Memasak Soto Bakar di Masa Fluktuasi Pasar

Laiknya Rossi dan Lorenzo di Yamaha


Amatullah
Sumber: Instagram
Beberapa hari lalu saya mengajak battle-mate (musuh-rusuh) saya, Amatullah. Ajakan yang bukan tantangan, walakin serentetan pekerjaan yang harus ia selesaikan saat masa liburan. Melalui hal ini, saya berharap ia segera kurus sehingga saya bisa lebih mudah memberangus. Seperti saya ungkap sebelumnya, sosok seperti ini harus segera dibikin binasa. Kehadriannya memang berbahaya karena ia tampil sebagai raksasa.

Ama saya ajak untuk menulis profil beberapa sosok dimulai dengan Nadirsyah Hosen. Tulisan ini hendak dipublikasikan melalui Majalah SANTRI edisi ketujuh. Menulis profil sosok menjadi satu hal yang menyenangkan bagi saya. Melalui hal ini, bisa menjadi sarana untuk menambah wawasan keilmuan dan melatihkan objektifitas. Terbayang ‘kan kalau saya menulis sosok yang saya sukai? Sementara sulit membantah ungkapan “Mata yang rela akan tumpul dari segala cela”, saat menulis terdapat tuntutan untuk bersikap adil.

Mungkin karena sejak awal saya tak pernah benar-benar menulis dari awal –membuat dasar tulisan– saya selalu senang menyunting tulisan orang. Menyunting yang tak sekedar memeriksa typo walakin juga menambah catatan. Kadang juga gemar menambah atau mengubah sub-judul. Sub-judul menjadi hal yang entah mengapa sangat saya sukai. Karena itulah saya menikmati ketika menjadi Editor untuk Majalah SANTRI, tempat yang bagi saya sangat terkenang dan memberikan angan.

Saat menjadi Editor, saya sudah mendapat tulisan jadi yang pasti dimuat di majalah untuk diterbitkan. Tak seperti Reporter yang bagi saya repot-repot menulis tanpa kepastian diterbitkan, Editor “hanya” mengolah tulisan yang pasti diterbitkan. Di sini asiknya, kita bisa memeras energi (mungkin juga massa) ketika melakukan penyuntingan. Membuka cakrawala kebahasaan, mengetahui gambaran luas dan dalam terkait ranah keilmuan, hingga memasang badan terhadap tulisan yang diterbitkan.

Ama bisa memberikan dasar tulisannya. Ibarat hendak memanen buah, Ama menyiapkan tanah sedangkan saya menyiapkan benih yang hendak ditanamkan. Namun prosesnya tak hanya seperti itu. Masih ada lagi langkah yang perlu ditempuh. Setelah saya “tanami” “tanah”-nya, saya memintanya untuk menyunting kembali. Kemudian saya sunting kembali. Hal ini agar hasil yang bisa didapatkan bisa maksimal. My standar is perfect. Saya selalu yakin manusia diberikan kemampuan untuk bisa unjuk kerja maksimal.

Selain mau memberikan dasar tulisan, Ama juga mau saya ajak menulis profil sosok. Tak semua orang mau menerima ajakan saya karena beberapa hal. Antara lain adalah sosok yang hendak saya tulis dianggap tak populer terutama di Indonesia. Bahkan meski sosok tersebut memiliki kualitas yang kaliber tingkat dunia sekalipun! Barangkali alasan mereka menyebut demikian karena belum pernah ada orang yang menulisnya. Justru itulah saya bersemangat menulis ketika belum ada yang menulis. “Yang tertulislah yang akan terbaca”, seperti ungkap Ama dalam satu tulisannya.

Kolaborasi dengan Ama bagaikan kolaborasi ala “soto bakar”. Soto biasanya menggunakan daging rebus, baik daging ayam, kerbau, atau yang lain. Dengan menggunakan daging rebus, kuah dan daging memiliki rasa yang menyatu. Sementara untuk soto bakar, yang menggunakan daging bakar, kuah dan daging sulit untuk menyatu. Daging yang mengeras ketika dibakar membikin kuah sulit untuk meresapi celah. Keduanya, daging maupun kuah, memang disajikan dalam satu mangkuk namun tak serta-merta berpadu dalam rasa yang manunggal. Soto bakar membawa kita untuk merasakan dua rasa sekaligus.

Kolaborasi dengan Ama juga seperti itu. Kami berangkat dari latar belakang yang berbeda. Latar belakang sebenarnya tak penting bagi saya, lebih penting hasil unjuk kerjanya. Meski demikian tak bisa disangkal bahwa latar belakang tutur memengaruhi. Tulisan kami pun memiliki perbedaan “rasa”. Ama lebih lembut dalam bertutur melalui tulisan. Tulisannya cenderung defensif namun memiliki sisi untuk memberikan “serangan”. Hanya saja sisi itu diletakkan acak sehingga tak mudah ditebak. Saya baru bisa menerka gagasannya jika membaca keseluruhan.

Uniknya, Ama adalah perempuan berdarah Minang. Meski kuat dugaan saya tak memiliki akar genetik dengan tanah Minang, namun inspirasi menulis saya berasal dari dua sosok berdarah Minang: Tan Malaka dan Syekh Yasin.

Tan Malaka adalah penusun pertama rancangan Republik Indonesia yang hidupnya sangat malang. Tan Malaka menginspirasi saya untuk menulis tempat yang pernah dikunjungi. Ia menulis autobiografi-nya berjudul Dari Penjara ke Penjara dengan mengambil kronologi dari tempat-tempat yang ia kunjungi.

Sedangkan Syekh Yasin menginspirasi saya untuk membuat profil singkat sosok-sosok tertentu. Syekh Yasin terbilang rajin menulis tarjamah atau biografi singkat menurut tradisi thabaqat yang dikenal dalam khazanah historiografi Islam klasik.

Dua sosok tersebut baik orangnya maupun karyanya kurang bergema di Indonesia namun harum di luar sana.

Mengenai sosok-sosok yang hendak ditulis merupakan para diaspora Indonesia, lantaran saya suka sekali dengan kaliber internasional. Kebanyakan sosok yang menjadi tokoh di luar Indonesia, memiliki kaliber yang diakui dan diapresiasi masyarakat global. Mereka memiliki sumbangan yang keilmuan dan tak sebatas hanya menjadi pengamat tanpa sumbangan keilmuan –baik teoretis maupun praktis.

Saya heran mengapa sosok seperti ini kurang digemakan di Indonesia. Sama herannya dengan mengapa mereka memilih berkarya di luar Indonesia. Barangkali untuk keheranan kedua ini lantaran suasana Indonesia kurang “kondusif”. Sosok-sosok inilah yang kemudian ditelusuri melalui mesin pencari Google sebagai jalan pembuka, kemudian mengumpulkan beragam data yang diperlukan untuk diolah sedemikian rupa dan disajikan. Kecerdasan dalam mengolah bisa membuat orang tak akan mempermasalahkan “bahan” yang digunakan.

Mungkin jika bisa istiqamah, kolaborasi dengan Ama bisa menjawab pertanyaannya beberapa hari lalu, “Kenapa tak menulis buku saja?” Bisa ‘kan menyicil menulis profil untuk dikumpulkan dalam himpunan profil dalam satu buku? Dengan judul buku Berkarya Sebagai Diaspora misalnya. Percaya atau tak, selama apapun orang Indonesia tinggal di luar sana, terdapat rasa rindu terhadap tanah air atau tanah leluhur, sekecil apapun itu.

Kamar 02 Geger Arum 24
Judul Lagu Gigi, 2015
03:47