Makhluk Tuhan Paling Seksi


The One and Only Master Mister Commander Ahmad Dhani Prasetyo


Berkali-kali dunia ekspresi seni di tanah air dibuldoser dengan penafsiran atas keyakinan-keyakinan tertentu. Para penafsir berlaku seolah-olah Musa menghujat Fir’aun, meskipun ia belum tentu seperti Musa, dan yang dihujat belum tentu seperti Fir’aun. Tanpa harus menghakimi siapa yang benar dan siapa yang salah, cara-cara semacam itu tidak pernah menghasilkan jalan keluar yang bagus bagi kedua belah pihak.

Biasanya, pelaku buldoser ini adalah kelompok yang memiliki sikap fanatisme berlebihan terhadap penafsirannya, sehingga kelompok lain yang berbeda dengannya disebut dengan sebutan sesat, goblog, atau kalimat serupa yang tentunya tak layak ucap. Seringkali kaum fanatis begitu membenci kelompok yang dianggapnya sesat tersebut. Tak jarang kebencian dilampiaskan dengan tindakan merusak. Rasa cinta sesama manusia telah luntur, tergusur oleh lekatnya dogma yang sangat mereka yakini kebenarannya.

Ahmad Dhani Prasetyo, atau biasa disapa Dhani, telah mengalami sendiri bagaimana rasanya dihujat oleh kaum fanatis seperti ini. Dhani juga sudah akrab dengan berbagai fitnah yang dialamatkan pada dirinya. Laki kelahiran Jakarta 26 Mei 1972 dan besar di Surabaya ini adalah seorang muslim. Saya tidak tahu dan tidak perlu tahu seberapa besar kadar kualitas kemuslimannya. Dalam kitab mulia al-Quran disebutkan:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
(Al-Baqoroh: 208)

Kata كَافَّةً mungkin memiliki banyak penafsiran. Dhani, dengan kapasitasnya sebagai seniman, tentu memiliki penafsiran tersendiri tentang ayat tersebut. Seniman hanyalah sebutan bagi seseorang yang tidak berkaitan langsung dengan kadar keimanan, keislaman, dan keihsanan seseorang.


Sebuah kenyataan, tak sedikit diantara kaum seniman menggemari praktik-praktik tasawuf. Tasawuf dianggap sebagai jalan rohani yang mengantarkan pada kesucian jiwa. Namun banyak juga dari umat Islam sendiri yang antipati terhadap tasawuf karena dianggap sebagai ajaran sesat. Bahkan mereka sampai memendam rasa benci sampai mati pada tasawuf.

Begitu juga seni, banyak kaum agamawan yang memendam rasa antipati pada seni. Seni merupakan unjuk rasa manusia yang dituangkan dalam kreasi dengan bentuk gerak, suara, rupa, nada, maupun tulisan. Seni memiliki unsur keindahan dan dapat memengaruhi perasaan orang lain. Namun oleh sebagian agamawan, seni dianggap sebagai jalan yang menyesatkan dan melanggar syariat.

Dzunnun al-Mishri, gurunya Abu Yazid al-Bustomi, menuturkan bahwa seni merupakan suara kebenaran yang bisa mengantarkan kepada Yang Maha Benar. Seni menjadi pemantik semangat untuk mendekat pada Ilahi-Rabbi dengan mengosongkan hati dari residu sifat tak baik agar siap diisi dengan sifat-sifat baik (takhalli). Sifat-sifat baik ini kemudian dibiasakan (tahalli) untuk menjadi jalan manunggal dengan-Nya (tajalli).

Dunia seni inilah yang saat ini mulai ditekuni oleh Dhani. Selain itu, ia juga getol mendalami tasawuf. Barangkali karena Dhani adalah seniman yang turut berkecimpung dalam dunia tasawuf, maka ia dikatakan sesat. Ungkapan penghujat berteriak, kafilah tetap berlalu, mungkin tepat untuk Dhani. Dhani tetaplah Dhani, dengan segala kontroversi, ia juga mengukir banyak prestasi.

Dhani seakan telah ditakdirkan lahir sebagai seniman, musisi, penyanyi, pengusaha, maupun sederet identitas yang ia pilih untuk disandangkan dengan personalitasnya. Ia sudah diperkenalkan dengan musik sejak dalam kandungan.

Papanya yang berdarah Sunda, Eddy Abdul Manaf, serta mamanya yang berdarah Jerman, Joyce Theresia Pamela Kohler, sangat menggandrungi musik-musik berkelas, baik Indonesia, Nusantara, maupun dunia. Mamanya kerap mendengarkan musik-musik yang digemarinya ketika Dhani masih berada di dalam rahimnya.

Hal ini terus berlanjut tanpa pernah berhenti. Mamanya Dhani rajin mengajak putra pertama baginya ini ke toko kaset dan membelikan kaset kesukaan Dhani. Dengan keadaan perekonomian keluarga ini yang tak bisa disebut mewah, Dhani pun cukup dibelikan kaset-kaset bajakan yang berharga murah. Dari sinilah Dhani mulai akrab dengan karya seni dalam bentuk musik.

Di perlintasan masa balita menuju anak-anak, Dhani dibelikan keyboard oleh papanya. Selain itu, kedua orangtuanya juga telaten mendorong Dhani untuk menekuni dunia musik. Orangtua Dhani mendaftarkan anak yang nakal ini ke les musik. Mereka berharap suatu saat Dhani memiliki keunggulan dalam hal musik. Orangtua Dhani yang hidup harmonis memberikan satu berkah tersendiri bagi perkembangan Dhani.


Mungkin memang sudah takdirnya, di usia anak-anak, Dhani sudah jatuh cinta pada Queen, grup band legendaris asal Britania. Ia sangat menggandrungi lead vocalist dan keyboardist Queen, Farrokh Bulsara (Freddie Mercury). Kegandrungan yang merasuk jiwa dan  tak pernah sirna hingga saat ini. Hingga saat ini, Dhani rajin memperingati haul legenda Queen yang berpindah dimensi saat Dhani mulai berkarir di dunia musik.

Selain Queen, khusunya Farrokh Bulsara, Dhani juga sangat menggandrungi Francis Albert Sinatra (Frank Sinatra) dan Howard Andrew Williams (Andy Williams). Dari dua musisi legendaris inilah ia bisa mengenal dan kemudian menggandrungi Anthony Dominick Benedetto (Tony Bennet), William John Evans (Bill Evans), dan Sarah Lois Vaughan. Belakangan dari titik ini pulalah Dhani mengenal pianist lainnya seperti Keith Jarret dan Armando Anthony Corea (Chick Corea).

Kemauan pribadi dan harapan orangtuanya diperkuat dengan lingkungan keluarganya. Saudara sepupu Dhani juga menggandrungi musik. Dari sepupu-sepupunya inilah Dhani berkenalan dengan musisi rock selain Queen, seperti The Rolling Stones dan Yes. Lingkungan pergaulan di luar keluarga pun mendukung jalan panjang Dhani menekuni musik. Ketika masih SD, Dhani beruntung memiliki sahabat yang menggemari Van Halen dan Led Zeppelin. Dari lingkungan keluarga dan persahabatan inilah Dhani mendapatkan pengetahuan luas dan mendalam tentang musik rock, yang menjadi genre paling ia gandrungi.

Jalan Dhani menekuni musik seakan sudah ditatakan oleh Pelantan saja. Pasalnya, hingga SMP pun ia beruntung berjumpa dan bersahabat dengan orang-orang yang menggemari musik. Kali ini pergaulan di SMP lebih banyak mengenalkan musik pop padanya.  Mulai dari Madonna Louise Ciccone, a-Ha, Spandau Ballet, hingga Michael Joseph Jackson.

Gedung SMP Dhani saat itu, SMPN 06 Surabaya, terletak dekat dengan toko kaset. Di toko kaset ini, pembeli bisa njajal kasetnya dulu sebelum membeli. Hal ini memberikan kesempatan pada Dhani untuk mencicipi musik-musik lain yang belum ia kenal. Selain itu juga menjadi benih-benih kebiasaannya ketika membeli kaset, selalu mencoba seluruh isinya. Toko kaset ini memberikan berkah tersendiri. Pasalnya dari sinilah ia mulai mengenal Michael Franks, Dian Pramana Putra, Indra Lesmana, Chaka Khan, Kenneth Clark Loggins (Kenny Loggins), Gino Vanneli, dan sederet musisi top lainnya.

Ketika SMP juga ia mulai berkenalan pada musik fusion seperti Casiopea, Uzeb, dan Spyro Gyra. Ia bersama tiga sahabatnya, Andra Junaidi Ramadhan (Andra), Erwin Prasetya (Erwin), dan Setyawan Juniarso Abipraja (Wawan), yang sama-sama tertarik dengan musik ini kemudian rajin mempraktikkan bersama dengan bermain band.

Ahmad Dhani Prasetyo & Andra Junaidi Ramadhan

Keempat remaja ini kemudian sepakat membentuk grup band yang diberi nama ‘Mol’. Nama ini diambil dari nama guru seni musik mereka, Pak Mul. Belakangan nama ‘Mol’ diubah menjadi Dewa, yang merupakan akronim dari nama sapaan mereka.

Dhani yang sejak awal sudah kesengsem dengan Queen, berhasrat menjejak Queen. Ia dan kawan-kawan yang membentuk Dewa kemudian merancang formasi awal Dewa, yang mirip Queen. Sama-sama terdiri dari empat orang, Dhani bertindak sebagai lead vocalist dan keyboardist seperti Farrokh di Queen. Kemudian Andra yang sudah nyetel dengan gitar menjadi lead guitarist. Erwin pun dengan sendirinya memilih menjadi basist. Sedangkan Wawan mendapat jatah sebagai drummer.

Keempat orang ini sangat menggandrungi musik. Mereka pun terbilang rajin sekali bolos sekolah hanya demi bisa nge-band seharian. Rumah Wawan, yang berada di kompleks Universitas Airlangga, menjadi tempat favorit mereka. Di sana terdapat alat-alat musik yang bisa mereka mainkan bersama.

Sayang, ketika SMA, Wawan yang menjadi salah satu pendiri Dewa serta rumahnya menjadi tempat latihan perdana, justru memilih hengkang ketika Dewa njajal musik jazz. Hal ini lantaran Erwin sangat kesengsem dengan jazz, sementara Dhani dan Andra pun ingin mencoba. Empat sahabat ini pun berpisah sejenak.

Wawan memilih membentuk grup band baru bernama OutSider, bersama Ari Bernardus Lasso (Ari) dan Satriyo Yudi Wahono (Piyu). Di OutSider, Wawan tetap memainkan musik rock. Sedangkan  Dhani, Erwin, dan Andra tetap bersama dengan mengibarkan bendera DownBeat. Nama ini diambil dari nama majalah jazz terbitan USA. Posisi drummer yang kosong sesudah ditinggal Wawan kemudian digantikan kakak kelasnya, Salman.

Bersama Downbeat, keempat laki yang duduk di SMAN 02 Surabaya ini berhasil merengkuh gelar juara di beberapa festival. Mereka berhasil meraih juara I Festival Jazz Remaja se-Jawa Timur dan juara I Festival band SLTA '90. Sayang capaian manis ini tak bisa diulangi ketika ikut serta dalam Djarum Super Fiesta Musik se-Jawa Bali. Ketika itu mereka hanya menjadi juara II, masih kalah dengan grup bandnya Tubagus Armand Maulana (lead vocalist Gigi).

Walau lebih sering memainkan musik jazz, Dhani tetap berkenalan dengan musik lainnya. Melalui sahabatnya, ia berkenalan dengan Patrick Bruce Metheny (Pat Matheny), dan langsung menjadi penggemar berat Pat Matheny. Roes, sahabatnya ketika SMA, mengenalkan lebih dalam pada Miles Dewey Davis III (Miles Davis), Michael Leonard Brecker, Randolph Denard Ornette Coleman, dan beberapa nama lainnya. Ia juga bersahabat dengan penggemar Metallica, Anthrax, dan Megadeth.

Di penghujung masa SMA, ia kemudian mengajak Ari Lasso bergabung dengan grup bandnya. Sebenarnya Ari lebih dulu mengajak Dhani bergabung bandnya, OutSider, ketika mereka masih kelas satu SMA. Sayang Dhani menampik ajakan ini. Dua tahun berikutnya, keadaan berbalik. Ganti Dhani yang mengajak Ari, dan Ari pun mau.

Ahmad Dhani Prasetyo & Ari Bernardus Lasso

Sejak pertemuan mereka di SMA, Dhani dan Ari memang mulai menjalin interaksi intim. Ari menjadi orang terdekat Dhani selain Andra. Walau demikian, baru belakangan mereka bisa bersama mengibarkan bendera band yang sama. Ari lah orang yang mengenalkan Dhani pada Bon Jovi dan Warrant serta musik easy rock. Hal ini membikin Dhani bisa dengan mudah menggubah paduan nada dan kata dalam lagu remeh-temeh berjudul Kangen yang anehnya bisa nge-hits.

Dhani sejak awal sangat menggandrungi Queen. Sementara Ari mulai tertarik dengan musik setelah mendengarkan Bohemian Rhapsody, karya fenomenal dari Queen. Walau demikian, justru bukan Queen yang menjadi ‘titik temu’ Dhani dan Ari dalam musik. Dhani yang sedang berselera pada fusion dan jazz harus beradaptasi dengan Ari yang sedang berselera easy rock. Hasilnya, mereka berdua sepakat mengkhatamkan Toto dan Chicago.

Sejak saat itu Dhani dan Ari bergabung bersama dalam satu grup band. Bersama mereka, ada juga Andra dan Erwin serta Wawan yang kembali ‘pulang’. Kelima laki yang baru saja melepas masa remaja mereka ini kemudian berupaya menapaki tangga di dunia musik. Mereka mengibarkan bendera Dewa, yang oleh Ari, diusulkan ditambahi angka ‘19’ sebagai penanda saat itu mereka rata-rata berusia 19 tahun. Wajar jika angka ‘19’ sempat ditanggalkan Dewa ketika Ari ‘kabur’.

Para ‘Pandawa Lima’ dari Surabaya ini kemudian getol sekali menggarap Dewa. Mereka memulainya dengan mengadakan workshop di rumah Wawan. Kawan Wawan, Harun, tertarik untuk memberikan mereka modal sebesar Rp 10 juta untuk membikin master rekaman sebagai jalan mendapatkan label rekaman.

Ketiadaan studio musik yang memadai memaksa ‘bonek’ ini hijrah ke tanah ‘the jack’ pada tahun 1991. Di sana mereka melakukan rekaman perdana untuk demo selama beberapa hari. Setelah beberapa hari hidup di ibu kota negara, mereka semua kembali ke Surabaya, kecuali Dhani. Dhani tetap tinggal di sekitar Jakarta dengan menginap di rumah neneknya di Bogor. Ia melakukan hal ini demi mendapatkan label rekaman.

Hampir setiap hari dengan ditemani demo dan keyboard-nya, Dhani gentayangan mengarungi rimba ibu kota dan hampir setiap hari pula demo yang ia kenalkan ditolak label rekaman. Penolakan terus menerus tak menggerus hasrat untuk tetap bisa mendapat label rekaman. Hingga akhinya Dhani dilirik oleh Jan Djuhana dari Team Records. Dari sinilah segala rasa yang pernah tertuang bersama Dewa terpatri dalam hati menjadi kenangan.

Ahmad Dhani Prasetyo & Maia Estianty

Walau kehadiran Dewa langsung mengentak khalayak, Dhani masih rajin mendalami musik. Sesudah dikenal sebagai bagian dari Dewa, ia berjumpa dengan Think Morrison. Think Morrison menjadi sosok penting yang memperkenalkannya pada Kayak, Alan Person Project, dan ELP. Ia juga menjalin interaksi intim dengan Virdy Megananda (Bebi) dan Gabriel Bimo Sulaksono (Bimo) yang mengenalkan padanya lebih jauh dengan The Beatles.

Semua ini membikin Dhani memiliki selera musik beragam. Ragam langgam dari jazz hingga rock, dari musik sebagai karya seni hingga musik sebagai karya untuk industri, terus menerus ia tekuni. Ia bisa menikmati karya Sergei Vasilievich Rachmaninoff dan Joseph Maurice Ravel, sesudah bergaul dengan pemain orchestra ketika rekaman string untuk album-album Dewa. Ia juga menggemari musik R&B ketika musik fusion mulai memudar di era 1990-an, yang membikinnya gandrung pada TLC dan Faith Renée Evans.

Kegandrungan Dhani didukung dengan keberuntungannya bisa memainkan beragam instrumen musik, terutama keyboard dan guitar. Hal ini sangat bagus baginya. Pasalnya, seorang yang bisa menguasai dua instrumen tersebut memiliki modal berharga untuk menghasilkan ragam langgam. Lebih kaya nuansa rasa ketimbang yang menguasai satu instrumen saja. Hal ini juga memudahkannya untuk memahami musik Steven Siro Vai (Steve Vai), David Howell Evans (The Edge), Brian Harold May (Brian May Queen), serta musik elektronik ala The Chemical Brothers.


Kemampuannya memainkan instrumen musik turut didukung dengan kegemarannya membaca buku apapun dan ngobrol dengan siapapun. Hal ini memperkaya ragam kosa kata untuk dijadikan lirik dalam langgam yang digubahnya. Dhani tak ragu menggunakan kosa kata tak populer tapi memiliki nilai luhur, seperti menggunakan kata kuldesak. Ia juga biasa saja memadukan kata ‘laskar’ yang biasa berkonotasi negatif dengan ‘cinta’ yang biasa berkonotasi positif.

Ia juga tak canggung menyuntikkan pemikiran lawas ke dalam langgam yang digubah. Dhani enjoy saja menyuntikkan surat al-Fatihah pada langgam Kuldesak (duet dengan Andra), surat al-Fiil pada langgam Persembahan Dari Surga (Dewa), surat al-Fajr pada Laskar Cinta (Dewa) dan Dimensi (The Roc), serta hasil unjuk rasa Rabi’ah al-Adawiyah pada Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada (duet dengan Chrismansyah Rahadi), dan Jika Cinta Allah (solo dengan nama Abu al-Ghazali), misalnya.

Sepanjang hidupnya, Dhani yang memadukan ‘memuja logika kritis, memelihara mistis’ ini seakan hanya berjalan di atas pagelaran Pelantan saja. Walau ia tipikal pekerja keras, tapi ia selalu mengakui kalau tak pernah berusaha yang hasilnya seperti yang ia dapatkan. Sebagai contoh, ia hanya menjalani pagelaran Pelantan yang mempertemukannya dengan Andra dan Maia ketika SMP serta Ari ketika SMA, yang menjadi sosok penting bagi hidupnya.

Kepada Ilahi-Rabbi, Dhani selalu berserah. Kepada kata-kata nyinyir yang dialamatkan padanya, Dhani selalu terserah. Ia tetap menjalani hidupnya, berjalan di atas pagelaran Pelantan.



B.Ah.Wg.160737.240416.05:32