk menikmati kehidupannya di Aceh. Hida memiliki banyak
sanak keluarga di sana. Ia tak ingin tali silaturahim dengan keluarga besar di
Aceh putus. Memang bisa dengan tetap menjaga komunikasi melalui media
elektronik yang sudah amat mudah sekarang. Tapi itu belum cukup.
Untuk menjaga tali silaturahim itu
Hida sendiri hidup di Aceh biar ada “jembatan” antara Kudus dan Aceh. Lambat
laun Hida pun akhirnya bisa menikmati kehidupannya di Aceh. Kerinduan pada sang
ibu ia lampiaskan melalui telepon dan bertemu hanya pada saat-saat tertentu,
misalnya lebaran.
Sejak awal Hida memang tampak
memiliki ikatan kuat dengan keluarga. Bahwa ia kurang menikmati Aceh bukanlah
soal keluarga melainkan lingkungan Aceh yang, menurut saya sebagai pemukim di Kudus dan
Bandung, banyak
membuatnya kurang nyaman.
Pada akhirnya ia berkorban demi
menjaga tali silaturahim keluarganya. Jelas berbanding terbalik dengan saya
yang justru memilih hidup di Bandung yang notabene tak ada satupun sanak
keluarga di sini. Kalau Hida menjadi ‘jembatan’
keluarga besar, saya malah ‘kabur’ dari keluarga.
Hida kuliah di Universitas Syiah
Kuala (Unsyiah). Unsyiah termasuk perguruan tinggi papan atas di Indonesia.
Popularitas Unsyiah di Pulau Jawa tak sebanding dengan kualitasnya. Unsyiah
memang kurang populer di Pulau Jawa, tapi bicara kualitas tak bisa dipandang
sebelah mata.
Di sana ia kuliah di bidang hukum
mengikuti bapaknya. Meski besar kemungkinan Hida tak sepenuhnya mengikuti jejak
sang bapak. Bapaknya Hida menapaki karir di bidang Hukum Pidana, sementara Hida di bidang Hukum Perdata. Langkah hebat dari Hida. Mengikuti jejak
bapak di tanah kelahiran ibu.
Perlintasan
perubahan dari pelajar sekolah
menengah menjadi pelajar perguruan tinggi yang dilakoni Hida
berlangsung mengharukan.
Ia melakoni
semuanya dengan penuh perjuangan, dukungan
ibu, serta keberserahan
keduanya
pada Yang Maha Kuasa.
Hida malah sempat berkecil
hati kalau
ia tak
bisa kuliah.
Ibu
Hida terus menguatkan
putrinya ini serta terus mendoakannya.
Pengumuman Hida diterima masuk
Unsyiah adalah satu peristiwa yang membuatnya menangis bahagia. Tangis yang
juga diikuti
ibunya dengan rasa yang sama. Walau mereka
harus segera terpisah dalam ruang.
Tak banyak komunikasi saya dan Hida setelah ia di
Aceh. Saya hanya tahu kalau ia kuliah di prodi Hukum Unsyiah. Kami hanya
sesekali bercakap melalui SMS dan belum pernah ngobrol melalui telepon.
Tapi rasa rindu pada Hida tak bisa sirna.
Keberadaan Hida di Banda Aceh dan saya di Bandung
membuat kami tak bisa menentukan waktu pertemuan sekehendak hati. Hanya ketika
sama-sama mudik ke Kudus saja waktu paling realistis untuk bertemu melampiaskan
rasa rindu.
Saya sudah sangat ingin bertemu Hida tahun 2014. 2010
hingga 2013 tak ada satupun pertemuan dengan Hida. Rencananya ingin kumpul
bersama Tata, Leily, dan Rori pada lebaran 2014.
2013 hanya bisa berkumpul bersama Tata dan Leily, Rori
mendadak tak bisa hanya beberapa menit sebelum kami tiba di Payaman, tempat
yang dipilih Tata. Hida jelas tak bisa pada tahun itu.
15 Mei 2014 saya sudah bisa kumpul bersama Tata,
Leily, dan Rori di Alun-Alun Kudus. Pertemuan dengan tiga orang dalam satu
ruang ini terakhir terjadi 06 Syawal 1429 di rumah Leily. Perasaan rindu pada
mereka cukup terlampiaskan di malam ketika kami makan nasi kucing itu. Hanya
dengan Hida yang belum sempat jumpa.
Beberapa hari sebelum saya mudik lebaran, Hida
mengirim SMS.
“Mas, kamu mau ikut buber sama Tata dan Leily gak?”
“Iya,” pertanyaan Hida sebenarnya
sia-sia karena jawabannya bisa ditebak.
“Kapan?”
saya langsung mengirim pesan kembali.
“Kalau
kamu sudah pulang ya,”
Sayangnya hanya saya yang saat itu tak ada di Kudus!
Ketika Hida mengirim SMS saat itu, sebenarnya sudah
masa-masa liburan akhir semester. Tapi dua kali masa liburan akhir semester
selalu saya pakai untuk mengikuti semester pendek, sekedar mengisi waktu luang yang
panjang sekalian menikmati Ramadhan di Bandung. Lagipula kalau langsung pulang
ke rumah bakal banyak males-malesan.
Andai saya di rumah ketika Hida mengirim SMS itu bisa langsung sore itu atau
esok harinya kami buber.
Sesampainya saya di Kudus malah tak ada tanda-tanda
jadi buber. “Tak masalah,” pikir
saya, “masih ada lebaran.” Sayang sekali hingga saya kembali ke Bandung, tak sekalipun
berjumpa dengan Hida.
Sangat disayangkan sebenarnya lantaran keberadaan Hida
di Banda Aceh (minimal) selama ia kuliah sangat menyulitkan saya untuk bertemu
dengannya. Banda Aceh sangat jauh dari Bandung, kami sama-sama sibuk dengan
kuliah kami, dan tampaknya tak ada tanda-tanda yang ‘masuk akal’ yang bisa
mempertemukan kami.
Hida yang saya minta main ke rumah saya juga tak mau, “jauuh mas” ungkapnya melalui Facebook. Padahal Rendeng-Colo lebih
dekat daripada Banda Aceh-Bandung!
“Ya
sudahlah, ditunda sampai lebaran tahun depan saja,” ungkap saya dalam hati
dalam perjalanan ke Bandung saat itu.
Mulai Selasa Kliwon sampai Rabu Legi akhir Oktober
2014, saya tak tidur semalaman. Tugas kuliah seperti ‘kasih ibu’, sepanjang
masa dan setia bersama. Kata-kata ini gubahan Hida yang
kemudian sering saya pakai untuk menggambarkan apapun yang bisa dianggap
sepanjang masa, baik menyenangkan atau menyebalkan.
Di tengah kesuntukan menyelesaikan tugas perkuliahan, spontan juga saya langsung ingin menulis mengenai Hida,
lebih tepatnya tulisan mengenai perjumpaan saya dan Hida.
Hitung-hitung sebagai break sejenak. Sekalian menunggu adzan subuh yang tinggal beberapa
menit.
Semua rindu ditumpahkan dalam catatan dengan penuturan kronologis
dibumbui feature yang terdiri dari 11 ribuan karakter itu. Langsung
saya posting di catatan Facebook sekalian menandai Hida.
Saya cukup melakukan perjudian di sini, bertaruh besar
dengan diri saya sendiri. Saya tak memberi tahu Hida sebelumnya dan baru
memberi tahu setelah saya posting.
Taruhannya begini, karena saya menulis sesuai kehendak hati saya, saya khawatir
tanggapan Hida negatif alias justru membuatnya antipati pada
saya. Terlebih lagi komunikasi kami yang belum stabil, berpotensi kembali
memutuskan komunikasi kami.
Walakin, saya pede
saja. Kalau Hida mau marah, toh kami tak bakal bertemu tahun ini, minimal
lebaran tahun depan –pikir saya saat itu. Dengan pede juga saya kirim SMS ke Hida memintanya untuk membaca catatan
pendek saya itu.
“Catatan
tentang apa mas?” ungkap Hida melalui SMS yang dikirim selepas maghrib.
“Tentang
kamu, judulnya Hida.” Jawab singkat
saya.
Kurang
sejam, ia langsung mengirim SMS lagi.
“Terharu aku
mas,” ungkapnya melalui SMS yang dikirim menjelang adzan Isya’ Kota Bandung.
Untunglah Hida tak antipati. Saya tak perlu mendapat
ungkapan terharunya itu, yang penting Hida tak menanggapi negatif.
Sesudah saya mem-posting
tulisan itu, saya malah ingin ngobrol lama dengan Hida melalui telepon. Beberapa
kali punya waktu luang ternyata tak beririsan dengan Hida. 14 November sempat
menghubunginya melalui telepon. Sayang ia sedang ada acara di Unsyiah. Baru pada 16 November kami ngobrol melalui telepon
dalam suasana santai. Itupun cuma 13 menit, Hida keburu pergi ke Aceh Jaya
karena ada acara di sana.
Sejak SMK, Hida mengalami perkembangan
pesat. Sekolahnya
mulai tertata. Ia juga mau aktif dalam kegiatan di
luar jadwal ‘standar’ sekolah.
Bagusnya, dua hal ini tak
membuat waktunya
untuk
bersama teman-teman berkurang.
Pengelolaan waktu
yang dilakoni
Hida jauh lebih baik
daripada saya.
Masa-masa antara setelah saya menulis Hida hingga kami
bisa ngobrol melalui telepon, ada pengumuman acara monev.
Monev adalah kependekan dari monitoring dan evaluasi, salah satu program
Kementerian Pendidikan RI untuk memantau jalannya kebijakan pendidikan dari
pemerintah pusat di daerah.
Pada
saat-saat itu, saya sedang mengambil
mata kuliah Perencanaan Pembelajaran Fisika (PPF) di kelas Pak Didi Teguh Chandra, dosen yang membuat
saya kembali bernoastalgia dengan masa MTs dan ingin kembali ke MTs NU Miftahul
Falah sebagai guru. Kalau di kelas Pak Didi, bisa mendapatkan kesempatan ini.
Saya belum memikirkan ke mana tempatnya. Yang penting dapat jatah dulu untuk ‘jalan-jalan’ keluar
Pulau Jawa.
Setelah 16 November menelepon Hida, langsung
mengkhayal, “Andai saja monevnya di Aceh, bisa sekalian ketemu Hida.” Setelah
semalaman tak tidur, saya langsung merem
usai menutup telepon dengan Hida.
Mungkin karena pikiran sudah lari ke Banda Aceh, malah
jadi mimpi main ke Banda Aceh. Untung juga tak dibangunkan teman saya, jadi
mimpinya bisa selesai. Kalau untuk hari itu, lumayan bisa menghibur meski
kesannya hanyalah virtual paradise not
real paradise. Tapi saya masih tetap ingin real ke Banda Aceh, tak cuma virtual
atau dream saja.
Peluang terbuka. Senin 17 November pembagian lokasi.
Kebetulan ada lokasi yang di Propinsi Aceh tepatnya di Kabupaten Bireuen. Hanya
itu yang di Aceh, tak ada lagi. Saya langsung ingin ‘menembak’ Bireuen dan
rasanya tak mau diundi.
Sial, jatah Bireuen malah sudah didapatkan orang lain. Saya sendiri jatahnya Lombok. Meski tempatnya lebih
mempesona, tapi saya lebih ingin ke Aceh. Kapan lagi bisa bertemu Hida kalau
tidak sekarang? Sudah lama pula kami tak jumpa.
Untunglah teteh
yang mendapat jatah di Bireuen mau bertukar tempat. Ia sendiri akhirnya memilih
Palembang. Mungkin ingin sekalian pulang kampung. Kadang-kadang tempat yang
mempesona kalah menarik dengan tempat biasa yang bisa dipakai untuk melepas
rindu yang terpendam lama.
Sejujurnya, saya tak percaya dengan kesempatan ini.
Jatah monev ke Aceh pada bulan November. Artinya saya bisa bertemu Hida pada
momen birth day-nya. Mungkin terlalu over sampai-sampai pikiran saya sudah
lari duluan ke Aceh meski tiket pesawat belum dibeli.
Saya langsung membeli tiket untuk penerbangan hari
Selasa. Senin malam menelepon Hida untuk memberi kabar dan janji ketemuan.
Kabar dari SMS tampaknya belum meyakinkan Hida.
Hida memang memiliki sikap skeptis, kadang bagus
kadang tidak. Bagusnya ia bisa memilah dengan baik dan jeleknya kadang sulit
percaya pada orang. Kelemahan saya dari Hida adalah saya kurang skeptis jadi
terlalu mudah percaya.
Dengan semangat melepas rindu, akhirnya terbang ke
Aceh melalui Cengkareng. Kali pertama pergi ke Aceh, tempat yang sudah ingin
saya kunjungi sejak peristiwa Tsunami 2004 silam.
Aceh memiliki rekor pribadi bagi saya. Kali pertama
saya mulai suka menulis, tulisan pertama yang saya buat adalah mengenai Aceh
dengan judul Tsunami. Tulisan
yang proto-type-nya diambil dari lirik langgam Arjuna gubahan Dewa. Sejak saat itu juga mulai suka menulis, menggenapi
kegemaran membaca surat kabar. Dari Majalah Bobo, Tabloid Favorit dan Soccer, hingga harian Kompas
dan Jawa Pos.
Hida menyarankan saya untuk menyelesaikan pekerjaan di
Bireuen baru ketemuan. Bagus juga sarannya lantaran setelah dilaksanakan,
pekerjaan yang jatahnya empat hari bisa selesai dalam waktu 6 jam. Pihak Dinas Pendidikan & Kebudayaan Kabupaten
Bireuen serta 3 SMP yang saya datangi banyak membantu untuk menyukseskan pekerjaan
singkat dan padat ini.
Hari berikutnya, saya pakai untuk jalan-jalan di
Bireuen. Benar-benar jalan-jalan karena jalan kaki. Kalau pergi ke tempat baru, paling males kalau jalan-jalan memakai
kendaraan. Jalan kaki lebih bebas dan seringkali bertemu sesuatu yang ‘baru’.
Di Bireuen, sesuatu yang baru bagi saya adalah pasar
batu cincin. Langsung saja membeli sebongkah batu giok jenis Nefrid dengan harga Rp 320.000. Lumayan bisa dipakai
untuk oleh-oleh buat Pak Didi yang memang suka batu semacam itu dan sedang booming batu mulia.
Siang harinya langsung menuju Banda Aceh. Sempat ingin
bertemu Hida malam harinya tapi tak jadi lantaran ada miss komunikasi antara kami. Ada bagusnya juga lantaran dengan
demikian saya bisa menikmati malam itu dengan jalan-jalan di Banda Aceh, menikmati
kehidupan malam yang indah.
Rasanya seperti di Kudus, cuma dalam beberapa hal
masih lebih bebas di Kudus. Untung juga saya menginap di Peunayong yang menjadi
tempat makan-makan di Banda Aceh. Benar atau salah, Peunayong sepertinya menjadi
pusat tempat nongkrong di Banda Aceh.
Baru pada Jum’at malam, tujuan utama terpenuhi. Saya
sempat khawatir Hida tiba-tiba membatalkan lantaran hujan deras sempat turun
membasahi tanah Serambi Makkah. Untunglah ‘Semesta Mendukung’, hujan deras sejak siang hari, bahkan sempat banjir di atas mata kaki di sekitar
tempat penginapan saya, akhirnya reda pada detik-detik yang
kami rencanakan untuk bertemu.
Sayang kami cuma bertemu singkat saja malam itu, cuma
makan malam saja. Jam malam di Banda Aceh kurang mendukung untuk bisa berdua
dengan Hida. Dalam makan malam itu kami menelepon Tata, sosok penting dibalik
perkenalan kami. Tata masih capek usai latihan persiapan buat pentas esok hari. Tapi ia bersedia meluangkan waktunya untuk
turut dalam perjumpaan saya dan Hida.
Senang bisa melampiaskan rindu dan orang yang
mempertemukan kami bisa turut dalam obrolan malam itu. Tapi saya kesal juga
pada Hida yang bilang pada Tata kalau saya mengeluarkan air mata. Gak bisa nahan euy.
Setelah di malam sebelumnya bisa
bertemu untuk kali pertama, esok harinya saya meminta Hida menemani saya
jalan-jalan. Hida sebenarnya memiliki agenda hari ini, tapi ia mau meninggalkan
jadwal untuk berkumpul dengan organisasinya dan menemani saya jalan-jalan.
Hida tampak menikmati kehidupannya
sebagai pelajar perguruan tinggi yang aktif di organisasi. Tak sekedar ikut
meramaikan walakin ikut memperkaya serta mengambil banyak pelajaran dari
organisasi.
Sesuai rencana kami di malam
sebelumnya, kami mulai jalan-jalan sekitar pukul 9 pagi. Awalnya saya meminta
pagi-pagi sekali kalau bisa, pukul 6. Sayang Hida tak bisa. Bagus juga lantaran
saya justru baru bangun pukul 8 pagi dan Hida bangun sejam lebih pagi daripada
saya.
Hida memakai baju ungu dan memakai
rok batik. Jilbab ungu menutupi rambut pendeknya seperti hair-style Kim Tae-yeon dalam video musik Rain. Pagi itu nyaris saya memakai batik
ungu tapi kemudian beralih memakai batik biru. Kalau ungu warna atasan yang
dikenakan Hida, biru adalah
warna yang ia kenakan untuk bawahan.
Saya hanya ingin foto-foto saja
selama jalan-jalan. Meski sudah cukup lama bersama tapi tak ada satu fotopun
antara saya dan Hida. Padahal dengan teman-teman lain sudah ada. Dengan
siapapun saya ingin memiliki foto berdua. Bisa menjadi kenang-kenangan pribadi
yang sangat berharga.
Saya kemudian mengajak Hida untuk
menemani membeli oleh-oleh untuk yang perlu
dibelikan. Untk saya sendiri buruan utama adalah kopi
Aceh. Hida mengatakan kopi Gayo yang paling enak. Tapi saya membeli cukup banyak
sebagai ajang coba-coba.
Mulai
kombinasi Robusta dan
Arabika dari Gayo dan Ulee Kareng hingga kopi campur ganja yang harganya Rp 50.000 per sachet. Semuanya
dicoba sembari melatih kepekaan lidah saya terhadap kopi yang
sedang getol diasah saat itu.
Setelah saya merasakan semuanya, kopi
Gayo lah yang paling enak. Hasilnya sama seperti yang diberitahu Hida, tapi
mengalami sendiri memberi harga tersendiri.
Saya memang belum puas jalan-jalan di
sini bersama Hida. Tapi rasa rindu yang terpendam lama pada perempuan yang
berzodiak Sagittarius ini bisa terobati.
Sebelum ke Aceh, saya memang sedang
mengalami banyak masalah yang membuat saya mengalami mental breakdown. Jadi kali ini ingin refreshing biar bisa menjalani rutinitas dengan maksimal. Banyak
pekerjaan yang sudah harus diselesaikan dengan cepat dan tepat.
Untung juga saya bisa di sini sampai
hari Sabtu. Sabtu Hida libur kuliah jadi bisa saya ajak main seharian. Juga
saya cukup beruntung masih mendapatkan tiket pesawat untuk keberangkatan pukul
15:50.
Perjalanan hari ini ditutup dengan
makan siang. Lumayan bisa menahan air mata agar tak tumpah, kan kalau terlihat nangis kayak cemen ya?
Sebelum kami berpisah, kami menelepon Tata. Baik saya dan Hida masih bisa
berhubungan baik dengan Tata.
Saya langsung bilang ke Hida kalau
lebaran tahun depan ingin berkumpul bersama mereka; saya, Hida, Tata, Leily,
dan Rori. Ini belum pernah terjadi sekalipun. Paling-paling hanya empat orang
dan paling sering cuma tiga orang.
Ajakan ini akhirnya terpenuhi, walau lagi-lagi
tak bisa full-team. Hanya bersama Tata ketika di rumah Hida, berempat tanpa Rori ketika di rumah Leily dan saya. Di rumah saya selain menjadi ‘penutup’ juga sekalian memperingati milad hijriyyah
saya yang keduapuluhdua, 13 Syawal 1437.
Hidup memang
sebuah perjuangan, walakin takdir ikut terlibat menentukan. Saya dan Hida sama-sama hidup dengan perjuangan. Kadang merasa kecewa
hasilnya tak sesuai harapan, lain kali terpana dengan hasil yang melebihi harapan. Juga kebersamaan kami pun
berhasil bertahan hingga sekarang
melalui serentetan perjuangan, dan juga takdir.
Hida adalah
tipikal orang yang tak pernah berjanji tapi ucapannya selalu bisa dipenuhi. Ia sangat hati-hati
dalam berungkap kalimat, lisan maupun tulisan. Yang paling memotivasi dan menginspirasi saya
adalah menyaksikan perkembangan Hida dari sejak kami kenal hingga sekarang.
Sejauh ini perkembangan Hida paling pesat
dalam battle-mate circle saya.
B.Sn.Pa.240737.020516.11:59