Memperingati Haul Ketigabelas Daijiro Kato 74
Kamis 07 April 2016 esok, adalah saat yang
tepat untuk mengingat. Mengingat sebuah peristiwa kelam dalam ajang
penuh uang. Mengingat perginya sang legenda yang, walau tak pernah meraih mahkota di kelas tertinggi,
namanya selalu terkenang. Mengingat bahwa dalam satu kejuaraan yang tampak sempurna masih terdapat celah celanya.
Daijiro Kato, pembalap yang menggunakan nomor 74 ini, meninggal pada tanggal
sekarang tigabelas tahun yang lalu. Meninggal di rumah, meninggalkan kisah dan hikmah.
Daijiro Kato adalah
salah satu pebalap asal Jepang, pebalap Jepang terbaik di MotoGP sejauh ini.
Bicara mengenai Jepang, Kato, dan MotoGP, kita bisa teringat dengan kenangan
pedih masa lalu. Sirkuit Suzuka Jepang menjadi saksi bisu peristiwa tragis,
sejarah kelam dalam arena Moto GP dan dunia olah raga pada umumnya. Tak
ada yang kebetulan dalam setiap peristiwa yang terjadi. Semua peristiwa sudah ditatakan oleh Yang Maha Lebih Menata. Selalu ada pesan dalam
setiap peristiwa. Valentino Rossi pernah mengungkapkan bahwa dalam
peristiwa tersebut, ia menangkap pesan bahwa penyelenggara MotoGP terlalu
berlebihan.
Begitu ada pebalap yang
tewas saat balapan, dampaknya dirasakan orang lain, di mana pun mereka berada.
Tak jadi soal siapa mereka, terutama para pebalap yang bertarung di arena yang
sama. Mereka kehilangan orang yang memiliki semangat yang sama, yang juga
memiliki ikatan emosional begitu melihat motor, yang menanggung beban bersama,
yang sama-sama menanggung risiko, yang memiliki gaga hidup yang sama. Para pebalap tentu
menyadari risiko pekerjaan mereka, namun tak terlalu mereka pikirkan. Lagipula
tak ada yang mau memikirkan hal itu. Tak ada yang mau memikirkan risiko pekerjaan ketika pekerjaan dirasa menjadi satu-satunya pilihan bertahan hidup.
Kato tewas terbentur
dinding pembatas dinding yang rendah, yang tak semestinya ada di sana. Cukup jauh
dari trek balapan dan sebenarnya cukup terlindung. Karena tempat Kato keluar
dari trek tak memiliki ruang kosong yang memadai, apalagi kalau ada serangkaian
dinding pembatas rendah yang siap menunggu benturan. Andaikan sirkuit tersebut
memiliki ruang yang cukup di luar trek, pasti jadi lain ceritanya. Akibatnya
pasti tak separah yang terjadi.
Di luar nasib dan di
luar nalar, sungguh ironis kalau di zaman modern ini sampai ada pebalap yang tewas
akibat menabrak dinding. Hal itu tak ada hubungannya dengan apa yang dipikirkan
sang pebalap atau apa yang sedang dipikirkan Kato. Karena kejadian semacam itu
bisa menimpa siapa saja, di mana pun dan kapan pun. Khususnya dalam trek
berbahaya seperti di Suzuka. Banyak yang sudah mengatakan hal itu dulu, sebelum terjadi peristiwa kelabu itu. Suzuka belum memiliki prasyarat yang
memadai untuk balapan motor.
Suzuka adalah
trek yang sungguh hebat untuk dilihat dan sarat
emosi ketika dinimati. Namun, sangat berbahaya dan merupakan satu kesalahan besar
kalau menempatkannya kembali dalam kalender balapan hanya karena sejarahnya
yang hebat.
Sebelum tragedi yang
menimpa Kato, para pebalap belum terorganisasi. Mereka belum dianggap penting,
semua keputusan dibuat tanpa masukan dari pebalap. Itu sebelum para pebalap
mendirikan Komisi Keselamatan. Sebelum terbentuknya badan itu, pendapat para
pebalap tak didengar.
Para pebalap membentuk
Komisi Keselamatan atas dasar tragedi yang menimpa Kato. Dan sekarang mereka
punya suara. Mereka memilih perwakilannya untuk menyuarakan aspirasi mereka. Kalau
menyangkut soal keamanan, pendapat para pebalap menjadi prioritas pertama dalam
keputusannya nanti. Karena hanya mereka yang tahu situasi-situasi tertentu, merekalah
yang tahu betul setiap trek, luar-dalamnya. Mereka bisa melihat hal-hal yang tak diperhatikan oleh panitia penyelenggara. Kalau ingin tahu
seberapa berbahayanya dinding pembatas trek, dekati saja salah satunya di
MotoGP pada kecepatan 250 km/jam. Baru setelah itu bisa dimengerti.
Sejak mulainya MotoGP,
masalahnya bukan hanya soal kecepatan, namun akselerasi. Totalitas tenaga pada
motor, dikombinasikan dengan ketepatan perangkat elektronik yang ada, telah
mengubah reaksi soal waktu dalam pikiran pebalap juga motor itu sendiri. Sebelumnya,
manusia di Dorna, tak ada yang tahu soal ini. Karena mereka tak pernah
naik motor sebesar itu dalam trek yang dipakai pebalap. Sekalipun mereka naik
motor itu, mereka pasti tak mampu mencapai kecepatan yang tempuh pada pebalap.
Warisan penting dari
tragedi yang menimpa Kato adalah munculnya kebersamaan para pebalap. Memberi mereka
rasa persatuan. Para pebalap bisa duduk berdampingan dengan Dorna dan para
pendirinya. Dan pihak Dorna mesti memerhatikan pendapat pebalap.
Tahun 2002, saat awal
era MotoGP. Ada perubahan besar dibanding era 500cc. Semuanya menjadi serba berbasis
teknologi modern. Juga lebih antusias, mungkin akibat adanya pandangan baru,
kesempatan baru.
Motor 500cc telah
mencapai potensi maksimumnya. Perkembangannya stabil dari tahun ke tahun tanpa
perubahan mendasar. Namun, dengan hadirnya tim-tim MotoGP dan para pendirinya
mulai berinvestasi besar-besaran pada motor, teknologi baru membawa lebih
banyak tantangan dan kesempatan. Juga banyak biaya.
Lalu menjadi lingkaran
setan. Lebih banyak uji coba, lebih banyak investasinya, motor yang lebih
cepat, kinerja yang lebih baik. Serba lebih besar, lebih baik, lebih cepat, dan
banyak lagi. Dan itulah mengapa kecelakaan yang menimpa Kato menjadi hal yang
sangat penting untuk direnungkan.
Hari itu di Suzuka, para
pebalap tak tahu apa-apa soal itu. Mereka melihat bendera kuning, hanya itu. Panitia
membersihkan treknya lalu pebalap melanjutkan balapan. Grand Prix mestinya
dihentikan. Tak perlu ada pertanyaan dan alasan soal itu. Namun, panitia tak berhenti.
Dan itu adalah kesalahan yang amat besar.
Para pebalap mengajukan
protes, mereka menjadi marah. Sejauh yang pebalap tahu, balapan berlanjut
dengan satu alasan, satu alasan saja: hak tayang televisi, yang terlanjur
dijual dan dibeli hak siar lewat satelitnya. Bagi Kato, berhenti tak akan
mengubah apa-apa. Benturan fatal yang menimpanya begitu keras sehingga ia langsung
tewas di tempat, di trek balapan. Mereka berusaha menyadarkan dan berhasil
mengembalikan detak jantungnya, namun tulang belakang dan otaknya rusak parah.
Beberapa hari kemudian, jantungnya benar-benar berhenti.
Segera setelah
membentuk Komisi Keselamatan, salah satu tuntutan pebalap adalah mengubah
peraturan yang berhubungan dengan pembatalan uji coba atau balapan. Sejak saat
itu, uji coba atau balapan akan dihentikan kalau ada kecelakaan yang menuntut
campur tangan dokter langsung saat di trek, atau kalau ada pebalap yang pingsan
setelah kecelakaan, atau kalau menurut dokter pembalap itu terluka parah.
Dalam peristiwa Kato,
setelah balapan selesai, para pebalap merasa ada sesuatu yang tak beres.
Kalaupun ada yang tahu, tak seorang pun yang mau menceritakan apa yang sebenarnya
terjadi. Paco, kepala bagian urusan pers Dorna hanya mengatakan, “Kato
terjatuh, dibawa oleh helikopter.” Hanya itu. Kata-kata
itu bisa berarti apa saja, atau bukan apa-apa.
Mendengar ungkapan
seperti itu, tentu tak akan ada yang membayangkan hal terburuk. Karena itu
perayaan setelah balapan di podium tak terasa dalam suasana duka. Malah bagi
Rossi terasa sangat bahagia pasalnya ia di urutan pertama, Biaggi kedua,
Capirossi di urutan ketiga, tiga pebalap Italia berdiri di atas podium.
Mungkin Rossi, Biaggi, dan Capirossi tak gairah lagi merayakan kemenangan itu
jika mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka pasti tak akan bisa
menikmati pesta kemenangan dengan wajar.
Setelah mereka turun
podium, panitia baru menceritakan apa yang terjadi. “Ini serius,”
kata panitia. Rossi dan para kolega balapannya makin merasakannya selama acara
jumpa pers, namun mereka hanya tahu setengah-setengah saja kebenaran dan penjelasan
yang dikatakan pihak penyelenggara.
Rossi penasaran dengan
apa yang sebenarnya terjadi. Ia kemudian pergi ke Mobile Clinic setelah jumap
pers, ingin mencari tahu lebih jauh. Sayangnya Rossi harus kecewa. Marco
Montanari, ahli fisioterapi Rossi, dan dokter Costa, dokternya Rossi, tak memberikan
keterangan jelas mengenai kondisi Daijiro Kato. “Dia terluka parah,
namun kita lihat saja...” hanya itu yang mereka katakan. Hanya itu yang selalu dikatakan semua
orang.
Para pebalap bahkan
memaksa panitia untuk menceritakannya. Saat itu, Kato sedang dalam keadaan
koma.
Beberapa pekan setelah
balapan naas itu, tempat kejuaraan balap pindah ke Afrika Selatan dan para
pebalap menikmati liburan akhir pekan di sana. Semua orang punya stiker
bernomor 74, nomor Kato. Ada pada bodi motor, baju, helm, dsb dst. Pada
akhirnya, posisi Daijiro Kato di MotoGP digantikan oleh pebalap Jepang lain,
Ryuichi Kiyonari. Pasca wafatnya Kato, belum ada lagi pebalap asal Jepang yang
mampu bersaing di papan atas kelas teratas MotoGP. Bukan hal baik bagi Jepang, juga Aisa.
B.Ah.Wg.171235.121014.00:02
B. Jm.Po.270637.070416.19:43