RM Adhila



— five alive infinity rhapsody

Great effort & fantastic support
[Foto oleh Andra Junaidi Ramadhan]
Ibuk saya sering menunggu saya. Bahkan ketika saya baru pulang ke rumah dinihari, Ibuk bakal menyambut saya, membukakan pintu rumah meski saya sudah membawa kunci rumah.

Ketika remaja, tepatnya sejak tahun 2006, saya sering menghabiskan waktu malam di luar rumah bersama teman-teman. Main PS, jalan-jalan, atau sekedar berkumpul menikmati waktu tanpa pancaran langsung sinar matahari. Kebiasaan itu tak mengganggu sekolah saya yang masuk pukul 7 pagi. Saya memiliki rekor kehadiran di kelas yang bagus dan nilai raport tak jelek-jelek amat.

“Tidur saja buk,” begitu biasanya saya katakan pada Ibuk di telepon selagi saya masih berkumpul dengan teman-teman. “Tidak,” jawaban yang seringkali beliau berikan, “Aku tunggu kamu pulang.” Terkadang beliau juga menjawab, “Jangan pulang ketika sudah adzan subuh, tak enak dengan tetangga.” Di tempat saya, banyak orang sudah bangun sejak pukul 2 dinihari. Jadi kalau saya pulang sekitar jam 2, pasti banyak tetangga yang tahu.

Saya dapat menikmati kehidupan saya karena saya tahu diri saya sudah ada yang mengurus. Saya bebas mencoba kehidupan di sana-sini karena kedua orangtua saya sangat peduli dengan saya. Mereka selalu mengawasi gerak-gerik saya.

Bagusnya, mereka tak pernah memaksa saya mengikuti keinginan mereka. Orangtua lain bisa membikin anaknya menjadi durhaka, tapi orangtua saja tak bisa. Ketika apa yang saya lakukan tak sesuai harapan, bercakap dalam satu tempat adalah sikap yang diambil mereka.

Di masa kecil, sebelum masuk sekolah, kebiasaan begadang atau tidur sampai larut malam sudah hal yang lazim. Bapak adalah orang yang selalu menemani saya. Beliau sangat suka menonton film-film aksi yang biasanya tayang setelah pukul 9 malam.

Film-film Tiongkok adalah favorit saya karena perempuan yang ada di sana tampak lebih segar di mata daripada film-film Amerika. Saya memaklumi hal ini, karena hanya saat malam hari lah saya dan Bapak bisa berkumpul. Pagi-pagi sekali, ketika matahari baru menampakkan cahayanya secara langsung, Bapak sudah pergi ke pangkalan ojeg.

Pekerjaan Bapak sebagai tukang ojeg sudah lama beliau jalani, menjadi salah satu sumber penghasilan dalam mencukupi kebutuhan di keluarga kami. Satu sumber lagi adalah dari pekerjaan Ibuk, menjadi pedagang di rumah. Ibuk menjual kebutuhan sehari-hari, seperti beras, bumbu dapur, dsb dst.

Bapak adalah angkatan pertama ojeg Muria yang sekarang memiliki organisasi bernama Persatuan Angkutan Sepeda Motor Muria (PASMM). Ketika Bapak menjadi tukang ojeg, belum dikenakan biaya pendaftaran. Beliau dan teman-teman seangkatan di pangkalan ojeg, hanya dikenakan biaya sebesar Rp 16.000 untuk membuat kartu anggota. Kalau sekarang, biaya untuk menjadi tukang ojeg PASMM sudah lebih dari Rp 50 juta.

Ibuk juga sudah lama berjualan di rumah. Sejak harga beras masih Rp 500 per kilogram sampai sekarang, ketika saya menulis ini, beliau masih berjualan di rumah. Ibuk memiliki beragam cara untuk bisa menarik pelanggan baru dan menjaga pelanggan lama. Seperti memberikan layanan antar barang gratis dengan meminta bantuan Bapak.

Sayang toko kami masih kecil sekali, karena modal untuk membesarkan toko memang sedikit. Meski disebut toko, tetapi kalau di luar desa kami, lebih pas disebut warung. Karena sebutan warung di tempat saya, hanya berlaku untuk tempat jualan makan alias warung makan.

Dari penghasilan menjadi tukang ojeg dan jualan di rumah itulah, keluarga kami menggantungkan kebutuhan sehari-harinya. Kalau dihitung-hitung, bisa di luar logika ekonimi. Baik dari ngojeg maupun jualan, tak bisa memberikan pendapatan yang tentu. Malah dalam sehari bisa saja tak ada uang yang masuk.

Pernikahan Ibuk dan Bapak berawal dari perkenalan singkat beberapa saat sebelum mereka memutuskan menikah. Sebelum mengenal Bapak, Ibuk sempat berpacaran dengan orang lain dulu. Kosok bali dengan Bapak.

R&M
[Foto oleh Markus Photography]

Dalam mendekati Ibuk, Bapak cukup nekat. Meski belum memiliki rekam jejak pacaran sama sekali, tetapi Bapak berani datang ke rumah Ibuk untuk berkenalan dengan orangtua Ibuk (kakek dan nenek). Selama mendekati Ibuk, Bapak sering ditemani Pak Jumarlan, sahabat dekat beliau.

Bapak dan Pak Jumarlan adalah sahabat karib sejak kecil. Mereka tak hanya memiliki hubungan sebagai sahabat, tetapi juga keluarga dan tetangga. Bapak adalah adik sepupu dari Bapaknya Pak Jurmalan (Pak Dhe Matyasir). Keduanya bertemu pada Mbah Modirono Dimin (kakek buyut saya dari pihak ibunya Bapak).

Rumah mereka pun berdekatan, Bapak di selatan jalan dan Pak Dhe Matyasir di utara jalan agak ke atas sedikit. Setelah berkeluarga, Pak Jumarlan juga membangun rumahnya persis di samping rumah orangtua beliau. Anaknya, Melly, sebaya dengan adik saya, Ella.

Dua pendekatan dilakukan Bapak kepada Ibuk, mendekati Ibuk dan orangtua Ibuk. Bapak bisa menarik hati mereka, jadi pernikahan mereka sangat jauh dari kata perjodohan. Bagi orangtua Ibuk, ini adalah pernikahan pertama anak mereka. Sedangkan bagi orangtua Bapak, ini adalah pernikahan terakhir anak mereka.

Ibuk memang bukan anak pertama, tetapi kakak Ibuk sudah meninggal ketika masih kecil. Hanya Ibuk dan dua adik perempuan yang masih hidup sampai sekarang, artinya yang menghasilkan menantu bagi kakek dan nenek saya.

Bapak pun sebenarnya bukan anak terakhir, tetapi anak sebelum terakhir. Adik beliau, Lek Winarsih, sudah menikah lebih dulu ketika Bapak masih sekolah di MA. Usia Ibuk dan Lek Win sama, mereka anak yang lahir di tahun 1971.

Satu rekor lain yang terukir dari pernikahan Ibuk dan Bapak adalah, ini adalah satu-satunya pernikahan yang tak disaksikan bapaknya Bapak, Mbah Suparjo. Beliau sudah meninggal setelah pernikahan Lek Win dan sebelum pernikahan Bapak.

Tanggal lahir Ibuk tak menimbulkan perbedaan data dan fakta. Beliau memang lahir pada 06 Juni 1971. 06 Juni 1971 jatuh pada hari Ahad Kliwon. Zodiaknya sama dengan Ahmad Dhani dan Andra Ramadhan, dua punggawa abadi DEWA19. Saya rasa Ibuk senang saya menjadi BalaDewa, meski beliau lebih senang mengenakan kaos Slank sebelum kelahiran adik kedua saya.

Untuk Bapak, ada perbedaan yang sangat nyata. Di KTP, tanggal lahir beliau tertulis 20 Oktober 1966. Tetapi setelah saya telusuri, Bapak lahir pada 20 Oktober 1968. Saya mulai menelusuri tanggal lahir Bapak melalui weton (pasangan hari dan pasaran).

Di kalangan keluarga Bapak, memang hanya weton yang menjadi patokan, bukan tanggal lahir. Pasalnya weton memiliki peran dalam menentukan hari yang baik untuk melakukan hajat (misalnya khitanan), sedangkan tanggal lahir tak terlalu berpengaruh.

Bapak mengatakan pada saya kalau weton beliau adalah Ahad Legi. Sedangkan untuk kalender tahun 1966, tanggal 20 Oktober jatuh pada hari Kamis. Satu-satunya Ahad Legi yang paling mendekati tahun 1966 terjadi di tahun 1968.

Satu hal yang meyakinkan saya adalah kelahiran kakak langsung Bapak, Dhe Sugiyo, dan adik langsung Bapak, Lek Winarsih. Dhe Giyo lahir pada tahun 1966 dan Lek Win lahir pada tahun 1971. Bapak adalah adiknya Dhe Giyo dan kakaknya Lek Win. Jadi pasti Bapak lahir antara tahun 1966 dan 1971.

Kecil kemungkinan ibunya Bapak (nenek saya), melahirkan dua kali di tahun yang sama dalam bulan yang berdekatan. Nenek melahirkan Dhe Giyo bulan Juni dan Bapak lahir bulan Oktober. Rasanya memang kurang masuk akal meski ada juga kemungkinan.

Sama-sama lahir pada hari Ahad, pernikahan mereka pun berlangsung pada hari Ahad juga. Saya lupa Ahad apa –kalau tak salah Ahad Pahing September 1992. Hanya selang beberapa bulan dari kelahiran sahabat saya, Saif.

Ada satu kenyataan bagus bagi saya ketika saya mengaitkan personalitas saya dengan identitas saya sebagai BalaDewa (sebutan penggemar DEWA19). Tahun-tahun penting dalam keluarga saya berbarengan dengan tahun-tahun penting bagi DEWA19.

Tahun 1992, pernikahan orangtua saya, bertepatan dengan tahun debutnya DEWA19. Sementara akhir kisah DEWA19 dengan Ari Lasso dan akhir kisah DEWA19 berlangsung tepat pada tahun ketika dua adik saya dilahirkan.

Sejak menikah, Ibuk tinggal bersama Bapak di desa kelahiran Bapak, desa Colo, kecamatan Dawe, kabupaten Kudus. Saya tak tahu alasan pasti akan hal ini. Mungkin salah satunya adalah faktor pekerjaan.

Di Colo, kebanyakan orang bekerja di desa sendiri, seperti menjadi tukang ojeg, pedagang kios, pedagang asongan, dsb dst. Sedangkan di Kedung Sari, kebanyakan menjadi parantau. Kakek saya pun kerja di tanah rantau, menjadi tukang bangunan di Jakarta.

26 Maret 1994, buah hati pertama mereka lahir. Saya lahir tepat pada kumandang adzan dhuhur pada hari Sabtu Wage, 13 Syawal 1414. Mbah Wakini adalah dukun bayi yang juga tukang pijat yang membantu proses persalinan Ibuk. Kelahiran saya di Colo.

Come Alive Stronger
[Foto oleh Andra Junaidi Ramadhan]
Saya tak tahu bagaimana sambutan kedua orangtua saya saat itu, mungkin mereka bersuka cita, mungkin juga berduka cita. Tetapi sebagai anak pertama, saya yakin mereka bersuka cita atas kelahiran saya meski dalam perjalanannya saya adalah anak yang memiliki rekor paling merepotkan orangtua saya.

Sejak lahir saya memiliki daya tahan tubuh yang sangat lemah, mungkin mental saya juga sangat lemah. Saya mudah sakit. Sakit saya pun sangat banyak. Kadang bisa sembuh melalui dokter, kadang juga melalui dukun sawanen.

Saya belum tahu bahasa Indonesia dari kata sawanen. Sawanen adalah salah satu sakit yang disembuhkan dengan cara perpaduan antara mistis dan rasional. Obatnya adalah tumbuhan obat (misalnya daun dadap) ditambah air yang sudah diberi doa oleh dukun sawanen.

Dukun sawanen yang biasa mengobati saya adalah Mbah Kasni. Rumah beliau di dukuh Masin, desa Kandang Mas, kecamatan Dawe, kabupaten Kudus. Kini beliau sudah face the Truhth.

Saat masih melakoni bicycle race-nya, mbah Kasni biasanya segera menyalakan lilin di meja ruang tamu saat ada orang yang datang. Lalu memejamkan mata dan berkomat-kamit membaca mantra.

Sejenak kemudian mbah Kasni langsung mengeluarkan kata-kata, mengatakan penyebab sakitnya pasien dan obat apa saja yang dibutuhkan. Obatnya tak diminum, tetapi cukup dioleskan. Paling sering di dahi dan perut.

Untuk pengobatan melalui jalur medis, Pak Kastam adalah orang yang sering merawat saya. Anyway, saya lebih senang menyapa orang lain sesuka saya, tanpa tambahan gelar misalnya, lebih enjoy. Beliau sudah merawat saya sejak saya kecil. Sampai sekarang pun beliau masih ingat saya, hubungan kami sangat baik.

Rumah beliau di sebelah utara SDN 01 dan 02 Piji. Saya mulai berobat ke beliau dengan diantar oangtua sampai bisa berobat sendiri. Beliau pun tahu kalau saya pernah bermukim di pesantren dan sekarang kuliah di Bandung. Ibaratnya, Pak Kastam adalah dokter pribadi.

Daya ingat beliau kuat diserta perhatian hebat. Rekam jejak penyakit yang pernah saya dera pun masih diingat. Dia bisa bilang sejenis demikian, “Kamu sudah pernah sakit seperti ini pada tahun 2001,” atau, “Ini pertama lho kamu mengalaminya, syukuri saja sebagai pengalaman.”

Selain pak Kastam, juga ada nama Basuki. Dokter yang membuka praktek di rumahnya, sebeluh utara Matahari Kudus. Basuki juga merupakan salah satu dokter di RS Mardi Rahayu. Beliau juga yang memberikan rujukan pada Bapak ketika Bapak sakit dan harus di rawat di rumah sakit.

Bapak sempat di rawat di rumah sakit Mardi Rahayu Kudus selama beberapa hari pada 2002 silam. Tepatnya di kamar No. 2 Ruang Bethesda. Tetangga saya juga sering ke RS Mardi Rahayu kalau harus di rawat di rumah sakit.

Saat usia saya sudah tampak cukup menjadi kakak, Ibuk melahirkan Ella. Ella adalah adik saya, yang untuk saat ini harus saya katakan adik pertama saya. Pada masa balita, saya sudah sering meminta pada Ibuk agar diberikan dua adik, satu perempuan dan satu laki-laki.

Tak hanya sudah request jenis selakangan, bahkan disertai dengan urutan. Urutannya, adik pertama berjenis kelamin perempuan dan adik kedua berjenis kelamin laki-laki. Ketika saya sudah bisa menulis, saya pernah menulis nama saya dan adik-adik saya di balik karpet yang biasa buat alas tidur saya.

Karpet kecil warna kuning itu masih tersimpan di rumah dan menjadi kenangan bagi saya. Saat itu, saya menulis nama saya, Dek Adib, serta nama adik saya, Dek Ella dan Dek Aditya. Saya ingin adik perempuan saya diberi nama panggilan Ella meski saya tak tahu artinya. Kedengarannya bagus. Sedangkan adik kedua diberi nama Adit, biar tak jauh beda dengan nama saya.

Depan Rumah
[Foto oleh Alobatnic]
14 Juni 1999, saya harus tidur terpisah dengan Ibuk. Saya sempat menetek Ibuk di malam itu sebelum tidur. Jelas ini adalah masa netek yang sangat lama. Bahkan saya bisa menyebut saya memiliki rekor menetek Ibuk sangat lama, mulai saya lahir sampai 14 Juni 1999.

Baru saya sadari saat dinihari, ketika saya terbangun akibat suara tangisan bayi yang saat itu saya kira adalah suara kucing. Saya langsung mencari sumber tangisan itu dan Lek Win menyambut saya, langsung menggendong saya keluar rumah menemani ‘mencari kucing’ yang saya duga sumber tangisan.

Saat itu sebenarnya saya ingin menuju kamar Ibuk. Saya memaksa lepas dari gendongan Lek Win, dan melihat ada beberapa orang di depan kamar orangtua. Ada mbah Wakini juga. Mbah Wakini memondong bayi dan Ibuk tampak lemas di pojok timur ranjang kamarnya.

Wajah Ibuk tampak bahagia. Saya langsung bertanya pada orang yang di sana, laki-laki atau perempuan. Ketika mereka menjawab perempuan, saya pun sangat girang. Langsung mau mencium bayi itu tetapi tak boleh.

Bayi itu pun diberi nama panggilan Ella. Nama lengkapnya, Naintina Ella Laily Tsani. Naintina berarti tahun kelahiran bayi itu adalah tahun 1999. Tahun 1999 termasuk tahun ‘keren´kalau tak menolak disebut tahun ‘ajaib’.

Ella saya tak tahu artinya tetapi ini sesuai keinginan. Laily karena kelahiran di malam hari, padahal persisnya adalah dinihari sekitar pukul 2. Sedangkan Tsani sebagai kode bahwa bayi tersebut adalah anak kedua orangtua saya.

Saya sering bersama Ella. Membantu Ibuk mengasuh Ella, menjaga Ella ketika maghrib, dan menyuapi makan Ella (Jawa: ndulang). Ella berbeda dengan saya. Ia mau minum susu formula selain juga ASI. Sedangkan saya tak mau minum susu formula. Hanya ASI Ibuk saya yang mau saya minum. ASI orang lain pun saya tak doyan.

Dalam hal kesehatan, Ella pun cukup bagus. Daya tahan tubuhnya lebih kuat daripada saya. Meski dalam perjalanannya antara saya dan Ella sempat ada konflik ala dua bersaudara, tetapi saya sangat bahagia dengan kelahiran Ella.

Perlu waktu lebih satu dekade untuk menyambut satu anggota keluarga kami lagi. Hikmal, adik kedua saya, lahir pada 27 November 2011. Kelahiran Hikmal memang sangat dramatis bagi saya.

Awal tahun 2010, terjadi setitik perih bagi saya. Saya sempat depresi saat itu hingga merasa tak betah di rumah tapi takut kalau saya tak di rumah. Pada saat itu saya sudah memilih identitas tambahan sebagai Blackjack (sebutan penggemar 2NE1). Setelah dikenalkan pada ragam musik, hanya DEWA19, Linkin Park, dan Britney Spears, brand sebelum 2NE1 yang saya pilih sebagai tambahan identitas saya.

Dengan keadaan mental yang seperti itu, lagu-lagu 2NE1 saat itupun mengendap kuat dalam benak saya. Mulai dari Can't Nobody, Go Away, It Hurts, You And I (Park Bom solo), Please Don't Go (CL dan Minzy duo), hingga I Don't Care.

Sempat merasa hal tak diinginkan terjadi, Ibuk malah hamil beberapa bulan kemudian. Kehamilan Ibuk baru saya ketahui ketika lebaran terakhir sebelum Hikmal lahir. Pasalnya bentuk tubuh Ibuk tak banyak berubah ketika hamil. Aktivitas Ibuk juga tak banyak berubah. Apalagi saat itu saya bermukim di pesantren, artinya jarang di rumah.

Saya merasa ingin pulang di malam hari sebelum Hikmal lahir. Pagi harinya, hari Ahad, sekolah libur karena tahun baru hijriyyah. Setelah sempat mengikuti acara doa awal tahun bersama yang dipimpin Pak Muttaqin, saya melanjutkan membaca surat Yusuf untuk bayi yang ada di dalam kandungan Ibuk.

Ini adalah satu-satunya surat Yusuf yang saya bacakan pada Hikmal. Saya berharap, bayi yang lahir laki-laki, tetapi siap menerima jika ternyata perempuan. Kalau perempuan saya ingin menjadi perempuan yang gahar seperti Avril Lavigne.

Bu Eri, bidan yang mengurusi Ibuk ketika hamil Hikmal, mulanya memprediksi kelahiran Ibuk pada bulan Februari 2014. Saya pun berharap Hikmal lahir 29 Februari 2014. Kemudian diprediksi lahir tanggal 13 Desember 2011. Bagus juga tanggalnya, 13-12-11. Tetapi di luar dugaan malah Hikmal mbrojol pada tanggal 27 November 2011.

Saya sempat merasa hari itu Hikmal lahir. Hingga tanpa merasa salah, saya pulang dari pesantren secara ilegal dengan meminjam motor Widodo, teman MI saya yang juga melanjutkan ke MA NU TBS. Widodo tinggal di MI NU TBS karena ia juga menjadi petugas kebersihan di sana. Sebelumnya dia sempat mondok di pondok TBS tetapi tak krasan.

Malam itu, saya banyak bercakap dengan Ibuk di ruang tamu. Ibuk sempat berkata, “Bagus ya kalau anak ini lahir besok.” Saya hanya tersenyum saja sembari mengamini ungkapan Ibuk. Lagipula saya biasa menggunakan feeling saya untuk ‘melihat’ sesuatu.

Ibuk tiba-tiba tampak menunggu di belakang saya dan Bapak seusai sholat subuh. Bapak langsung angkat kaki dan mengantar Ibuk ke rumah Bu Eri, bidan yang selama Ibuk hamil mengurusi Ibuk.

Berdua bersama Ella di rumah, kami sempat didatangi Dhe Giyo yang memberikan buah durian. Ketika saya membelah durian, telepon berdering. Ella mengangkat telepon itu dan mengeraskan suaranya (loudspeaker).

Kami langsung girang ketika Bapak mengatakan Ibuk lahir dengan selamat dan bayinya adalah laki-laki. Lek Win dan Lek Sholeh yang berada di luar rumah langsung saya katakan. Beberapa saat kemudian, Ibuk dan Bapak sampai di rumah. Till the World Ends dari Britney, I’m the Best dari 2NE1, serta The Boys dari Girls’ Generation pun menjadi rekaman peristiwa ini.
 

Trinity Parents’ Babes
[Foto oleh Alobatnic]
Bagi mereka yang ada di sana, jelas melihat raut kebahagiaan saya. Ada Lek Win, Mak Dhe Gimah, Dhe Kasrumi, Mbah Guminah, Mbah Pajiah, dsb dst. Mereka kompak mengatakan bahwa muka bayi ini mirip dengan saya ketika lahir. Sambil berceloteh, mak Dhe Gimah pun mengatakan, “Kalau sudah besar juga nakalnya kayak kamu.”

Tak peduli apa kata mereka, saya langsung meminta untuk menggendong bayi ini dan diijinkan. Jadi saya bisa langsung mencium adik saya di hari kelahirannya, berbeda dengan Ella.

Saya, Bapak, dan Ella, berkumpul di ruang tamu pada pagi itu juga. Kami langsung membicarakan nama untuk bayi itu. Saya mengusulkan Rifqi Luqmanul Hakim dan dipanggil Luqman. Tetapi ditolak karena nama panggilan sudah dipesan Ibuk saya.

Ibuk memberi nama Hikmal. Bapak dan Ella pun ternyata juga mempersiapkan nama. Akhirnya dari kesepakatan kami berempat, bayi itu diberi nama Hikmal Rifqi Afiful Lathif, dan dipanggil Hikmal. Hikmal adalah usulan Ibuk, Rifqi usulan saya, Afif dan Lathif adalah usulan Bapak dan Ella.

Kelahiran Hikmal ketika keluarga kami terasa kurang erat tetapi kemudian direkatkan kembali oleh Hikmal. Hikmal lahir pada hari Ahad Wage, harinya sama dengan hari lahir Ibuk, Bapak, dan pernikahan keduanya. Tanggalnya adalah tanggal istimewa, 1 Muharram atau 1 Suro.

1 Suro adalah tanggal istimewa bagi pemegang tradisi Jawa. Bisa dibilang saya adalah orang yang paling bahagia atas kelahiran Hikmal. Tetapi dalam perjalanannya, Ella lah yang melantan Hikmal. Hikmal pun lebih akrab dengan Ella daripada saya.

Harus dimaklumi, ketika Hikmal lahir, saya bermukim di pesantren. Setelah itu, saya merantau ke Kota Kembang. Jadi pertemuan saya dan Hikmal bisa dihitung jari. Walau demikian, kami berdua bisa mudah nyambung ketika berjumpa.

Menikmati bersama Catch Me If You Can dari Girls’ Generation serta What I’ve Done dan Darker Than the Blood dari Linkin Park adalah ‘acara’ kami berdua. Sepertihalnya orangtua mengenalkan saya pada DEWA19 dan Spice Girls ketika balita, saya pun ‘melanjutkan’ tradisi keluarga ini.

Saya baru menyadari belakangan Hikmal lebih mudah menerima musik elektronik dance yang kebangkitannya ‘dipimpin’ oleh Skrillex, tak rock alternative seperti saya maupun ballad seperti Ella. Mungkin setiap generasi memiliki selera sendiri. Orangtua saya pun suka dengan rock and roll yang kejayaannya berlangsung saat mereka remaja.

Keluarga saya memiliki pengaruh kuat dalam keseharian saya. Dengan kebersamaan yang dilandasi dengan rasa, segala yang merisak rasa pun dengan mudah saya rasakan. Bahkan kadang-kadang saya merasakan sesuatu yang dirasakan oleh beberapa orang di sekitar saya.
 

KiSS — Keep it Shiny and Sustainable
[Foto oleh Alobatnic]
B.Jm.Wg.081149.37.120816.05:30