Terlantar, Terlantar, Terlantar, Terlantan

as-syaikh al-imam al-'alim al-'allamah al-'arif billah Sayyiduna Tan Malaka radliyallahu'anhu


Perkenalan saya dengan Tan Malaka berlangsung setelah saya bermukim di Bandung dan terjadi secara virtual. Disebut virtual karena memang saya tidak menangi sosok Tan Malaka semasa hidupnya. Sekitar lima windu pasca wafatnya Tan Malaka saya baru lahir. Seingat saya, saya pernah mendengar atau mungkin membaca namanya ketika remaja awal. Hanya saja belum terlampau saya perhatikan saat itu. Baru pada pertengahan 2013, Tan Malaka menjadi sosok yang menarik perhatian saya.


Banyak hal yang mulanya saya abaikan, justru bukan hal sembarangan. Dulu ketika Ibuk mengabari saya kalau beliau sedang hamil, saya acuhkan saja seraya tak percaya –meski pernah berharap Ibuk hamil lagi untuk ketiga kalinya. Ternyata Ibuk benar-benar hamil dan melahirkan anak ketiga yang kelahirannya membawa semangat perekat tali silaturahim yang sempat tersayat. Begitu pula Tan Malaka. Di awal perkenalan, saya merasa biasa saja. Tetapi setelah mengelaborasi lebih lanjut, melakukan follow-up dari sebuah perkenalan virtual itu, saya langsung menyebutnya The Great One dan kemudian jatuh hati padanya.

Tan Malaka adalah salah satu orang yang konsisten. Konsisten memperjuangkan impiannya dengan prinsip yang dianutnya serta konsisten antara kepribadian dengan ajaran yang disampaikan. Saya kagum dengan sosok-sosok yang konsisten, dalam hal apapun. Jose Mourinho, Valentino Rossi, Paris Hilton, Zlatan Ibrahimovic, Maria Sharapova, dan Cristiano Ronaldo, adalah beberapa contoh sosok konsisten yang saya kagumi.

Sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh beragam pengalaman yang nano-nano rasanya: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 –tahun kelahirannya memiliki beragam versi, tapi 1897 yang paling kuat diyakini– ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (MenujuRepublik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).


Asbabun nuzul penulisan buku Naar de Republiek Indonesia ini adalah kekesalan Tan Malaka ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu. Maka di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern (Komunisme Internasional) di Tiongkok, Tan pun menulis sebuah brosur panjang: Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis: “Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.”

Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia.

Buku kecil ini terdiri atas tiga bab, masing-masing mengulas situasi politik dunia, kondisi Indonesia, dan garis perjuangan Partai Komunis Indonesia. Pada subbab terakhir, Halilintar Membersihkan Udara, Tan mengecam kaum terpelajar Indonesia yang, menurut dia, masa bodoh dengan perjuangan kemerdekaan. Tulisnya: “Kepada kaum intelek kita seruhkan.... Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?”

Selain Naar de Republiek Indonesia, dari tanah pelarian ia juga menulis Massa Actie (Aksi Massa) pada awal tahun 1926. Di Tanah Air, revolusi sudah “hamil tua”. Dari persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis buku sepanjang 129 halaman agar kelahirannya yang prematur, menurut dia, bisa dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa Actie itu terlambat keluar dari percetakan.


Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaan Belanda. Banyak pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang. Targetnya tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu; gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa Actie adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.

Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa ini, memperkenalkan macam-macam imperialisme, menunjukkan apa arti revolusi, dan menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat bisa bermanfaat. Inilah semacam proto-type bagi revolusi massa; desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. “Massa aksi terjadi dari orang banyak yang bergerak,” katanya.

Tan memperkenalkan pula kepada sesama rakyat di negeri terjajah akan pentingnya persatuan di bawah bendera Federasi Republik Indonesia; gabungan Indonesia Selatan, tempat bercokolnya Hindia Belanda, dan Indonesia Utara, alias Filipina, yang dijajah Amerika. Termasuk Semenanjung Malaka, yang ada di bawah kuasa Inggris. Kira-kira petanya seperti peta negara Majapahit. “Mari kita satukan 100.000.000 yang tertindas dan mendiami pusat strategi dan lalu lintas seluruh benua Asia dan samuderanya,” Tan menulisnya.

Buku Massa Actie mengilhami Wage Rudolf Supratman, komponis lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya. W.R. Supratman memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk Khayal Seorang Revolusioner. Di situ Tan antara lain menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.” Juga dari bagian akhir yang lain dari Massa Actie, “Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”

Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar di banyak buku. Ia tak punya kesempatan untuk menuliskannya secara tuntas. Riak revolusi mengharuskan revolusioner seperti Tan berada dalam kancah perjuangan fisik ketimbang di belakang meja.

Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah. Banyak yang mengancamnya. Di dahan yang rendah, ia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Tapi dahan yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tak merdeka. Ia hidup penuh ketakutan dan dengan perasaan terancam. Serba tak bebas. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari belenggu dan teror pemangsa.

Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi di saat sawah sedang menguning. Burung gelatik, yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk yang lemah, bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia. Padinya habis disantap sekawanan gelatik.

Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip merdeka menurut penafsiran saya terhadap pemikiran Tan Malaka.

Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, atau paling jauh berpikir tentang Indonesia Merdeka, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina, pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.

Tan Malaka tegas bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tak menganut Trias Politika ala Montesquieu yang biasa diajarkan di sekolah. Republik versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien. Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi.

Tan Malaka sejatinya tak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan kenyataan di lapangan. Pelaksana di lapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (legislatif –parlemen).

Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5, atau 6 tahun. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.

Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili. Menurut Tan, parlemen dengan sendirinya akan tergoda untuk berselingkuh dengan eksekutif, perusahaan, dan perbankan. Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada.

Parlemen di mata Tan Malaka tak lebih dari sekadar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan berbual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menonjol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.

Singkatnya, keberadaan parlemen dalam republik yang diimpikan Tan Malaka tak boleh ada. Buku Soviet atau Parlemen yang ditulis pada 1922 dengan tegas memperlihatkan pendirian Tan Malaka. Sampai usia kematangan berpikirnya, Tan tak banyak berubah, kecuali dalam soal ketundukan kepada Komintern Moskow. Karena pendirian ini pula Tan Malaka sangat keras menentang Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada 1945 tentang pendirian partai-partai. Sebab, partai-partai pasti bermuara di parlemen.


Lalu seperti apa wujud negara tanpa parlemen itu? Penjelasannya memang bisa memakan halaman yang sangat banyak. Sederhananya, negara dalam mimpi Tan Malaka dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, sebagai pemeriksa atau pengawas, dan sebagai badan peradilan.

Kalau saya membayangkannya seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dua organisasi nasional yang menjadi identitas pribadi saya. Bangunan organisasinya dari tingkat terendah sampai tingkat nasional bisa diandaikan seperti itu. Tidak ada pemisahan antara pembuat aturan dan pelaksana aturan. Di dalam organisasi yang sama pasti ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada sejenis badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Begitulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan yang terpisah.

Untuk mengontrol organisasi agar tak menjadi tirani kekuasaan, desain organisasi harus dimainkan. Ritual pemilihan pejabat organisasi tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama, agar kepercayaan tak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak berubah menjadi serakah. Kongres organisasi (di Muhammadiyah dan NU disebut muktamar), dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, harus dilakukan dalam jarak yang tak terlalu lama. Waktu dua tahun mungkin ideal untuk mengevaluasi kerja para pejabat organisasi. Jika kerja mereka tak memuaskan, kongres organisasi akan menjatuhkan mereka.

Barangkali bangunan kenegaraan seperti di atas jauh dari demokratis. Hal itu sangat wajar. Sebab, sudah demikian lama otak kita dicekoki oleh Trias Politika ala Montesquieu. Jika bangunan organisasi tanpa badan legislatif dianggap tak demokratis, boleh juga kita mengatakan bahwa partai politik, organisasi kemasyarakatan, ASEAN, bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations (UN) merupakan lembaga yang tak demokratis. Omong-omong soal demokratis, saya lebih suka melihatnya dari sisi ketercapaian tujuan alih-alih bentuk yang dipakai. Selama tujuan bisa tercapai, bentuk apapun bisa disebut demokratis, termasuk kerajaan.

Gagasan Tan Malaka tampak naif dan tak bisa diikuti. Hal ini pun wajar. Namun tak ada salahnya kita menulis ulang semangat dalam gagasan kenegaraan Tan Malaka. Dalam Thesis yang ditulis pada 1946, Tan meminta rakyat Indonesia tak menghafalkan hasil berpikir seorang guru. Yang penting adalah cara dan semangat berpikirnya. Ibarat seorang guru matematika, Tan tak ingin menuntut muridnya menghafal hasil sebuah perhitungan, tapi menguasai cara berpikir untuk bisa memperoleh hasil hitungan yang benar.


Lebih dari 20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk keluyuran di negeri lain. Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga hidup merdeka seratus persen. Dari beragam pengalaman yang dibeberkan dalam tulisan, Madilog adalah karya Tan Malaka paling saya gemari. Madilog, buku yang ditulisnya dalam persembunyian dari Kempetai, intelnya Jepang (1943), adalah warisannya yang paling gereget.


Madilog merupakan maha karya dari Tan Malaka, sejenis demikian saya menyebutnya. Isinya menguraikan dengan luas dan dalam mengenai filsafat, cara berpikir, dan bagaimana cara mengubah kebiasaan berpikir masyarakat Indonesia yang cenderung mudah diperbudak menuju cara berpikir baru yang membebaskan.

Kehebatan Madilog dapat dilihat dari beberapa hal:
Pertama, ketebalan buku. Tebal sekali buku yang Tan tulis ini.
Kedua, buku ini ditulis dalam sebuah bilik kecil (pondokan dari anyaman bambu) di Cililitan, Jakarta Timur, secara malar sejak 15 Juli 1942 sampai 30 Maret 1943.
Ketiga, semua data berupa angka, referensi, dan acuan terhadap gagasan-gagasan orang lain sebagian besar dikutip dari luar kepala (mengandalkan daya ingat). Hal ini dikarenakan Tan Malaka kehilangan banyak buku selama ‘keluyuran’ di luar negeri. Sedangkan sebagian kecil diambil dari buku-buku perpustakaan yang sering didatanginya.
Keempat, wawasan yang dibentangkan di dalam bukunya itu sangat luas dan dalam. Gagasan yang tertulis di dalamnya bebas dari segala subyektifitas sehingga dapat digunakan untuk mempelajari apa saja dan dari siapa saja yang dianggap memiliki keterkaitan dengan permasalahannya.
Kelima, Tan Malaka seperti perpustakaan berjalan. Dalam Madilog, ia tampak menguasai seluruh pustaka penting di dunia. Di samping itu pengetahuan tersebut bukan untuk dihafalkan, walakin dicerna secara kritis sehingga terbentuklah konsepsinya sendiri.
Keenam, keadaan ruang dan waktu selama penulisan. Buku itu ditulis dalam keadaan perang sehingga terkesan buru-buru agar segera selesai. Meski demikian, terdapat usaha untuk tidak terjadi kekeliruan dalam berbagai rincian tulisan.


Dengan demikian, sulit untuk meragukan kecerdasan Tan Malaka. Setelah selesai belajar pada lembaga pendidikan formal di Belanda, ia tetap rajin belajar meski autodidak. Selama berada di luar negeri, ia mempelajari seluruh literatur yang dianggapnya sangat penting, mulai dari yang bersifat teoretis-filosofis, sampai yang berbau praktis. Oleh karena itu, buku Madilog yang memakai referensi di luar kepala itu merupakan perwujudan kritis dari hasil belajar, keluyuran, dan ngobrol-nya yang tekun.

Madilog merupakan kependekan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Madilog adalah imbauan dari Bapak Republik Indonesia kepada bangsa Indonesia agar mau keluar dari kegelapan berpikir untuk memasuki cara berpikir yang rasional.

Di dalam Madilog, Tan Malaka menilai bangsa Indonesia menjadi terbelakang akibat cara berpikirnya yang terjebak dalam logika mistika. Untuk keluar dari jebakan tersebut, diperlukan bantuan logika materialisme. Logika inilah yang menjadi gagasan dasar dari Madilog.

Logika mistika adalah logika gaib, yang didasarkan bukan pada realitas (apapun makna realitas itu), tidak mencari sebab-akibat, melainkan mengembalikan segala sesuatunya pada perbuatan roh-roh di alam gaib yang dianggap berada di belakang alam nyata dan memengaruhi segala kejadian di dunia ini. Akibatnya, orang yang terjebak dengan logika mistika tersebut sulit untuk maju. Ia tak mau tahu dengan keadaan sebenarnya yang terjadi dengan sebab-sebab nyata di dunia ini. Malah mengharapkan anugerah kekuatan-kekuatan gaib yang dianggap memengaruhi kehidupan.

Materialisme adalah cara berpikir yang berasal dari kenyataan atau materi. Materialisme adalah cara berpikir yang merupakan hasil dari penelitian ilmiah dan berdasarkan pada kenyataan, bukan mitos-mitos, seperti yang dipaparkan 2NE1 melalui nada dalam lagu Crush.

Dialektika adalah cara berpikir timbal-balik. Maksudnya semua hal memiliki dua sudut pandang. Orang yang tidak memakai dialektika akan menganggap dua sudut itu bertentangan. Tetapi orang yang memakai dialektika, pertentangan itu justru menjadi penggerak kemajuan. Memakai materialisme tidak cukup lantaran cenderung stagnan. Dialektika dibutuhkan untuk melihat potensi-potensi yang ada pada kenyataan sehingga dapat digunakan untuk mencapai kemajuan. Dialektika ditampakkan oleh 2NE1 melalui nada dalam lagu Gotta Be You.

Logika adalah aturan tentang cara berpikir yang benar. Berpikir materialis dan dialektis tidak cukup tanpa diiringi dengan berpikir logis. Logika berguna untuk meraih kemajuan yang pasti (real paradise) bukan kemajuan yang semu (virtual paradise) seperti dijelaskan oleh 2NE1 melalui nada dalam lagu Come Back Home.

Di dalam Madilog, Tan Malaka menjelaskan semuanya dengan lengkap beserta contoh penggunaannya. Dari buku Madilog, tampak kentara kalau Tan Malaka sangat mengagumi kemajuan dalam ilmu fisika, ilmu biologi, dan beragam ilmu lainnya. Kekaguman itu membuatnya dengan serius mendalami semua ilmu tersebut.

Dari pendalamannya pada setiap cabang ilmu tersebut, diambil nilai-nilai dasar setiap ilmu yang dikumpulkan sebagai bahan pembentuk konsep-konsep dalam Madilog. Bagusnya, Tan Malaka bisa membaca keadaan bangsa Indonesia sehingga konsep Madilog bisa tertanam subur di lahan Indonesia. Tan Malaka bahkan sempat meninjau Yahudi, Nasrani, dan Islam menggunakan cara berpikir ala Madilog.

Madilog adalah juga sintesis 'keluyuran' dari seorang Tan yang memiliki personalitas Minangkabau –orang Minang identik dengan perantau. Ini terjabarkan ke dalam dua poin penting pemikiran Tan Malaka demi membumikan Madilog di tanah Indonesia, agar ajaran bisa dibumikan.

Pertama, Madilog lahir melalui sintesis pertentangan pemikiran di antara dua kubu aliran filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels.

Hegel dengan filsafat dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama lain. Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, idea (pemikiran) lebih penting daripada matter (benda).

Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter bagi Marx-Engels lebih penting daripada idea.

Dalam Madilog, Tan Malaka mencoba mensintesiskan kedua pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas dari alam pikiran mistis. Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog. Inilah proses keluyuran secara pemikiran karena berbagai benturan ide yang terjadi.

Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting konsep rantau dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama merantau demi pengembangan diri. Karakter masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan antiparokial.

Konflik batin khas perantau ditepisnya dengan tradisi berpikir rasional, didukung dengan basis pendidikan guru, yang mengharuskan Tan menanamkan cara berpikir yang logis. Sementara itu, merantau adalah juga mencari keselarasan hidup; yang tersusun dari dinamika pertentangan dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang terpisahkan.

Sebagai sintesis hasil perantauannya, Madilog merupakan perwujudan simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya harus ditelan begitu saja tanpa sikap hati-hati. Menurutya, justru kaum dogmatis yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum bermental budak/pasif yang sebenarnya. Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka.

Lembar demi lembar ditulisnya di bawah suasana kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrem. Namun Madilog-lah yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dari Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rawajati (1943).



Tak hanya berprestasi dalam penulisan gagasan, ia juga berprestasi dalam menggerakkan massa di lapangan.

Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan masih sebatas catatan di atas kertas. Tan menulis aksi itu sebagai uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.

Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Harry Albert Poeze, peneliti Tan Malaka, bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti pengetik naskah Proklamasi Sayuti Melik, mantan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. No pict = hoax meski pict bisa diedit dengan Photoshop wa ashabihi ajma’in.

Harry Albert Poeze

Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari
berbagai daerah bukan perkara mudah.

Poeze mengambil jalan lain. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada
1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika intelijen Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama samaran dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer –dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.


Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. “Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.


Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens, omong kosong.

Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komintern di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. “Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.


Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis dan muslim. Seperti ungkapnya, “Di depan Tuhan saya seorang muslim”. Kenyataannya, ia seorang hamil al-Quran dan ber-thariqah. Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

Tan Malaka dan Sukarni

Salah satu kisah menarik tentang Tan Malaka adalah pertemuan fisik dengan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika Indonesia dibawah pendudukan Jepang, negeri matahari terbit membentuk Kantor Urusan Agama yang disebut Shumubu. Jepang yang tahu ada sosok karismatik di Indonesia bernama Hasyim Asy’ari menunjuk Rais Akbar pertama NU ini sebagai ketuanya. Hal ini membuatnya dalam posisi dilema. Di satu sisi, jika ia menolak tawaran tersebut, hubungan dengan Jepang bakal bertambah buruk. Di sisi lain, jika ia menerimanya, bakal menimbulkan opini publik yang cenderung negatif.

Di tengah kegalauannya, Hasyim Asy’ari kemudian mengusulkan putera sulungnya, Wahid Hasyim agar diperbolehkan bertindak sebagai pelaksana tugasnya (Plt). Wahid Hasyim saat itu sudah menjadi tokoh nasional. Ia sudah terlibat dalam pergerakan kelas nasional, seperti Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan merintis perkembangan Hizbullah yang notabene sayap militer MIAI. Usulan ini didasari atas argumen dari Hasyim Asy’ari yang saat itu sudah berusia 70 tahunan dan tangan kanannya sudah kurang prima digunakan.

Wahid Hasyim kemudian pindah tempat tinggal di Menteng, Jakarta Pusat. Pada masa itu, Menteng merupakan jantung ibukota yang diminati oleh pengusaha papan atas hingga para politikus. Kebetulan istri Wahid Hasyim sendiri baru saja melahirkan putera yang diberi nama Umar beberapa saat sebelumnya. Ia memilih meninggalkan keluarganya di Jombang dan hanya membawa serta putera sulungnya, Gus Dur menetap di sana.

Semenjak tinggal di Menteng, Wahid Hasyim mulai intensif bertemu dengan tokoh-tokoh nasional, seperti Mohammad Hatta, yang berkunjung ke rumahnya. Salah satu tamu istimewa juga pernah menyambangi kediaman Wahid Hasyim. Tamu istimewa tersebut biasa datang pada malam hari selepas waktu adzan Isya’. Pakaian yang dikenakannya berwarna hitam yang tampak seperti petani. Bersama Wahid Hasyim, tamu tersebut biasa bercakap hingga berjam-jam. Sang tamu meminta pada Gus Dur yang masih kecil untuk memanggilnya dengan sapaan Paman Hussein. Beberapa tahun kemudian Gus Dur baru sadar bahwa Paman Hussein adalah Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia yang terlupakan.

Hussein sendiri merupakan salah satu nama samaran yang dipakai Tan Malaka. Selengkapnya, ia menggunakan nama Iljas Hussein, utamanya ketika keluyuran dari Singapura hingga sampai ke Bayah. Selain itu, ia juga sempat menggunakan nama Elias Fuentes ketika keluyuran di Filipina. Saya sendiri belum tahu mengapa Tan Malaka gemar menggunakan nama Ilyas/Iljas/Elias alih-alih Ibrahim/Abraham yang notabene adalah namanya sendiri.

Tan Malaka dan Murid-Muridnya

Tan Malaka adalah pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.

Dan yang tak kalah penting, Tan Malaka adalah single abadi setelah kisah cintanya kandas saat remaja. Ia memilih melajang sepanjang zaman setelah asmaranya kandas di tengah jalan. Ia, ketika hidupnya, begitu terlantar bahkan banyak dikhianati liyan. Beberapa saat setelah kematian kontroversial dan misterius pun ia masih terlantar. Hingga akhirnya, ketika ‘suara dari dalam kubur’-nya bergabung, Tan Malaka mulai terlantan.


Tan Malaka meninggalkan Planet Bumi dalam suasana berduka. Mungkin seperti dalam lagu 2NE1, Happy, ia berkata pada kita semua, “I’m not happy but I wish you H-A-P-P-Y.

2M6
Kota Lautan Api