— as-syaikh al-imam al-'alim al-'allamah al-'arif billah Sayyiduna Tan Malaka radliyallahu'anhu
Perkenalan
saya dengan Tan Malaka
berlangsung setelah saya bermukim
di Bandung dan terjadi secara virtual. Disebut
virtual karena memang saya tidak menangi
sosok Tan Malaka semasa hidupnya. Sekitar lima windu pasca wafatnya Tan Malaka
saya baru lahir. Seingat saya, saya pernah mendengar atau mungkin membaca
namanya ketika remaja awal.
Hanya saja belum terlampau saya perhatikan
saat itu. Baru pada
pertengahan 2013, Tan Malaka menjadi sosok
yang menarik
perhatian saya.
Banyak
hal yang mulanya saya abaikan, justru bukan hal sembarangan. Dulu
ketika Ibuk mengabari saya kalau beliau sedang hamil, saya acuhkan saja seraya
tak percaya –meski pernah berharap Ibuk hamil lagi untuk ketiga kalinya.
Ternyata Ibuk benar-benar hamil dan melahirkan anak ketiga yang kelahirannya
membawa semangat perekat tali silaturahim yang sempat tersayat. Begitu pula Tan Malaka. Di awal
perkenalan, saya merasa biasa saja. Tetapi setelah mengelaborasi lebih lanjut,
melakukan follow-up dari sebuah
perkenalan virtual itu, saya langsung menyebutnya The Great One dan kemudian jatuh hati padanya.
Tan
Malaka adalah salah satu orang yang konsisten. Konsisten memperjuangkan
impiannya dengan prinsip yang dianutnya serta konsisten antara kepribadian
dengan ajaran yang disampaikan. Saya kagum dengan sosok-sosok yang konsisten,
dalam hal apapun. Jose Mourinho, Valentino Rossi, Paris Hilton, Zlatan
Ibrahimovic, Maria Sharapova, dan Cristiano Ronaldo, adalah beberapa contoh sosok
konsisten yang saya kagumi.
Sepanjang hidupnya, Tan
telah menempuh beragam pengalaman yang nano-nano rasanya: dari masa akhir
Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah
perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki,
Sumatera Barat, 2 Juni 1897 –tahun kelahirannya memiliki beragam versi, tapi 1897 yang paling kuat
diyakini– ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep
Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (MenujuRepublik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang
menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan
pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju
Indonesia Merdeka (1933).
Asbabun
nuzul penulisan buku
Naar de Republiek Indonesia ini
adalah kekesalan Tan Malaka ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa
ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal keinginannya
mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu. Maka di sela-sela
tugasnya sebagai agen Komintern (Komunisme Internasional) di Tiongkok, Tan pun
menulis sebuah brosur panjang: Naar de
Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia
menulis: “Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar
(intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.”
Naar
de Republiek terbit
di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar brosur ini dicetak. Yang
pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan kembali
mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925.
Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan
Pelajar Indonesia.
Buku kecil ini terdiri
atas tiga bab, masing-masing mengulas situasi politik dunia, kondisi Indonesia,
dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia. Pada subbab terakhir, Halilintar Membersihkan Udara, Tan
mengecam kaum terpelajar Indonesia yang, menurut dia, masa bodoh dengan
perjuangan kemerdekaan. Tulisnya: “Kepada kaum intelek kita seruhkan.... Tak
terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa
menjadi semakin keras?”
Selain Naar de
Republiek Indonesia, dari tanah
pelarian ia juga menulis Massa Actie (Aksi Massa) pada awal tahun
1926. Di Tanah Air, revolusi sudah “hamil tua”. Dari persembunyiannya di
Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis buku sepanjang 129 halaman agar
kelahirannya yang prematur, menurut dia, bisa dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa
Actie itu terlambat keluar
dari percetakan.
Pemberontakan Partai
Komunis Indonesia (PKI) 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaan Belanda.
Banyak pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang. Targetnya
tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru disambut penuh gairah
oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu; gerakan
antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dan seperti api
kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa
Actie adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah
ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie,
Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa ini,
memperkenalkan macam-macam imperialisme, menunjukkan apa arti revolusi, dan
menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat bisa bermanfaat. Inilah semacam proto-type
bagi revolusi massa; desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. “Massa
aksi terjadi dari orang banyak yang bergerak,” katanya.
Tan memperkenalkan pula
kepada sesama rakyat di negeri terjajah akan pentingnya persatuan di bawah
bendera Federasi Republik Indonesia; gabungan Indonesia Selatan, tempat
bercokolnya Hindia Belanda, dan Indonesia Utara, alias Filipina, yang dijajah
Amerika. Termasuk Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris.
Kira-kira petanya seperti peta negara Majapahit. “Mari kita satukan 100.000.000
yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas seluruh benua Asia
dan samuderanya,” Tan menulisnya.
Buku Massa Actie mengilhami Wage Rudolf Supratman, komponis
lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya. W.R. Supratman
memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian
akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk Khayal Seorang Revolusioner.
Di situ Tan antara lain menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri....
Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra
tumpah darahnya.” Juga dari bagian akhir yang lain dari Massa Actie, “Lindungi
bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang
selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”
Gagasan Tan Malaka
tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku. Ia tak punya kesempatan
untuk menuliskannya secara tuntas. Riak revolusi mengharuskan revolusioner
seperti Tan berada dalam kancah perjuangan fisik ketimbang di belakang meja.
Tan memberikan
perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan republik yang ia angankan.
Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah. Banyak yang mengancamnya. Di
dahan yang rendah, ia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi
dahan yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada
elang yang siap menyambar
sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup penuh ketakutan dan dengan
perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari
ketakutan seperti ini. Bebas dari belenggu dan teror pemangsa.
Tapi, jika burung gelatik
berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah
sedang menguning. Burung gelatik, yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk
yang lemah, bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada
ampun. Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis
disantap sekawanan gelatik.
Selain bebas dari
penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan
menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak
menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip merdeka
menurut penafsiran saya terhadap pemikiran
Tan Malaka.
Setelah merdeka, bangunan
Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang
persatuan, atau paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka
sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek Indonesia (Menuju
Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina, pada 1925, tiga tahun
sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Tan Malaka tegas bahwa
eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam
gagasan Tan Malaka tak menganut Trias
Politika ala Montesquieu yang biasa diajarkan di sekolah. Republik versi
Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah
organisasi.
Tan Malaka sejatinya tak
percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri
atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan.
Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan
menimbulkan kesenjangan antara aturan dan kenyataan di lapangan. Pelaksana di
lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan
yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika
aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (legislatif
–parlemen).
Demokrasi dengan sistem
parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam
kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang
sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat
berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan
rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya adalah
parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya
menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat
yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk
berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan. Kalau kita tarik ke
zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada.
Parlemen di mata Tan
Malaka tak lebih dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago
berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar.
Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus
diongkosi negara dengan biaya tinggi.
Singkatnya, keberadaan
parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen yang ditulis pada
1922 dengan tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia
kematangan berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada
Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat keras menentang
Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai.
Sebab, partai-partai pasti bermuara di parlemen.
Lalu seperti apa wujud
negara tanpa parlemen itu? Penjelasannya memang bisa memakan halaman yang
sangat banyak. Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah
organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana,
sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan peradilan.
Kalau saya
membayangkannya seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua organisasi
nasional yang menjadi identitas pribadi saya. Bangunan organisasinya dari
tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada
pemisahan antara pembuat aturan dan pelaksana aturan. Di dalam organisasi yang
sama pasti ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan
atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan yang
terpisah.
Untuk mengontrol
organisasi agar tak menjadi tirani kekuasaan, desain organisasi harus
dimainkan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu
yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah
tidak berubah menjadi serakah. Kongres organisasi (di Muhammadiyah dan NU
disebut muktamar), dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, harus
dilakukan dalam jarak yang tak terlalu lama. Waktu dua tahun mungkin ideal
untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak
memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka.
Barangkali bangunan
kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar. Sebab,
sudah demikian lama otak kita dicekoki oleh Trias
Politika ala Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif
dianggap tak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik,
organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations (UN) merupakan lembaga
yang tak demokratis. Omong-omong soal demokratis, saya lebih suka melihatnya
dari sisi ketercapaian tujuan alih-alih bentuk yang dipakai. Selama tujuan bisa
tercapai, bentuk apapun bisa disebut demokratis, termasuk kerajaan.
Gagasan Tan Malaka tampak
naif dan tak bisa diikuti. Hal ini pun wajar. Namun tak ada salahnya kita
menulis ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis yang ditulis pada 1946, Tan
meminta rakyat Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru. Yang
penting adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru matematika, Tan
tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah perhitungan, tapi menguasai
cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil hitungan yang benar.
Lebih dari 20 tahun hidup
Tan Malaka dihabiskan untuk ‘keluyuran’ di negeri lain. Dari agen Komintern
untuk Asia di Kanton sampai menjadi free
agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan
finansial hingga hidup merdeka seratus persen. Dari beragam pengalaman yang
dibeberkan dalam tulisan, Madilog
adalah karya Tan Malaka paling saya gemari. Madilog,
buku yang ditulisnya dalam persembunyian dari Kempetai, intelnya Jepang (1943), adalah warisannya yang paling gereget.
Madilog merupakan maha karya dari Tan
Malaka, sejenis demikian saya menyebutnya. Isinya menguraikan dengan luas dan
dalam mengenai filsafat, cara berpikir, dan bagaimana cara mengubah kebiasaan
berpikir masyarakat Indonesia yang cenderung mudah diperbudak menuju cara berpikir
baru yang membebaskan.
Kehebatan Madilog dapat dilihat dari beberapa hal:
Pertama, ketebalan buku. Tebal sekali buku yang Tan tulis ini.
Kedua, buku ini ditulis dalam sebuah bilik kecil (pondokan dari anyaman bambu) di Cililitan, Jakarta Timur, secara malar sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Ketiga, semua data berupa angka, referensi, dan acuan terhadap gagasan-gagasan orang lain sebagian besar dikutip dari luar kepala (mengandalkan daya ingat). Hal ini dikarenakan Tan Malaka kehilangan banyak buku selama ‘keluyuran’ di luar negeri. Sedangkan sebagian kecil diambil dari buku-buku perpustakaan yang sering didatanginya.
Keempat, wawasan yang dibentangkan di dalam bukunya itu sangat luas dan dalam. Gagasan yang tertulis di dalamnya bebas dari segala subyektifitas sehingga dapat digunakan untuk mempelajari apa saja dan dari siapa saja yang dianggap memiliki keterkaitan dengan permasalahannya.
Kelima, Tan Malaka seperti perpustakaan berjalan. Dalam Madilog, ia tampak menguasai seluruh pustaka penting di dunia. Di samping itu pengetahuan tersebut bukan untuk dihafalkan, walakin dicerna secara kritis sehingga terbentuklah konsepsinya sendiri.
Keenam, keadaan ruang dan waktu selama penulisan. Buku itu ditulis dalam keadaan perang sehingga terkesan buru-buru agar segera selesai. Meski demikian, terdapat usaha untuk tidak terjadi kekeliruan dalam berbagai rincian tulisan.
Dengan demikian, sulit untuk meragukan kecerdasan Tan Malaka. Setelah selesai belajar pada lembaga pendidikan formal di Belanda, ia tetap rajin belajar meski autodidak. Selama berada di luar negeri, ia mempelajari seluruh literatur yang dianggapnya sangat penting, mulai dari yang bersifat teoretis-filosofis, sampai yang berbau praktis. Oleh karena itu, buku Madilog yang memakai referensi di luar kepala itu merupakan perwujudan kritis dari hasil belajar, keluyuran, dan ngobrol-nya yang tekun.
Kehebatan Madilog dapat dilihat dari beberapa hal:
Pertama, ketebalan buku. Tebal sekali buku yang Tan tulis ini.
Kedua, buku ini ditulis dalam sebuah bilik kecil (pondokan dari anyaman bambu) di Cililitan, Jakarta Timur, secara malar sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Ketiga, semua data berupa angka, referensi, dan acuan terhadap gagasan-gagasan orang lain sebagian besar dikutip dari luar kepala (mengandalkan daya ingat). Hal ini dikarenakan Tan Malaka kehilangan banyak buku selama ‘keluyuran’ di luar negeri. Sedangkan sebagian kecil diambil dari buku-buku perpustakaan yang sering didatanginya.
Keempat, wawasan yang dibentangkan di dalam bukunya itu sangat luas dan dalam. Gagasan yang tertulis di dalamnya bebas dari segala subyektifitas sehingga dapat digunakan untuk mempelajari apa saja dan dari siapa saja yang dianggap memiliki keterkaitan dengan permasalahannya.
Kelima, Tan Malaka seperti perpustakaan berjalan. Dalam Madilog, ia tampak menguasai seluruh pustaka penting di dunia. Di samping itu pengetahuan tersebut bukan untuk dihafalkan, walakin dicerna secara kritis sehingga terbentuklah konsepsinya sendiri.
Keenam, keadaan ruang dan waktu selama penulisan. Buku itu ditulis dalam keadaan perang sehingga terkesan buru-buru agar segera selesai. Meski demikian, terdapat usaha untuk tidak terjadi kekeliruan dalam berbagai rincian tulisan.
Dengan demikian, sulit untuk meragukan kecerdasan Tan Malaka. Setelah selesai belajar pada lembaga pendidikan formal di Belanda, ia tetap rajin belajar meski autodidak. Selama berada di luar negeri, ia mempelajari seluruh literatur yang dianggapnya sangat penting, mulai dari yang bersifat teoretis-filosofis, sampai yang berbau praktis. Oleh karena itu, buku Madilog yang memakai referensi di luar kepala itu merupakan perwujudan kritis dari hasil belajar, keluyuran, dan ngobrol-nya yang tekun.
Madilog merupakan kependekan dari
Materialisme, Dialektika, dan Logika. Madilog
adalah imbauan dari Bapak Republik Indonesia kepada bangsa Indonesia agar mau
keluar dari kegelapan berpikir untuk memasuki cara berpikir yang rasional.
Di
dalam Madilog, Tan Malaka menilai
bangsa Indonesia menjadi terbelakang akibat cara berpikirnya yang terjebak
dalam logika mistika. Untuk keluar dari jebakan tersebut, diperlukan bantuan
logika materialisme. Logika inilah yang menjadi gagasan dasar dari Madilog.
Logika
mistika adalah logika gaib, yang didasarkan bukan pada realitas (apapun makna
realitas itu), tidak mencari sebab-akibat, melainkan mengembalikan segala
sesuatunya pada perbuatan roh-roh di alam gaib yang dianggap berada di belakang
alam nyata dan memengaruhi segala kejadian di dunia ini. Akibatnya, orang yang
terjebak dengan logika mistika tersebut sulit untuk maju. Ia tak mau tahu
dengan keadaan sebenarnya yang terjadi dengan sebab-sebab nyata di dunia ini. Malah
mengharapkan anugerah kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap memengaruhi
kehidupan.
Materialisme
adalah cara berpikir yang berasal dari kenyataan atau materi. Materialisme
adalah cara berpikir yang merupakan hasil dari penelitian ilmiah dan
berdasarkan pada kenyataan, bukan mitos-mitos, seperti yang dipaparkan 2NE1 melalui
nada dalam lagu Crush.
Dialektika
adalah cara berpikir timbal-balik. Maksudnya semua hal memiliki dua sudut
pandang. Orang yang tidak memakai dialektika akan menganggap dua sudut itu
bertentangan. Tetapi orang yang memakai dialektika, pertentangan itu justru
menjadi penggerak kemajuan. Memakai materialisme tidak cukup lantaran cenderung
stagnan. Dialektika dibutuhkan untuk melihat potensi-potensi yang ada pada
kenyataan sehingga dapat digunakan untuk mencapai kemajuan. Dialektika
ditampakkan oleh 2NE1 melalui nada dalam lagu
Gotta Be You.
Logika
adalah aturan tentang cara berpikir yang benar. Berpikir materialis dan
dialektis tidak cukup tanpa diiringi dengan berpikir logis. Logika berguna
untuk meraih kemajuan yang pasti (real
paradise) bukan kemajuan yang semu (virtual
paradise) seperti dijelaskan oleh 2NE1 melalui nada dalam lagu Come Back Home.
Di
dalam Madilog, Tan Malaka menjelaskan
semuanya dengan lengkap beserta contoh penggunaannya. Dari buku Madilog, tampak kentara kalau Tan Malaka
sangat mengagumi kemajuan dalam ilmu fisika, ilmu biologi, dan beragam ilmu
lainnya. Kekaguman itu membuatnya dengan serius mendalami semua ilmu tersebut.
Dari
pendalamannya pada setiap cabang ilmu tersebut, diambil nilai-nilai dasar
setiap ilmu yang dikumpulkan sebagai bahan pembentuk konsep-konsep dalam Madilog. Bagusnya, Tan Malaka bisa
membaca keadaan bangsa Indonesia sehingga konsep Madilog bisa tertanam subur di lahan Indonesia. Tan Malaka bahkan
sempat meninjau Yahudi, Nasrani, dan Islam menggunakan cara berpikir ala Madilog.
Madilog adalah juga sintesis 'keluyuran' dari
seorang Tan yang memiliki
personalitas Minangkabau
–orang Minang identik dengan perantau. Ini terjabarkan ke dalam dua poin
penting pemikiran Tan Malaka demi membumikan Madilog di tanah Indonesia, agar ajaran bisa dibumikan.
Pertama, Madilog lahir melalui sintesis
pertentangan pemikiran di antara dua kubu aliran filsafat, yaitu Hegel dengan
Marx-Engels.
Hegel dengan filsafat dialektika
(tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai
melalui perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling rendah menuju
taraf gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi
berhubungan satu sama lain. Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk
mencapai kebenaran mutlak, idea (pemikiran)
lebih penting daripada matter
(benda).
Sementara itu, bagi
Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah matter melalui revolusi perpindahan dominasi
kelas yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya,
yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter
bagi Marx-Engels lebih penting daripada idea.
Dalam Madilog, Tan Malaka mencoba
mensintesiskan kedua pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental
budaya pasif menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas dari alam
pikiran mistis. Melalui sains, mindset
masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif
dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas
sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas
sosial baru yang berwawasan Madilog.
Inilah proses ‘keluyuran’ secara pemikiran karena berbagai benturan
ide yang terjadi.
Kedua, identitas budaya
Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting konsep rantau dalam budaya
Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama merantau demi
pengembangan diri. Karakter masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan
antiparokial.
Konflik batin khas
perantau ditepisnya dengan tradisi berpikir rasional, didukung dengan basis
pendidikan guru, yang mengharuskan Tan menanamkan cara berpikir yang logis.
Sementara itu, merantau adalah juga mencari keselarasan hidup; yang tersusun
dari dinamika pertentangan dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau
yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat
maupun dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang
terpisahkan.
Sebagai sintesis hasil
perantauannya, Madilog merupakan perwujudan
simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya harus
ditelan begitu saja tanpa sikap hati-hati. Menurutya, justru kaum dogmatis yang
cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum bermental budak/pasif yang sebenarnya.
Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat dan konsep rantau
disintesiskan Tan Malaka.
Lembar demi lembar ditulisnya
di bawah suasana kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrem.
Namun Madilog-lah yang menjadi puncak
kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dari
Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rawajati (1943).
Tak hanya berprestasi
dalam penulisan gagasan, ia juga berprestasi dalam menggerakkan massa di
lapangan.
Di seputar Proklamasi,
Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat
raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat
yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang
waktu itu belum bergema keras dan ‘masih sebatas catatan di atas
kertas’.
Tan menulis aksi itu sebagai ‘uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan’. Setelah rapat ini, perlawanan
terhadap Jepang kian berani dan gencar.
Kehadiran Tan di Lapangan
Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Harry Albert Poeze, peneliti Tan
Malaka, bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti
pengetik naskah Proklamasi Sayuti Melik, mantan Menteri Luar Negeri Ahmad
Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian.
Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. No pict = hoax meski pict bisa diedit dengan Photoshop
wa ashabihi ajma’in.
Dokumen foto peristiwa
itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari
seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari
berbagai daerah bukan
perkara mudah.
Poeze mengambil jalan lain.
Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11
negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan
sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua
setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten,
pada
1940-an, ia selalu
memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali
berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika intelijen Belanda,
Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama
samaran dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89
ribu kilometer –dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Satu lagi bukti yang
mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur
rambut dalam tahanan di Hong Kong. “Sekonyong-konyong
tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil
capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun
mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong.
Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172
sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan
berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan
menggerakkan pemuda.
Tan tak pernah menyerah.
Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih
berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai
pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya
ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan
kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens, omong kosong.
Sebelum melawan Soekarno,
Tan pernah melawan arus dalam kongres Komintern di Moskow pada 1922. Ia
mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir
kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak
rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata
Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari
luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum
terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. “Revolusi bukanlah
sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan
itu tak matang.
Penolakan ini tak urung
membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah
segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia.
Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang
komunis dan muslim. Seperti ungkapnya,
“Di depan Tuhan saya seorang muslim”.
Kenyataannya, ia seorang hamil al-Quran
dan ber-thariqah. Perhatian utamanya
adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Salah satu kisah menarik
tentang Tan Malaka adalah pertemuan fisik dengan Abdurrahman Wahid alias Gus
Dur. Ketika Indonesia dibawah pendudukan Jepang, negeri matahari terbit
membentuk Kantor Urusan Agama yang disebut Shumubu.
Jepang yang tahu ada sosok karismatik di Indonesia bernama Hasyim Asy’ari
menunjuk Rais Akbar pertama NU ini sebagai ketuanya. Hal ini membuatnya dalam
posisi dilema. Di satu sisi, jika ia menolak tawaran tersebut, hubungan dengan
Jepang bakal bertambah buruk. Di sisi lain, jika ia menerimanya, bakal
menimbulkan opini publik yang cenderung negatif.
Di
tengah kegalauannya, Hasyim Asy’ari kemudian mengusulkan putera sulungnya,
Wahid Hasyim agar diperbolehkan bertindak sebagai pelaksana tugasnya (Plt).
Wahid Hasyim saat itu sudah menjadi tokoh nasional. Ia sudah terlibat dalam
pergerakan kelas nasional, seperti Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan
merintis perkembangan Hizbullah yang notabene sayap militer MIAI. Usulan ini
didasari atas argumen dari Hasyim Asy’ari yang saat itu sudah berusia 70
tahunan dan tangan kanannya sudah kurang prima digunakan.
Wahid
Hasyim kemudian pindah tempat tinggal di Menteng, Jakarta Pusat. Pada masa itu,
Menteng merupakan jantung ibukota yang diminati oleh pengusaha papan atas
hingga para politikus. Kebetulan istri Wahid Hasyim sendiri baru saja
melahirkan putera yang diberi nama Umar beberapa saat sebelumnya. Ia memilih
meninggalkan keluarganya di Jombang dan hanya membawa serta putera sulungnya,
Gus Dur menetap di sana.
Semenjak
tinggal di Menteng, Wahid Hasyim mulai intensif bertemu dengan tokoh-tokoh
nasional, seperti Mohammad Hatta, yang berkunjung ke rumahnya. Salah satu tamu
istimewa juga pernah menyambangi kediaman Wahid Hasyim. Tamu istimewa tersebut
biasa datang pada malam hari selepas waktu adzan Isya’. Pakaian yang
dikenakannya berwarna hitam yang tampak seperti petani. Bersama Wahid Hasyim,
tamu tersebut biasa bercakap hingga berjam-jam. Sang tamu meminta pada Gus Dur
yang masih kecil untuk memanggilnya dengan sapaan Paman Hussein. Beberapa tahun
kemudian Gus Dur baru sadar bahwa Paman Hussein adalah Tan Malaka, Bapak
Republik Indonesia yang terlupakan.
Hussein sendiri merupakan salah satu
nama samaran yang dipakai
Tan Malaka.
Selengkapnya,
ia menggunakan
nama Iljas Hussein, utamanya ketika keluyuran dari
Singapura hingga sampai ke
Bayah. Selain itu, ia juga sempat menggunakan
nama Elias Fuentes ketika keluyuran di
Filipina. Saya sendiri belum tahu mengapa Tan Malaka gemar
menggunakan
nama Ilyas/Iljas/Elias alih-alih Ibrahim/Abraham yang notabene adalah namanya
sendiri.
Tan Malaka adalah pejuang
kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup
dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus
meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong,
serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah
republik yang ia cita-citakan.
Dan yang tak kalah
penting, Tan Malaka adalah single
abadi setelah kisah cintanya kandas saat remaja. Ia memilih
melajang sepanjang zaman setelah asmaranya kandas di tengah jalan. Ia, ketika hidupnya,
begitu terlantar bahkan
banyak
dikhianati
liyan. Beberapa saat setelah kematian kontroversial
dan misterius pun ia masih terlantar. Hingga akhirnya, ketika ‘suara dari
dalam kubur’-nya
bergabung, Tan Malaka
mulai terlantan.
Tan Malaka meninggalkan
Planet Bumi
dalam suasana berduka. Mungkin seperti dalam lagu 2NE1, Happy, ia berkata pada kita semua, “I’m not happy but I wish you H-A-P-P-Y.”
2M6♈
Kota Lautan
Api