Ibuk saya sering menunggu saya.
Bahkan ketika saya baru pulang ke rumah dinihari, Ibuk bakal menyambut saya,
membukakan pintu rumah meski saya sudah membawa kunci rumah.
Ketika remaja, tepatnya sejak tahun
2006, saya sering menghabiskan waktu malam di luar rumah bersama teman-teman.
Main PS, jalan-jalan, atau sekedar berkumpul menikmati waktu tanpa pancaran
langsung sinar matahari. Kebiasaan itu tak mengganggu sekolah saya yang masuk
pukul 7 pagi. Saya memiliki rekor kehadiran di kelas yang bagus dan nilai
raport tak jelek-jelek amat.
“Tidur saja buk,” begitu biasanya
saya katakan pada Ibuk di telepon selagi saya masih berkumpul dengan
teman-teman. “Tidak,” jawaban yang seringkali beliau berikan, “Aku tunggu kamu pulang.”
Terkadang beliau juga menjawab, “Jangan pulang ketika sudah adzan subuh, tak
enak dengan tetangga.” Di tempat saya, banyak orang sudah bangun sejak pukul 2 dinihari.
Jadi kalau saya pulang sekitar jam 2, pasti banyak tetangga yang tahu.
Saya dapat menikmati kehidupan saya
karena saya tahu diri saya sudah ada yang mengurus. Saya bebas mencoba
kehidupan di sana-sini karena kedua orangtua saya sangat peduli dengan saya.
Mereka selalu mengawasi gerak-gerik saya.
Bagusnya, mereka tak pernah memaksa saya
mengikuti keinginan mereka. Orangtua lain bisa membikin anaknya menjadi durhaka,
tapi orangtua saja tak bisa. Ketika apa yang saya lakukan tak sesuai harapan, bercakap
dalam satu tempat adalah sikap yang diambil mereka.
Di masa kecil, sebelum masuk sekolah,
kebiasaan begadang atau tidur sampai larut malam sudah hal yang lazim. Bapak
adalah orang yang selalu menemani saya. Beliau sangat suka menonton film-film
aksi yang biasanya tayang setelah pukul 9 malam.
Film-film Tiongkok adalah favorit
saya karena perempuan yang ada di sana tampak lebih segar di mata daripada
film-film Amerika. Saya memaklumi hal ini, karena hanya saat malam hari lah
saya dan Bapak bisa berkumpul. Pagi-pagi sekali, ketika matahari baru
menampakkan cahayanya secara langsung, Bapak sudah pergi ke pangkalan ojeg.
Pekerjaan Bapak sebagai tukang ojeg
sudah lama beliau jalani, menjadi salah satu sumber penghasilan dalam mencukupi
kebutuhan di keluarga kami. Satu sumber lagi adalah dari pekerjaan Ibuk,
menjadi pedagang di rumah. Ibuk menjual kebutuhan sehari-hari, seperti beras,
bumbu dapur, dsb dst.
Bapak adalah angkatan pertama ojeg
Muria yang sekarang memiliki organisasi bernama Persatuan Angkutan Sepeda Motor
Muria (PASMM). Ketika Bapak menjadi tukang ojeg, belum dikenakan biaya pendaftaran.
Beliau dan teman-teman seangkatan di pangkalan ojeg, hanya dikenakan biaya
sebesar Rp 16.000 untuk membuat kartu anggota. Kalau sekarang, biaya untuk
menjadi tukang ojeg PASMM sudah lebih dari Rp 50 juta.
Ibuk juga sudah lama berjualan di
rumah. Sejak harga beras masih Rp 500 per kilogram sampai sekarang, ketika saya
menulis ini, beliau masih berjualan di rumah. Ibuk memiliki beragam cara untuk
bisa menarik pelanggan baru dan menjaga pelanggan lama. Seperti memberikan
layanan antar barang gratis dengan meminta bantuan Bapak.
Sayang toko kami masih kecil sekali,
karena modal untuk membesarkan toko memang sedikit. Meski disebut toko, tetapi
kalau di luar desa kami, lebih pas disebut warung. Karena sebutan warung di
tempat saya, hanya berlaku untuk tempat jualan makan alias warung makan.
Dari penghasilan menjadi tukang ojeg
dan jualan di rumah itulah, keluarga kami menggantungkan kebutuhan
sehari-harinya. Kalau dihitung-hitung, bisa di luar logika ekonimi. Baik dari ngojeg maupun jualan, tak bisa memberikan
pendapatan yang tentu. Malah dalam sehari bisa saja tak ada uang yang masuk.
Pernikahan Ibuk dan Bapak berawal
dari perkenalan singkat beberapa saat sebelum mereka memutuskan menikah.
Sebelum mengenal Bapak, Ibuk sempat berpacaran dengan orang lain dulu. Kosok
bali dengan Bapak.
R&M
[Foto oleh Markus Photography]
|
Dalam mendekati Ibuk, Bapak cukup
nekat. Meski belum memiliki rekam jejak pacaran sama sekali, tetapi Bapak
berani datang ke rumah Ibuk untuk berkenalan dengan orangtua Ibuk (kakek dan
nenek). Selama mendekati Ibuk, Bapak sering ditemani Pak Jumarlan, sahabat
dekat beliau.
Bapak dan Pak Jumarlan adalah sahabat
karib sejak kecil. Mereka tak hanya memiliki hubungan sebagai sahabat, tetapi
juga keluarga dan tetangga. Bapak adalah adik sepupu dari Bapaknya Pak Jurmalan
(Pak Dhe Matyasir). Keduanya bertemu pada Mbah Modirono Dimin (kakek buyut saya
dari pihak ibunya Bapak).
Rumah mereka pun berdekatan, Bapak di
selatan jalan dan Pak Dhe Matyasir di utara jalan agak ke atas sedikit. Setelah
berkeluarga, Pak Jumarlan juga membangun rumahnya persis di samping rumah
orangtua beliau. Anaknya, Melly, sebaya dengan adik saya, Ella.
Dua pendekatan dilakukan Bapak kepada
Ibuk, mendekati Ibuk dan orangtua Ibuk. Bapak bisa menarik hati mereka, jadi
pernikahan mereka sangat jauh dari kata perjodohan. Bagi orangtua Ibuk, ini
adalah pernikahan pertama anak mereka. Sedangkan bagi orangtua Bapak, ini
adalah pernikahan terakhir anak mereka.
Ibuk memang bukan anak pertama,
tetapi kakak Ibuk sudah meninggal ketika masih kecil. Hanya Ibuk dan dua adik
perempuan yang masih hidup sampai sekarang, artinya yang menghasilkan menantu
bagi kakek dan nenek saya.
Bapak pun sebenarnya bukan anak
terakhir, tetapi anak sebelum terakhir. Adik beliau, Lek Winarsih, sudah
menikah lebih dulu ketika Bapak masih sekolah di MA. Usia Ibuk dan Lek Win
sama, mereka anak yang lahir di tahun 1971.
Satu rekor lain yang terukir dari
pernikahan Ibuk dan Bapak adalah, ini adalah satu-satunya pernikahan yang tak
disaksikan bapaknya Bapak, Mbah Suparjo. Beliau sudah meninggal setelah
pernikahan Lek Win dan sebelum pernikahan Bapak.
Tanggal lahir Ibuk tak menimbulkan
perbedaan data dan fakta. Beliau memang lahir pada 06 Juni 1971. 06 Juni 1971
jatuh pada hari Ahad Kliwon. Zodiaknya sama dengan Ahmad Dhani dan Andra
Ramadhan, dua punggawa abadi DEWA19. Saya rasa Ibuk senang saya menjadi
BalaDewa, meski beliau lebih senang mengenakan kaos Slank sebelum kelahiran adik
kedua saya.
Untuk Bapak, ada perbedaan yang
sangat nyata. Di KTP, tanggal lahir beliau tertulis 20 Oktober 1966. Tetapi
setelah saya telusuri, Bapak lahir pada 20 Oktober 1968. Saya mulai menelusuri
tanggal lahir Bapak melalui weton
(pasangan hari dan pasaran).
Di kalangan keluarga Bapak, memang
hanya weton yang menjadi patokan,
bukan tanggal lahir. Pasalnya weton
memiliki peran dalam menentukan hari yang baik untuk melakukan hajat (misalnya
khitanan), sedangkan tanggal lahir tak terlalu berpengaruh.
Bapak mengatakan pada saya kalau weton beliau adalah Ahad Legi. Sedangkan
untuk kalender tahun 1966, tanggal 20 Oktober jatuh pada hari Kamis.
Satu-satunya Ahad Legi yang paling mendekati tahun 1966 terjadi di tahun 1968.
Satu hal yang meyakinkan saya adalah
kelahiran kakak langsung Bapak, Dhe Sugiyo, dan adik langsung Bapak, Lek
Winarsih. Dhe Giyo lahir pada tahun 1966 dan Lek Win lahir pada tahun 1971. Bapak
adalah adiknya Dhe Giyo dan kakaknya Lek Win. Jadi pasti Bapak lahir antara
tahun 1966 dan 1971.
Kecil kemungkinan ibunya Bapak (nenek
saya), melahirkan dua kali di tahun yang sama dalam bulan yang berdekatan. Nenek
melahirkan Dhe Giyo bulan Juni dan Bapak lahir bulan Oktober. Rasanya memang
kurang masuk akal meski ada juga kemungkinan.
Sama-sama lahir pada hari Ahad,
pernikahan mereka pun berlangsung pada hari Ahad juga. Saya lupa Ahad apa
–kalau tak salah Ahad Pahing September 1992. Hanya selang beberapa bulan dari kelahiran
sahabat saya, Saif.
Ada satu kenyataan bagus bagi saya ketika
saya mengaitkan personalitas saya dengan identitas saya sebagai BalaDewa
(sebutan penggemar DEWA19). Tahun-tahun penting dalam keluarga saya berbarengan
dengan tahun-tahun penting bagi DEWA19.
Tahun 1992, pernikahan orangtua saya,
bertepatan dengan tahun debutnya DEWA19. Sementara akhir kisah DEWA19 dengan
Ari Lasso dan akhir kisah DEWA19 berlangsung tepat pada tahun ketika dua adik
saya dilahirkan.
Sejak menikah, Ibuk tinggal bersama Bapak
di desa kelahiran Bapak, desa Colo, kecamatan Dawe, kabupaten Kudus. Saya tak tahu
alasan pasti akan hal ini. Mungkin salah satunya adalah faktor pekerjaan.
Di Colo, kebanyakan orang bekerja di
desa sendiri, seperti menjadi tukang ojeg, pedagang kios, pedagang asongan, dsb
dst. Sedangkan di Kedung Sari, kebanyakan menjadi parantau. Kakek saya pun
kerja di tanah rantau, menjadi tukang bangunan di Jakarta.
26 Maret 1994, buah hati pertama
mereka lahir. Saya lahir tepat pada kumandang adzan dhuhur pada hari Sabtu
Wage, 13 Syawal 1414. Mbah Wakini adalah dukun bayi yang juga tukang pijat yang
membantu proses persalinan Ibuk. Kelahiran saya di Colo.
![]() |
Come Alive Stronger
[Foto oleh Andra Junaidi Ramadhan]
|
Saya tak tahu bagaimana sambutan
kedua orangtua saya saat itu, mungkin mereka bersuka cita, mungkin juga berduka
cita. Tetapi sebagai anak pertama, saya yakin mereka bersuka cita atas kelahiran
saya meski dalam perjalanannya saya adalah anak yang memiliki rekor paling
merepotkan orangtua saya.
Sejak lahir saya memiliki daya tahan
tubuh yang sangat lemah, mungkin mental saya juga sangat lemah. Saya mudah
sakit. Sakit saya pun sangat banyak. Kadang bisa sembuh melalui dokter, kadang
juga melalui dukun sawanen.
Saya belum tahu bahasa Indonesia dari
kata sawanen. Sawanen adalah salah satu sakit yang disembuhkan dengan cara
perpaduan antara mistis dan rasional. Obatnya adalah tumbuhan obat (misalnya
daun dadap) ditambah air yang sudah diberi doa oleh dukun sawanen.
Dukun sawanen yang biasa mengobati saya adalah Mbah Kasni. Rumah beliau
di dukuh Masin, desa Kandang Mas, kecamatan Dawe, kabupaten Kudus. Kini beliau
sudah face the Truhth.
Saat masih melakoni bicycle race-nya, mbah Kasni biasanya segera
menyalakan lilin di meja ruang tamu saat ada orang yang datang. Lalu memejamkan
mata dan berkomat-kamit membaca mantra.
Sejenak kemudian mbah Kasni langsung
mengeluarkan kata-kata, mengatakan penyebab sakitnya pasien dan obat apa saja
yang dibutuhkan. Obatnya tak diminum, tetapi cukup dioleskan. Paling sering di
dahi dan perut.
Untuk pengobatan melalui jalur medis,
Pak Kastam adalah orang yang sering merawat saya. Anyway, saya lebih senang menyapa orang lain sesuka saya, tanpa
tambahan gelar misalnya, lebih enjoy.
Beliau sudah merawat saya sejak saya kecil. Sampai sekarang pun beliau masih
ingat saya, hubungan kami sangat baik.
Rumah beliau di sebelah utara SDN 01
dan 02 Piji. Saya mulai berobat ke beliau dengan diantar oangtua sampai bisa
berobat sendiri. Beliau pun tahu kalau saya pernah bermukim di pesantren dan
sekarang kuliah di Bandung. Ibaratnya, Pak Kastam adalah dokter pribadi.
Daya ingat beliau kuat diserta
perhatian hebat. Rekam jejak penyakit yang pernah saya dera pun masih diingat.
Dia bisa bilang sejenis demikian, “Kamu sudah pernah sakit seperti ini pada
tahun 2001,” atau, “Ini pertama lho kamu
mengalaminya, syukuri saja sebagai pengalaman.”
Selain pak Kastam, juga ada nama
Basuki. Dokter yang membuka praktek di rumahnya, sebeluh utara Matahari Kudus.
Basuki juga merupakan salah satu dokter di RS Mardi Rahayu. Beliau juga yang
memberikan rujukan pada Bapak ketika Bapak sakit dan harus di rawat di rumah
sakit.
Bapak sempat di rawat di rumah sakit
Mardi Rahayu Kudus selama beberapa hari pada 2002 silam. Tepatnya di kamar No.
2 Ruang Bethesda. Tetangga saya juga sering ke RS Mardi Rahayu kalau harus di
rawat di rumah sakit.
Saat usia saya sudah tampak cukup
menjadi kakak, Ibuk melahirkan Ella. Ella adalah adik saya, yang untuk saat ini
harus saya katakan adik pertama saya. Pada masa balita, saya sudah sering
meminta pada Ibuk agar diberikan dua adik, satu perempuan dan satu laki-laki.
Tak hanya sudah request jenis selakangan, bahkan disertai dengan urutan. Urutannya,
adik pertama berjenis kelamin perempuan dan adik kedua berjenis kelamin
laki-laki. Ketika saya sudah bisa menulis, saya pernah menulis nama saya dan
adik-adik saya di balik karpet yang biasa buat alas tidur saya.
Karpet kecil warna kuning itu masih
tersimpan di rumah dan menjadi kenangan bagi saya. Saat itu, saya menulis nama
saya, Dek Adib, serta nama adik saya, Dek Ella dan Dek Aditya. Saya ingin adik
perempuan saya diberi nama panggilan Ella meski saya tak tahu artinya.
Kedengarannya bagus. Sedangkan adik kedua diberi nama Adit, biar tak jauh beda
dengan nama saya.
![]() |
Depan Rumah
[Foto oleh Alobatnic]
|
14 Juni 1999, saya harus tidur
terpisah dengan Ibuk. Saya sempat menetek Ibuk di malam itu sebelum tidur.
Jelas ini adalah masa netek yang sangat lama. Bahkan saya bisa menyebut saya
memiliki rekor menetek Ibuk sangat lama, mulai saya lahir sampai 14 Juni 1999.
Baru saya sadari saat dinihari,
ketika saya terbangun akibat suara tangisan bayi yang saat itu saya kira adalah
suara kucing. Saya langsung mencari sumber tangisan itu dan Lek Win menyambut
saya, langsung menggendong saya keluar rumah menemani ‘mencari kucing’ yang
saya duga sumber tangisan.
Saat itu sebenarnya saya ingin menuju
kamar Ibuk. Saya memaksa lepas dari gendongan Lek Win, dan melihat ada beberapa
orang di depan kamar orangtua. Ada mbah Wakini juga. Mbah Wakini memondong bayi
dan Ibuk tampak lemas di pojok timur ranjang kamarnya.
Wajah Ibuk tampak bahagia. Saya
langsung bertanya pada orang yang di sana, laki-laki atau perempuan. Ketika
mereka menjawab perempuan, saya pun sangat girang. Langsung mau mencium bayi
itu tetapi tak boleh.
Bayi itu pun diberi nama panggilan
Ella. Nama lengkapnya, Naintina Ella Laily Tsani. Naintina berarti tahun
kelahiran bayi itu adalah tahun 1999. Tahun 1999 termasuk tahun ‘keren´kalau tak
menolak disebut tahun ‘ajaib’.
Ella saya tak tahu artinya tetapi ini
sesuai keinginan. Laily karena kelahiran di malam hari, padahal persisnya
adalah dinihari sekitar pukul 2. Sedangkan Tsani sebagai kode bahwa bayi
tersebut adalah anak kedua orangtua saya.
Saya sering bersama Ella. Membantu Ibuk
mengasuh Ella, menjaga Ella ketika maghrib, dan menyuapi makan Ella (Jawa: ndulang). Ella berbeda dengan saya. Ia
mau minum susu formula selain juga ASI. Sedangkan saya tak mau minum susu
formula. Hanya ASI Ibuk saya yang mau saya minum. ASI orang lain pun saya tak
doyan.
Dalam hal kesehatan, Ella pun cukup
bagus. Daya tahan tubuhnya lebih kuat daripada saya. Meski dalam perjalanannya
antara saya dan Ella sempat ada konflik ala dua bersaudara, tetapi saya sangat
bahagia dengan kelahiran Ella.
Perlu waktu lebih satu dekade untuk
menyambut satu anggota keluarga kami lagi. Hikmal, adik kedua saya, lahir pada
27 November 2011. Kelahiran Hikmal memang sangat dramatis bagi saya.
Awal tahun 2010, terjadi setitik
perih bagi saya. Saya sempat depresi saat itu hingga merasa tak betah di rumah
tapi takut kalau saya tak di rumah. Pada saat itu saya sudah memilih identitas
tambahan sebagai Blackjack (sebutan penggemar 2NE1). Setelah dikenalkan pada
ragam musik, hanya DEWA19, Linkin Park, dan Britney Spears, brand sebelum 2NE1 yang saya pilih
sebagai tambahan identitas saya.
Dengan keadaan mental yang seperti
itu, lagu-lagu 2NE1 saat itupun mengendap kuat dalam benak saya. Mulai dari Can't Nobody, Go
Away, It Hurts, You And I (Park Bom solo), Please
Don't Go (CL dan Minzy duo), hingga I
Don't Care.
Sempat merasa hal tak diinginkan terjadi,
Ibuk malah hamil beberapa bulan kemudian. Kehamilan Ibuk baru saya ketahui
ketika lebaran terakhir sebelum Hikmal lahir. Pasalnya bentuk tubuh Ibuk tak
banyak berubah ketika hamil. Aktivitas Ibuk juga tak banyak berubah. Apalagi
saat itu saya bermukim di pesantren, artinya jarang di rumah.
Saya merasa ingin pulang di malam
hari sebelum Hikmal lahir. Pagi harinya, hari Ahad, sekolah libur karena tahun
baru hijriyyah. Setelah sempat
mengikuti acara doa awal tahun bersama yang dipimpin Pak Muttaqin, saya
melanjutkan membaca surat Yusuf untuk bayi yang ada di dalam kandungan Ibuk.
Ini adalah satu-satunya surat Yusuf
yang saya bacakan pada Hikmal. Saya berharap, bayi yang lahir laki-laki, tetapi
siap menerima jika ternyata perempuan. Kalau perempuan saya ingin menjadi
perempuan yang gahar seperti Avril Lavigne.
Bu Eri, bidan yang mengurusi Ibuk
ketika hamil Hikmal, mulanya memprediksi kelahiran Ibuk pada bulan Februari
2014. Saya pun berharap Hikmal lahir 29 Februari 2014. Kemudian diprediksi
lahir tanggal 13 Desember 2011. Bagus juga tanggalnya, 13-12-11. Tetapi di luar
dugaan malah Hikmal mbrojol pada
tanggal 27 November 2011.
Saya sempat merasa hari itu Hikmal
lahir. Hingga tanpa merasa salah, saya pulang dari pesantren secara ilegal
dengan meminjam motor Widodo, teman MI saya yang juga melanjutkan ke MA NU TBS.
Widodo tinggal di MI NU TBS karena ia juga menjadi petugas kebersihan di sana. Sebelumnya
dia sempat mondok di pondok TBS tetapi tak krasan.
Malam itu, saya banyak bercakap
dengan Ibuk di ruang tamu. Ibuk sempat berkata, “Bagus ya kalau anak ini lahir
besok.” Saya hanya tersenyum saja sembari mengamini ungkapan Ibuk. Lagipula
saya biasa menggunakan feeling saya
untuk ‘melihat’ sesuatu.
Ibuk tiba-tiba tampak menunggu di
belakang saya dan Bapak seusai sholat subuh. Bapak langsung angkat kaki dan
mengantar Ibuk ke rumah Bu Eri, bidan yang selama Ibuk hamil mengurusi Ibuk.
Berdua bersama Ella di rumah, kami
sempat didatangi Dhe Giyo yang memberikan buah durian. Ketika saya membelah
durian, telepon berdering. Ella mengangkat telepon itu dan mengeraskan suaranya
(loudspeaker).
Kami langsung girang ketika Bapak
mengatakan Ibuk lahir dengan selamat dan bayinya adalah laki-laki. Lek Win dan
Lek Sholeh yang berada di luar rumah langsung saya katakan. Beberapa saat
kemudian, Ibuk dan Bapak sampai di rumah. Till
the World Ends dari Britney, I’m the
Best dari 2NE1, serta The Boys
dari Girls’ Generation pun menjadi rekaman peristiwa ini.
Bagi mereka yang ada di sana, jelas
melihat raut kebahagiaan saya. Ada Lek Win, Mak Dhe Gimah, Dhe Kasrumi, Mbah
Guminah, Mbah Pajiah, dsb dst. Mereka kompak mengatakan bahwa muka bayi ini mirip
dengan saya ketika lahir. Sambil berceloteh, mak Dhe Gimah pun mengatakan,
“Kalau sudah besar juga nakalnya kayak kamu.”
Tak peduli apa kata mereka, saya
langsung meminta untuk menggendong bayi ini dan diijinkan. Jadi saya bisa
langsung mencium adik saya di hari kelahirannya, berbeda dengan Ella.
Saya, Bapak, dan Ella, berkumpul di
ruang tamu pada pagi itu juga. Kami langsung membicarakan nama untuk bayi itu.
Saya mengusulkan Rifqi Luqmanul Hakim dan dipanggil Luqman. Tetapi ditolak
karena nama panggilan sudah dipesan Ibuk saya.
Ibuk memberi nama Hikmal. Bapak dan
Ella pun ternyata juga mempersiapkan nama. Akhirnya dari kesepakatan kami
berempat, bayi itu diberi nama Hikmal Rifqi Afiful Lathif, dan dipanggil
Hikmal. Hikmal adalah usulan Ibuk, Rifqi usulan saya, Afif dan Lathif adalah
usulan Bapak dan Ella.
Kelahiran Hikmal ketika keluarga kami
terasa kurang erat tetapi kemudian direkatkan kembali oleh Hikmal. Hikmal lahir
pada hari Ahad Wage, harinya sama dengan hari lahir Ibuk, Bapak, dan pernikahan
keduanya. Tanggalnya adalah tanggal istimewa, 1 Muharram atau 1 Suro.
1 Suro adalah tanggal istimewa bagi
pemegang tradisi Jawa. Bisa dibilang saya adalah orang yang paling bahagia atas
kelahiran Hikmal. Tetapi dalam perjalanannya, Ella lah yang melantan Hikmal.
Hikmal pun lebih akrab dengan Ella daripada saya.
Harus dimaklumi, ketika Hikmal lahir,
saya bermukim di pesantren. Setelah itu, saya merantau ke Kota Kembang. Jadi
pertemuan saya dan Hikmal bisa dihitung jari. Walau demikian, kami berdua bisa
mudah nyambung ketika berjumpa.
Menikmati bersama Catch Me If You Can dari Girls’
Generation serta What I’ve Done dan Darker Than the Blood dari Linkin Park
adalah ‘acara’ kami berdua. Sepertihalnya orangtua mengenalkan saya pada DEWA19
dan Spice Girls ketika balita, saya pun ‘melanjutkan’ tradisi keluarga ini.
Saya baru menyadari belakangan Hikmal
lebih mudah menerima musik elektronik dance
yang kebangkitannya ‘dipimpin’ oleh Skrillex, tak rock alternative seperti saya maupun ballad seperti Ella. Mungkin setiap generasi memiliki selera
sendiri. Orangtua saya pun suka dengan rock
and roll yang kejayaannya berlangsung saat mereka remaja.
Keluarga saya memiliki pengaruh kuat
dalam keseharian saya. Dengan kebersamaan yang dilandasi dengan rasa, segala
yang merisak rasa pun dengan mudah saya rasakan. Bahkan kadang-kadang saya
merasakan sesuatu yang dirasakan oleh beberapa orang di sekitar saya.
B.Jm.Wg.081149.37.120816.05:30