Melantan Kebersamaan Dalam Temaram



Bukan Cinta Manusia Biasa Persembahan Dari Surga

Bukan Cinta Manusia Biasa Persembahan Dari Surga
Ilustrasi: Andra Junaidi Ramadhan
Perkenalan saya dengan Amatullah menjadi satu persimpangan penting dalam hidup saya. Kehadirannya dalam kehidupan saya seperti persembahan dari surga. Ama adalah gambaran wanita dewasa yang masih berusia muda. Ia sosok yang penuh empati dan kukuh emosi. Yang mengharukan adalah, ia hadir kala saya rapuh pada masa keruh. Masa ketika ikatan yang pernah ada terhentak hingga mendadak sirna.

Saya harus rela dengan takdir terburuk dari Allah supaya tak terjerembab pada amarah. Mata yang rela akan tumpul dari segala cela sedangkan mata yang penuh amarah  hanya akan memandang segala yang nista. Hanya sanggup berungkap rasa dalam bungkam agar tak kian karam terhunjam dalam kelam. Berharap semua bisa menjadi berkat walau mulanya cahaya tipis tak terlihat.

Saya tak pernah menyaksikan pertengkaran besar atau apapun mengerikan di rumah. Namun, kepekaan rasa yang terlanjur menumbuhkan saya, membikin suasana tak biasa terbaca oleh naluri saya. Perubahan batin menjelma menjadi getaran aura yang membanting suasana. Senyum mulai terkulum. Rasa kasih yang pernah berpadu manis kian terkikis.

Hidup saya mulai dihantam pertanyaan-pertanyaan yang tak ada gairah menjawabnya. Ironisnya, pararel dengan gebukan mental yang mendera sejak beberapa waktu sebelumnya. Tak kunjung sembuh malah terus terkapar dalam masa keruh.

Ama hadir menuntun saya agar tetap tegak tak tergeletak dalam karam seperti ini. Ia menuntun saya menenangkan gejolak marak meriak hingga membawa sukma pada rasa kuldesak. Tak cuma sekali air mata tanpa disadari biasa membasahi pipi saat menjalani komunikasi penuh misteri dengan batin saya sendiri.

Ama juga memberikan tawaran ‘pelarian’ yang mengagumkan. Berkarya bersama menjadi jalan mengubur luka sekaligus mengembalikan rasa yakin diri yang sempat sirna. Memang tak mudah untuk terus melangkah dengan batin yang lelah. Walakin ia membuat saya melihat ada harapan lagi. Di satu sisi, saya merasa tertekan dan nyaris tak sanggup menahan beban. Di sisi lain, saya merasa dituntun dengan cara anggun.

Tak cuma Ama, hampir seluruh battle-mate saya juga melakukan hal yang sama. Cuma caranya saja yang berbeda. Hida, sosok berkarakter kuat, hadir seperti malaikat. Hida lah battle-mate saya yang bisa memahami langkah yang saya jalani. Ia jeli menyimak perubahan halus yang terjadi. Hida yang pada puncak kuldesak membagikan welas asihnya hingga menguatkan iman pada Yang Paling Lebih Melantan.

Satu peristiwa tak terduga sesudah saya kembali menghubunginya banyak mengubah peta hidup saya. Hida menjadi lokomotif, yang membawa generasi lawas yang tersimpan oleh zaman, semarak kembali dalam kebersamaan. Semula kami bercengkerama biasa saja. Namun satu pertemuan penting dengannya, November 2014 di Banda Aceh, menghentak khalayak battle-mate. Semangat mengembalikan ikatan kebersamaan meriak serentak.

Masih ada banyak manusia yang hadir saat saya kerap berulah pandir. Ulul, yang selalu mengajarkan saya pentingnya waktu berbagi bersama. Muflih, Tata, Leily, Faiq, Arul, Eva, Jeffa, Ais, dan masih banyak lagi. Mereka manusia yang ketika berada dalam hidup saya menjelma menjadi legenda tanpa rasa jasa. Tak sekalipun mereka meminta imbalan walau terus melantan.

B.Rb.Po.290537.090316.02:27